[14 / Final] Blind in Love

FF-Poster-BlindinLove

 

Title : Blind In Love (Chapter 14 – Final) || Author : Ksunmi1248  || Rate : PG-17 || Length : Chapter || Genre : Romance, Family and Friendship || Cast’s : Kim Taeyeon [GG],  Yesung [SJ], Kim Hyoyeon [GG], Cho Kyuhyun [SJ],  Tiffany Hwang [GG]  || Disclaimer : Terinspirasi dari berbagai lagu, novel, drama dan ff lain.

Because I love you,so I need you. It’s not because I need you,so I love you

 

Cahaya matahari pagi yang merambat melalui gorden pada jendela kamar itu menjalar ke seluruh ruangan, memaksa seorang wanita pemilik mata hazel yang tengah terlelap itu membuka matanya secara perlahan.  Taeyeon   beberapa kali mengerjapkan matanya, mencoba meredam kedutan di matanya akibat cahaya matahari yang menusuk retinanya. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul ia mencoba meregangkan ototnya, namun sesuatu membelit pinggangnya dan mengunci tubuhnya. Ia merasakan hembusan nafas seseorang di puncak kepalanya. Ia juga bisa merasakan wangi segar dan maskulin yang khas  menggelitik hidungnya. Dan tak salah lagi, seseorang dengan wangi khas itulah yang sedang melingkarkan tangan kekarnya di pinggangnya.

“Apa kau sudah mandi? Kau harum sekali.” Ucapnya serak, mencoba menyingkirkan lengan besar milik Jongwoon di pinggangnya.

Jongwoon mendesahkan nafasnya, sambil meletakkan kepalanya di bahu Taeyeon. “Gerah sekali,  dan aku rasa mandi di pagi buta bukanlah hal yang buruk.”

“Pantas kulit tanganmu itu sejuk sekali.” Katanya sambil berusaha menghempaskan tangan Jongwoon, menyingkap selimutnya dan hendak berdiri menuju kamar mandi. Belum sempat beranjak, tangan Jongwoon sudah  menariknya sehingga jatuh terduduk di sisi tempat tidur.

“Ya! Kim Jongwoon-ssi, aku juga ingin mandi. Cepat lepaskan!”

Jongwoon membuka matanya dan menatap Taeyeon dengan senyuman penuh arti. “Tidak, sampai kau memenuhi permintaanku, Nona Kim.”

Taeyeon bedecak sebal. “Kau melarangku mandi hanya untuk permintaan bodohmu itu? Tak bisakah kau minta nanti saja?”

Jongwoon mengerling menggoda. “Lebih cepat lebih baik.”

Taeyeon memutar bola matanya kesal. “Ara, cepat beritahu aku apa permintaanmu itu!” Ucapnya dingin namun sama sekali tidak mengusik pria itu, justru pria itu tetap tersenyum dengan tenangnya.

Jongwoon bangun dari posisi berbaringnya, mendekati wanita itu dan kembali melingkarkan lengannya di pinggang ramping Taeyeon. Jongwoon menghembuskan nafas hangatnya ke telinga Taeyeon sambil menciumi garis rahang milik wanitanya itu. “Sampai kapan kau akan memanggilku dengan begitu formal seperti itu, hm?” Bisiknya tepat di telinga wanita itu.

Taeyeon menggeliat tidak nyaman. Bisikan Jongwoon membuatnya merasakan bulu kuduknya kini sudah meremang sempurna. Padahal Jongwoon baru mengatakan satu kalimat di telinganya, tapi efeknya sudah seperti terjangan angin pertama musim dingin. “B—bukankan aku memanggilmu dengan namamu? Apa ada yang s—salah?” Ucap wanita itu gagap sambil berusaha mengatur detak jantungnya yang mendadak berpacu lebih cepat. Sungguh pria itu tak pernah memberikannya kesempatan untuk bernafas secara normal jika pria itu ada di dekatnya.

“Kau saja memanggil Kyuhyun dengan sebutan Oppa, apa aku tidak bisa mendengarmu memanggilku seperti itu juga?” Sungut pria itu dengan nada cemburu yang begitu kental menyertai setiap katanya. Benar-benar kekanakan!

“Hey, kau cemburu?” Pancing Taeyeon dengan wajah usil dan menggoda.  Detik itu juga ia bisa merasakan dagu Jongwoon yang kini berada di pundaknya mengangguk tanda pria itu menyetujui ucapannya. Tak bisa dipungkiri, Taeyeon ingin sekali menatap wajah cemberut pria itu sambil mencubit kedua pipi chubbynya dengan gemas.

“Ck, ternyata ahjussi kolot sepertimu memiliki sifat kekanakan seperti itu. Benar-benar mengherankan. Aku saja tidak pernah cemburu pada Tiffany yang memanggilmu Oppa, jadi kita impas kan?”

“Ya! Daripada kau mengataiku seperti itu, mengapa kau tidak memanggilku Oppa saja, dengan begitu aku akan melepaskanmu dan membiarkanmu mandi. Ck, sulit sekali bernegosisasi dengan wanita sepertimu.“ Sungut pria itu kembali.

“Kalau aku tidak mau?”  tantang Taeyeon. Jongwoon kembali tersenyum penuh arti. Mata pria itu memancarkan kilatan yang sungguh mengundang perasaan curiga Taeyeon pada pria itu. Apalagi yang ia takutkan selain sifat genit pria itu kumat.

“Kau harus menggantinya dengan morning kiss.” Dan sayangnya, tebakannya memang benar.

Taeyeon menggerak-gerakan bibirnya sambil kembali memutar bola matanya sebal. Sedetik kemudian ia memutar tubuhnya sembilan puluh derajat hingga ia berhadapan dengan pria menyebalkan yang sudah mengacaukan detak jantungnya pagi itu. Tanpa ragu kedua tangannya meraih wajah Jongwoon kemudian mengecup bibir pria itu lembut. Jongwoon dengan santai menutup matanya, tapi tak berlangsung lama karena tidak sampai beberapa detik Taeyeon sudah melepaskannya. Membuat wajah pria itu nampak kecewa.

“Aku sudah menciummu, jadi lepaskan aku!”

Jongwoon menyeringai licik lalu mendorong Taeyeon hinggga kembali berbaring di tempat tidur dan menindihnya. “Tidak sampai kau menciumku lagi, lebih lama dan lebih bergairah.” Ucapnya cepat lalu kembali mencium wanita itu dengan lebih bergairah.

“Yak!”

—O—

Taeyeon berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sudah cukup atau bahkan pantas disebut sempurna untuk berhadapan dengan pria bernama Kim Jongwoon. Sungguh kontras jika dibandingkan dengan hari sebelumnya. Jika kemarin ia rela mematut bayangan dirinya di cermin lama-lama karena takut pria itu melihat wajah menyedihkannya usai menangis. Tidak halnya dengan pagi ini. Sepertinya pagi ini kupu-kupu di perutnya benar-benar merubah sistem kerja organ-organ di tubuhnya hingga membuatnya rela menghabiskan waktu yang cukup lama hanya untuk berdiri menatap cermin di hadapannya, menilai penampilannya sendiri.

Ini sudah kali kesekian di pagi itu, Taeyeon mematut dirinya di depan cermin yang terletak di kamar mandi tempatnya berada saat ini.   Sebenarnya ia nampak begitu menawan dengan kaos putih ketat yang ia padukan dengan blazer dan celana panjang ketat  berwarna hitam. Ditambah dengan polesan make up tipis di wajahnya serta rambut pendek kecokelatannya yang tergerai rapi, tidak ada yang mengecewakan dengan penampilannya. Tapi entahlah, ia benar-benar tidak percaya diri dengan penampilannya pagi itu. Berkali-kali ia mengurungkan niatnya keluar dari kamar mandi dan justru mengecek penampilannya, namun tak urung membuatnya percaya diri.

Beberapa saat kemudian Taeyeon sudah keluar dari kamarnya, tentunya setelah dengan susah payah menarik rasa percaya dirinya ke permukaan. Ia melangkahkan kedua kakinya menuju dapur seiring dengan bunyi dentingan yang menarik perhatiannya. Baru sampai di ambang pintu dapur, mata hazel wanita itu seketika terkunci pada sosok yang begitu asyik ‘bermain’ di dapur. Sosok itu nampak begitu menawan dengan selembar kemeja biru muda dan celana panjang hitam yang dikenakannya,  meskipun terhalang oleh apron yang bergantung di lehernya. Tanpa Taeyeon sadari, dirinya mematung di tempat, terpaku pada sosok yang nampak begitu mempesona dengan segala perlengkapan memasak di tangannya. Bahkan otaknya terlalu sibuk berpikir, sampai kapan pria itu akan menyandera dirinya dalam lautan penuh pesona Kim Jongwoon yang benar-benar berpotensi membuatnya gila!

Menyadari pandangan Taeyeon, Jongwoon menghentikan kegiatan mengaduk adonannya dan beralih menatap wanita itu bingung. “Taeyeon-ah?” Panggil pria itu lembut dan tentunya senyuman mautnya.

Wanita itu terbangun dari dunia lamunannya dan terperanjat kaget. “Ah…. Nde?”  Buru-buru ia mengalihkan pandangannya kesana dan kemari, berusaha menutupi kenyataan bahwa dirinya sudah tertangkap basah sedang terpana pada sosok Kim Jongwoon. Jongwoon yang melihat gelagat salah tingkah Taeyeon hanya menggelengkan kepalanya sambil terkekeh geli.

“Daripada kau melamun seperti itu, mengapa kau tidak duduk saja dulu.” Ucapnya lagi sambil menunjuk meja makan yang sudah tertata rapi menggunakan dagunya. “Sarapan akan siap sebentar lagi.”

Taeyeon mengangguk, mematuhi ucapan pria itu. Ia pun mendudukkan dirinya pada salah satu kursi lalu meraih satu pitcher air dingin dengan perasan serta irisan jeruk lemon di dalamnya dan menuangkannya ke dalam gelas miliknya. “Kapan kau menyiapkan semua ini?” Tanyanya dengan cukup heran lalu menegak minumannya.

“Saat kau mandi. Apa semua wanita mandi selama dirimu? ” Jawab Jongwoon sambil menyendokkan adonannya ke atas pan sementara Taeyeon hanya menanggapi dengan anggukan dan membulatkan bibirnya lalu kembali pada dunia lamunannya yang entah mengapa begitu sayang untuk dilewatkan.

Lama ia melamun, tanpa ia sadari Jongwoon telah meletakkan dua piring pancake lengkap dengan madu serta buah blueberry dan irisan strawberry segar di hadapannya. “Perasaanku saja, atau sekarang hobimu memang melamun, Taeyeon-ah?” Gurau Jongwoon kemudian mengacak rambut Taeyeon dengan lembut.

“Eh?” Tanyanya dengan ekspresi bingung, sepertinya nyawanya belum kembali seutuhnya ke tubuhnya.

Jongwoon terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Kau melamun lagi, ayo kita sarapan.” Ucapnya sambil mengangkat pisau serta garpu makannya dan mulai menikmati sarapannya.

“Aku tak menyangka kau handal juga memasak.” Komentar Taeyeon dengan wajah bak seorang kritikus makanan lalu menyuapkan potongan pancakenya ke dalam mulut.

“Sepertinya kau harus selalu ingat, aku seorang single parent selama tujuh tahun. Jika memasak saja tidak bisa, aku tidak mungkin hidup sampai detik ini dan bertemu denganmu.”

Taeyeon menganggukan kepalanya. “Ah iya, kau benar juga.”

“Taeyeon-ah.” Panggil pria itu dengan suara lembutnya.

“Nde?”

“Sepertinya seminggu ini aku akan sibuk sekali, jadi kemungkinan besar kita akan jarang bertemu. Kau tidak apa kan?”

Taeyeon menaikkan sebelah alisnya, “Tenang saja, aku tidak sakit hanya karena tidak bertemu denganmu. Tidak bertemu denganmu selama dua tahun saja aku baik-baik saja. Kau bisa lihat sendiri.” Wanita itu mengangkat kedua tangannya lalu mengangkat kedua bahunya sambil memasang ekspresi cuek, seolah ingin memanas-manasi pria itu.

Kini giliran Jongwoon yang berdecak kesal. “Awas saja jika kau merindukanku, Taeyeon-ah.” Ujarnya seraya menyentil dahi wanita itu.

“Yak! Appo!”

—O—

Kafe kecil bergaya vintage di Hongdae itu terlihat ramai oleh pengunjung. Tak mengherankan, mengingat saat itu bertepatan dengan jam makan siang, sehingga tidak sedikit orang yang datang untuk menikmati santap siang atau sekedar membunuh waktu dengan mengobrol bersama teman ditemani segelas Ice Chocolate dan sepotong danish yang menjadi andalan kafe tersebut. Dari balik dinding kaca kafe itu, seorang wanita nampak asyik dengan iPadnya sambil sesekali menyeruput banana lassi, pesanannya. Bahkan saking asyiknya, ia tak menyadari sosok yang menjadi alasannya berada di Cafe itu tengah berjalan menghampirinya.

“Asyik sekali, Nona Hwang.” Ucap seorang pria tiba-tiba sambil menepuk pelan pundak wanita itu, Tiffany.

Tiffany sedikit terperanjat, spontan ia mendongakkan kepalanya hingga ia bertatap muka dengan pria itu. Pria yang pernah mengisi hatinya dan bahkan nyaris membuatnya gila dan ingin bunuh diri, memberikan senyuman hangat nan manis yang sangat Tiffany rindukan. “Jongwoon Oppa!” Serunya girang seraya berdiri dan memeluk pria itu, berusaha menyampaikan rasa rindu yang sudah terlalu lama dipendamnya.

“Hey, lepaskan aku dan kecilkan sedikit suaramu itu, Steph. Orang-orang kini memandangi kita dengan tatapan aneh.” Bisik pria itu sambil berusaha melepaskan pelukan Tiffany di tubuhnya. Sementara wanita itu terpaksa melepaskan pelukannya pada pria itu lalu hanya nyengir dan kembali duduk di kursinya.

“Sudah lama menunggu?” Tanya Jongwoon sambil ikut mendudukkan dirinya di kursi di seberang Tiffany.

Diam-diam Tiffany teresenyum jahil lalu memasang wajah sebalnya. “Lima belas menit, tidak lama tapi bukan berarti sebentar, Dokter Kim.” Jawab Tiffany sedikit sinis sambil mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.

“Ck, dua tahun tak bertemu, kau jadi perhitungan seperti ini, benar-be—”

“Salah sendiri pergi lama-lama, kau tahu tidak bagaimana rasanya kesepian?” Potong Tiffany cuek dengan senyuman sinis yang terlihat dengan jelas dari sudut bibirnya.

“Ya, aku sudah datang sejak tiga minggu yang lalu, tapi kau sulit sekali di hubungi juga sulit ditemukan di rumah sakit dan seminggu kemarin aku juga sangat sibuk, kau mau menyalahkanku?” Protes Jongwoon tak terima.

Tiffany melemparkan Jongwoon tatapan tajam dan datarnya. Perlahan-lahan tatapan tajam dan ekspresi datar itu sudah tergantikan dengan bibirnya yang melengkung ke atas serta matanya yang seolah ikut tersenyum. “Caramu marah masih sangat lucu, Oppa.” Ucapnya dengan tawa ringan yang mengiringi ucapannya.

“Ck, daripada kau menggodaku seperti itu, mengapa kau tidak to the point saja? Apa yang ingin kau katakan?” Rutuknya. Jongwon mengambil gelas berisi lassi yang berada dihadapan Tiffany dan mulai menyeruputnya tanpa rasa bersalah.

Tiffany mengusap tengkuknya gugup. “Ah, itu… Kau tidak sabaran sekali. Aku akan mengatakannya jika temanku sudah datang.”

Alis Jongwoon terangkat dan mulutnya membuka, melongo menatap Tiffany yang duduk di hadapannya. “Teman? Memang apa hubungannya temanmu dengan hal yang ingin kau bicarakan denganku? Atau— Kau tidak berniat merancang kencan buta untukku kan?” Selidiknya dengan wajah penuh kewaspadaan.

Tiffany balik melongo. Kini ia menatap sahabatnya tidak percaya.  Namun selang beberapa detik, tawa gadis itu pecah. Kencan buta? Ya ampun, sempit sekali otak pria kolot ini.

“Yak! Mengapa kau tertawa seperti itu?!” Pekik Jongwoon kesal.

“Ya, Kim Jongwoon! Bahkan temanku adalah seorang pria, bagaimana mungkin aku menyuruhmu mengencani seorang pria?” Tanya gadis itu dalam tawanya yang masih meledak-ledak. Bahkan kelopak mata gadis itu nampak berair karena tak kuasa menghentikan tawanya.

Sebegitu menyenangkannyakah menertawakan diriku? Ck.

“Sepertinya secara tidak langsung kau menertawaiku, Nona Hwang.” Suara bass seorang pria yang terdengar cukup khas di telinga Tiffany membuatnya terperanjat dan otomatis menghentikan tawanya. Jongwoon yang menyadari reaksi Tiffany langsung mengalihkan perhatiannya pada pemilik suara itu dan dalam sekejap matanya sudah membulat sempurna tatkala matanya bertemu dengan pemilik suara itu.

“Cho Kyuhyun? K-Kau—”

“Sepertinya aku terlambat. Maaf, aku ada sedikit urusan yang harus ku selesaikan” Potong Kyuhyun, tak membiarkan Kim Jongwoon menyelesaikan ucapannya.

“Duduklah, Oppa. Kami baru saja mengobrol.” Balas Tiffany seraya tersenyum dan membiarkan Kyuhyun memposisikan dirinya duduk di kursi di sebelahnya. Seolah tak memperdulikan keberadaan Jongwoon yang melongo dengan sejuta tanda tanya yang kini melekat di otaknya.

Jongwoon melipat tangannya di depan dada dan berdeham, meminta kedua insan itu untuk menyadari keberadaannya. “Kalian saling mengenal. Sejak kapan?” Tanya Jongwoon sedikit sinis bak menginterogasi sepasang murid yang tertangkap basah mencontek.

“Sebenarnya kami bertemu di pesta pernikahanmu dengan Sooyoung Eonni beberapa tahun silam. Tapi kami baru resmi saling mengenal ketika kau dan Taeyeon meninggalkan kami di pesta Hyukjae Oppa.” Terang Tiffany. Sementara Jongwoon dengan Kyuhyun hanya menyimaknya tanpa saling bertatapan satu sama lain.

“Kau terlalu terpaku pada duniamu dan Kim Taeyeon, Jongwoon-ssi.” Ucap Kyuhyun menimpali. “Ah, aku dengar kau mencari Taeyeon ke Jepang, jadi kalian sudah kembali bersama sekarang?” Tambah pria itu berusaha mengganti topik pembicaraan mereka dan menghidupkan suasana tak menyenangkan diantara mereka bertiga.

Jongwoon menghela nafas berat sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Senyuman geli tersungging dibibir pria itu ketika otaknya memutar kilas balik pertemuan tak terduganya dengan Taeyeon.  “Takdir memang sangat aneh.” Gumamnya kecil lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Aku gagal menemuinya hari itu, tapi siapa sangka berkat keanehan takdir serta ulah licik orang-orang di sekitarku aku justru dipertemukan kembali dengannya disini, di bawah langit Seoul.”

Kyuhyun menatap Jongwoon tak percaya  namun seketika wajahnya berubah kecewa dan tak sabaran. “Jadi, ia disini sekarang? Mengapa kau tak ajak saja dia bertemu kami disini?”

“Bahkan aku saja baru tahu jika kalian saling mengenal, bagaimana mungkin terpikirkan olehku untuk mengajaknya bertemu dengan kalian disini.”

“Jadi kesimpulannya, apakah masalah kalian berdua sudah selesai sekarang?” Tiffany yang sedari tadi hanya memperhatikan kedua pria di sekitarnya itu akhirnya kembali angkat bicara dan bertanya dengan bijak.

“Tentu saja, dan aku harap kau bisa menyempatkan diri untuk bertemu dengannya. Jujur saja  seminggu ia berada di Seoul, aku sama sekali tidak pernah mengungkit masalah donor ginjalnya untukmu.”

“Aku juga harap begitu, tapi dua hari lagi kami akan berangkat ke New York—“

“Kami?” Potong Jongwoon dengan matanya yang mendelik serta keningnya yang berkerut karena bingung. Apa telingaku sudah tuli? Apa aku salah dengar?

Kyuhyun memutar bola matanya dan tersenyum miring. “Tentu saja Tiffany dan diriku.”

“Apa kalian terlibat dalam suatu kerja sama  bisnis? Astaga dua tahun aku pergi, begitu banyak hal yang terlewatkan olehku.”

Tiffany menoleh kepada Kyuhyun yang duduk di sampingnya begitu juga dengan Kyuhyun. Gadis itu memasang raut wajah yang seolah mengatakan, ‘apa kita beritahu sekarang?’ sementara Kyuhyun hanya mengendikkan bahunya dan menaikkan kedua alisnya sambil menyeringai setan.

“Bermain bahasa isyarat di depanku. Cepat, jelaskan apa yang sedang terjadi sebenarnya.” Komentar Jongwoon sedikit sinis dan tak sabaran.

Kini Tiffany merogoh tasnya, nampak mencari-cari sesuatu. Selang beberapa detik, tangan gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Benda itu mirip sebuah buku hanya saja lebih tipis. Berwarna soft creame dan terdapat tulisan berwarna keemasan di atasnya.

“Untukmu Oppa, aku titip juga untuk Appa dan Eommamu serta Hyoyeon Eonni dan Hyukjae Oppa. Ah, dan untuk Taeyeon, aku baru saja akan meminta Hyoyeon Eonnie mengiriminya dalam bentuk scan melalui email, tapi berhubung dia berada disini kau bisa memberitahukannya kan, Oppa?”

Jongwoon kembali melongo. Kini matanya menatap tajam pada tumpukan benda itu yang baru saja Tiffany letakkan beberapa detik yang lalu. Benda itu adalah sebuah kartu undangan dengan nama Kyuhyun dan Tiffany yang tertera di atasnya. Tunggu? Cho Kyuhyun? Stephanie Hwang? Apa sekarang mataku yang sedang rusak? Atau aku sedang berhalusinasi? Apa-apaan ini?!

Kedua orang di hadapan Jongwoon saling tersenyum melihat reaksi bodoh yang dikeluarkan pria itu. Kini keduanya nampak antusias mengira-ngira komentar yang akan diberikan Kim Jongwoon kepada keduanya. Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan Jongwoon yang sibuk menggerakkan matanya kesana dan kemari sambil berusaha mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Dan sayang, otak jenius seorang dokter bernama Kim Jongwoon itu baru bisa mencerna semuanya ketika matanya tanpa sengaja terhenti pada jari manis Tiffany yang dilingkari oleh sebuah cincin emas putih dengan hiasan berlian kecil pada bagian tengahnya.

“Apa kalian sedang berkomplot mengerjaiku?”

“Sebenarnya aku sangat ingin melakukannya Tuan Kim, tapi sayang semua ini adalah kenyataan.” Jawab Kyuhyun dengan santai, tenang dan tanpa rasa bersalah.

“Kau berhutang banyak cerita padaku, Stephanie.”Ucapnya lalu mendaratkan tatapan tajamnya pada gadis bermata indah itu.

Kyuhyun memasang senyuman menyindir. “Kau tak akan tertarik mendengar kisah kami, Jongwoon-ssi. Kisah kami tak sedramatis kisahmu dengan Sooyoung dan Taeyeon. Satu-satunya hal yang menarik hanyalah kami sama-sama korban dari hubunganmu, baik dengan Choi Sooyoung ataupun Kim Taeyeon.”

“Tunggu, korban?” Tanyanya bingung sambil menatap Kyuhyun dan Tiffany bergantian. “Steph, jadi kau memang –“

“Sudahlah Oppa, tidak usah dibahas. Itu hanya masa lalu.” Sela Tiffany diiringi dengan senyuman tulusnya meski terkesan sedikit kikuk.

Jongwoon menganggukkan kepalanya paham. “Jadi kapan kalian menikah?” Tanya Jongwoon, berusaha mengalihkan topik agar tak terkesan canggung.

“Bulan depan, Oppa. Kami sengaja memberikanmu undangannya lebih awal karena tiga minggu ke depan kami harus berada di New york, seperti yang kami bilang tadi. Jujur saja, tiga minggu terakhir aku tak bisa menemuimu karena harus menuntaskan persiapan pernikahanku dengan Kyuhyun Oppa sebelum kami berangkat, jadi sekarang kau mengerti alasanku kan Oppa?”

Jongwoon menhembuskan nafas panjang. “Jika aku saja sulit mempercayai ini semua, bagaimana dengan Kim Taeyeon? Aku yakin mulutnya akan menganga sehingga mengundang serangga untuk masuk ke dalamnya. Lalu beberapa saat kemudian, dia akan mengeluarkan reaksi yang sangat berlebihan dan menginterogasiku macam-macam. Ck, kalian benar-benar merepotiku.”

—O—

Hari itu masih sangatlah pagi, entah mengapa Taeyeon yang baru saja tersadar dari dunia mimpinya langsung berlari menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dengan tangan kanan yang  membekap mulutnya dan tangan kiri yang mencengkeram perutnya.  Ia masuk ke dalam kamar mandi, lalu mengunci pintunya dan memuntahkan isi perutnya.

Semenjak beberapa hari yang lalu, perutnya terasa mual. Ia sering  memuntahkan isi perutnya begitu saja tanpa sebab yang jelas. Nafsu makannya pun jadi berkurang beberapa hari ini. Taeyeon sendiri berkesimpulan, hal ini disebabkan oleh dirinya yang kelelahan karena terlalu memforsir tubuhnya bekerja keras tanpa diimbangi istirahat yang cukup.

Taeyeon mengelap bibir mungilnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin toilet. Wajahnya sangat pucat. Kini tangan kanannya terangkat untuk memijat kepalanya yang terasa pening. Merasa mual di perutnya sudah lebih baik, Taeyeon langsung mengikat rambut pendeknya dengan asal dan berjalan kembali ke kamarnya. Dengan perlahan ia kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut.

Terdengar suara pintu kamar Taeyeon diketuk pelan lalu disusul suara derit pintu dan langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Namun sayang, sepertinya Taeyeon terlalu sibuk dengan rasa pening di kepalanya dan rasa mual di perutnya yang belum sepenuhnya hilang, sehingga ia tak menyadari sesosok pria kini tengah berdiri di dekat tempat tidurnya.

“Taeyeon-ah..”

Taeyeon membuka matanya dan sedikit mendongak ketika telinganya mendengar seseorang memanggil namanya. Samar-samar ia melihat sosok yang berdiri di dekat tempat tidurnya dan perlu waktu yang cukup lama untuk matanya memproses apa yang sedang dilihatnya hingga ia bisa melihat sosok itu dengan jelas.

“Jongwoon-ssi…” Lirihnya sambil mencoba tersenyum.

Jongwoon mendudukkan dirinya di sisi ranjang. “Wajahmu terlihat pucat, apa kau sakit?” Tanya pria itu dengan kekhawatiran yang terpatri dengan jelas di wajahnya.

“Sepertinya aku hanya kelelahan. Kau tak usah khawatir.”

Tangan Jongwoon terulur menyentuh kening Taeyeon. Tidak panas, bahkan suhu tubuhnya normal. “Aku baru saja akan memasak sarapan pagi dan berniat mengajakmu untuk sarapan bersama. Tapi sepertinya kau lebih memerlukan istirahat saat ini. Apa kau suka denggan bubur? Mau aku bu—”

Oppa,” Sela Taeyeon lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Hari ini kau sarapan sendiri saja. Jika aku sudah merasa lebih baik aku akan makan. Kau tak usah terlalu mengkhawatirkanku dan repot-repot seperti itu”

Oppa? Apakah aku salah dengar? Kim Taeyeon membuang kata ‘Jongwoon-ssi’ dan memanggilku ‘Oppa’?!

Jongwoon sempat tertegun sesaat mendengarkan panggilan spontan Taeyeon kepada dirinya. Seulas senyuman terpatri di bibirnya namun buru-buru ia tutupi dengan ekspresi khawatirnya saambil menggelengkan kepalanya. “Tidak ada kata repot jika itu menyangkut dirimu, Taeyeon-ah. A—”

“Sungguh Oppa, kau bisa mempercayaiku. Ketika aku sudah merasa lebih baik aku akan makan dan kembali sehat. Arasseo?”

“Ck, benar-benar wanita keras kepala,” Gumam Jongwoon sedikit kesal dan menyerah dengan sifat keras kepala Taeyeon. “Lebih baik sekarang kau menelepon ke tempatmu bekerja dan katakan kau tidak bisa mengajar hari ini. Setelah itu beristirahatlah.”

“Ah, dan satu lagi. Sepertinya hari ini aku cukup sibuk di rumah sakit. Kau tak keberatan jika Hyoyeon menemanimu disini kan? Dengan keadaanmu yang seperti ini aku tak yakin kau bisa menjaga dirimu sendiri.”

Taeyeon sedikit membelalakkan matanya. “Kim Hyoyeon?!”

“Tentu saja. Dia satu-satunya wanita bernama Hyoyeon yang aku ketahui. Kau keberatan?”

Taeyeon mengerucutkan bibirnya sambil meniupi poni yang menutupi keningnya. Tentu saja, aku juga hanya mengetahui satu wanita licik bernama Kim Hyoyeon!

“Aku berani taruhan, jika kau masih merasa kesal padanya karena membuatmu harus bertemu denganku lagi.” Tebak Jongwoon dengan senyuman miring di bibirnya. Dan pada kenyataannya, tebakannya sama sekali tidak salah.

Kedua tangan wanita itu saling meremas satu sama lain. Ia menggigit bibir bagian bawahnya sambil mengumpat kecil.

Sebuah senyuman kecil terukir di bibir pria itu. “Aku tahu, cara yang ia gunakan, cukup bahkan sangat menyebalkan. Tapi terlepas dari semua itu, aku yakin kau sama sekali tidak menyesal bertemu denganku kan?” Tanya pria itu dengan lembut. Untuk beberapa saat Taeyeon nampak terdiam sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Jongwoon meletakkan kedua tangannya pada kedua pipi chubby Taeyeon dan mendaratkan kecupan singkat pada kening wanita itu. “Aku mencintaimu, Kim Taeyeon.” Ucap pria itu setengah berbisik sebelum akhirnya beranjak pergi dari hadapan Taeyeon.

Begitu pria itu melangkah keluar dari kamarnya, otaknya kini sibuk berpikir betapa pria itu sangat menyayanginya. Sudah tiga minggu sejak kepulangannya ke Korea, dan sejak hubungannya dengan Jongwoon membaik,  pria itu selalu menyempatkan diri setidaknya tiga kali seminggu untuk memasak sarapan pagi dan sarapan bersamanya. Jongwoon juga rajin menghubunginya di tengah kesibukannya untuk sekedar bertanya apakah dirinya sudah makan ataupun sudah pulang mengajar. Dan dari perhatian yang dicurahkan pria itu padanya, Taeyeon sadar jika pria itu tidak bohong tentang sangat mencintainya.

Taeyeon kembali merebahkan tubuhnya, menutupi tubuhnya dengan selimut dan memeluk erat gulingnya. Tidak perlu waktu yang lama, wanita itu sudah terbang ke alam mimpinya dengan senyuman bahagia yang tak lepas dari bibir mungilnya.

—O—

Ting Tong

Taeyeon baru saja terbangun dari dunia mimpinya ketika bunyi bel apartmentnya menembus telinganya. Dengan kepala yang masih terasa sedikit pening dan setengah sadar, ia berjalan menuju pintu dan mengintip tamu yang baru saja menekan bel apartmentnya melalui interkom. Di depan pintu, seorang wanita berpakaian modis yang sama sekali tidak nampak asing untuk Taeyeon sedang berdiri dengan tidak sabarnya. Kim Hyoyeon? Rupanya ia benar-benar menjalankan amanat Oppa tersayangnya itu. Pikirnya dengan kesadaran yang secara tiba-tiba sudah terkumpul sepenuhnya.

Eonni,” sapanya sambil membuka pintu dan mempersilahkan Hyoyeon masuk.

“Jongwoon Oppa bilang kau sedang sakit. Ia memintaku untuk menjagamu.” Kata wanita itu sambil berjalan menuju dapur dan meletakkan barang bawaannya di atas meja makan.

Taeyeon menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dan mendesah malas. “Aku tahu itu.”

Hyoyeon melirik Taeyeon sekilas lalu ganti melirik satu set sarapan pagi yang sepertinya sama sekali belum disentuh oleh Taeyeon. “Aku berani bertaruh kalau Jongwoon Oppa yang menyiapkan ini semua dan kau belum menyentuhnya sama sekali.”

Taeyeon mengernyit bingung. “Apa?”

“Sarapan pagi.”

Taeyeon terperanjat sesaat. “Dia memasakannya untukku?” Tanyannya lalu   kembali menghela nafas panjang. “Aku lapar, tapi aku sama sekali tidak bernafsu makan.” Ucapnya dengan suara yang pelan.

“Aku membawakanmu Seolleongtang dari Jin Guk. Sepertinya aku akan menghangatkannya untukmu agar kau lebih bernafsu untuk makan.”

Hyoyeon meletakkan mangkuk berisi Seolleongtang, semangkuk nasi, dan kimchi di hadapan Taeyeon yang sudah duduk manis menghadap meja makan. Wangi khas Seolleongtang menyeruak memenuhi ruangan, mengundang cacing-cacing di perut untuk bersenandung ria. Tapi sepertinya semua itu tak berlaku untuk cacing-cacing di perut Taeyeon. Wanita itu hanya memandang makanan di hadapannya dengan tidak bersemangat. Harum Seolleongtang yang seharusnya terasa menggiurkan malah membuat perutnya bereaksi secara tiba-tiba. Memaksanya untuk langsung berlari ke toilet dan kembali memuntahkan isi perutnya, walaupun pada kenyataannya hanya saliva yang bisa ia keluarkan. Hyoyeon yang merasa cemas menghampiri Taeyeon dan mengusap punggung wanita itu. Berusaha mengurangi rasa mual yang sedang dirasakan Taeyeon.

“Gwenchana?” Tanya Hyoyeon khawatir.

Taeyeon tidak menjawab. Ia tetap memuntahkan salivanya sementara kedua tangannya ia letakkan di sisi wastafel untuk menopang tubuhnya yang berangsur-angsur semakin melemah.

“Apa ada yang salah dengan wangi Seolleongtang yang kubawa? Aku rasa tidak akan ada orang yang merasa mual dengan wangi Seolleongtang kecuali seorang ibu ha—”

Ucapan Hyoyeon terputus sampai di sana. Entah mengapa kata-kata yang awalnya hendak ia keluarkan sebagai gurauan justru membuat otaknya berhenti bekerja dan tubuhnya menegang seketika. Tatapan ibanya pada Taeyeon kini tergantikan dengan tatapan kosong dan sarat akan keterkejutan. Taeyeon yang menyadari perubahan sikap Hyoyeon mendongakkan kepalanya pada Hyoyeon dan balik menatapnya tak percaya.

“Apa kau sedang berpikir jika aku …..”

“Apa hubunganmu dengan Jongwoon Oppa sudah sampai pada tahap seserius itu?” Tanya Hyoyeon dengan tatapan yang begitu serius.

“Mwo?!! K-Kenapa kau b-bsa berpikir seperti itu?” Balas Taeyeon dengan nada tak terima dan terdengar gugup.

“Kau dan Jongwoon Oppa adalah sepasang orang dewasa, dan bukanlah hal yang tidak mungkin jika hubungan kalian telah sampai pada taraf seserius itu, bukan?”

Wanita itu tak menjawab.  Ia hanya menatap kosong pada wastafel dan membiarkan otaknya memikirkan sesuatu sambil menggigit bibir bagian bawahnya dengan takut.

“Taeyeon-ah, tunggulah disini. Aku akan pergi sebentar membeli sesuatu.”

—O—

Satu buah plastik yang disodorkan Hyoyeon kepada Taeyeon sukses membuat mata Taeyeon terbelalak dan mulutnya menganga dengan lebar. Ia menatap isi plastik itu dengan tatapan risih dan mengumpat sejadinya di dalam hati. Demi apapun yang ada di dunia ini, sejak pertemuan pertamanya dengan Kim Jongwoon yang terkesan sangatlah buruk, ia benar-benar bertekad untuk tidak berurusan dengan benda itu lagi, testpack.

“Apa-apaan ini, Eonni?!!” Tanya wanita itu dengan suara yang meninggi dan wajah yang memerah karena malu.

“Tentu saja kita harus membuktikan kebenarannya.”

“T—tapi, kita tidak harus menggunakan benda terkutuk ini kan?!”

Hyoyeon menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kesal. “Atau kau mau aku menyeretmu sekarang ke hadapan Dokter Kim Jongwoon?” Kata Hyoyeon sedikit mengancamnamun sukses membuat wanita keras kepala di hadapannya terdiam dan kembali mengiit bibir bawahnya dengan takut.

Geez…” Dengan kekesalannya yang sudah mencapai ubun-ubun, Taeyeon mengambil plastik itu dari tangan Hyoyeon dan berjalan menuju toilet.  Ia berjalan dengan umpatan-umpatan yang terus ia keluarkan dari mulutnya sebelum pada akhirnya umpatan-umpatan itu lenyap tergantikan oleh bunyi pintu toilet yang dibanting dengan kerasnya.

“Gwenchanna, semua akan baik-baik saja Kim Taeyeon. Gwenchanna…” gumam Taeyeon berkali-kali pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan tubuhnya yang mulai terasa bergetar hebat setelah melangkahkan kakinya ke dalam toilet.

Taeyeon menatapi satu per satu lima bungkus testpack yang diberikan Hyoyeon padanya. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan dari kelima testpack itu kecuali merek yang tertera pada bungkusannya. Hanya saja, jauh di dalam lubuk hatinya ia berucap penuh harap jika satu dari kelima benda itu menunjukkan hasil yang tak ia harapkan, maka ia akan menggantungkan harapannya setinggi mungkin pada keempat alat yang tersisa.

Taeyeon membuka strip yang membungkus salah satu test pack yang akan digunakannya. Sejenak hening, Taeyeon hanya menyandarkan tubuhnya dibalik pintu toilet dan memandangi benda kecil ditangannya. Perlahan pikirannya menerawang dan kilas balik mengenai kejadian malam itu terputar dengan jelas di otaknya. Malam dimana ia lepas akan kendali pada dirinya. Malam dimana ia buta akan norma susila. Malam  dimana ia sudah jatuh terlalu dalam pada pesona pria bernama Kim Jongwoon.

Setengah jam sudah berlalu, Taeyeon tak kunjung keluar juga dari dalam toilet. Wanita itu hanya terdiam tanpa memberikan tanda-tanda akan terjadi sesuatu yang aneh.

Brug…

Dari dalam toilet tempat Taeyeon berada, terdengar suara sesuatu yang berat terjatuh. Hyoyeon yang sedari tadi memandangi pintu toilet dengan perasaan was-was langsung berlari menuju pintu toilet itu dan membukanya begitu saja. Ia mendapati Taeyeon tengah terduduk di lantai dengan mata membulat sempurna.  Sekujur tubuh Taeyeon kaku dan tangannya yang sedikit bergetar masih menggenggam erat benda kecil bernama testpack di tangan kirinya, sementara tangan kanannya mencengkram erat ujung baju tidurnya. Tidak jauh dari tempat Taeyeon jatuh terduduk, Hyoyeon mendapati empat buah testpack yang berceceran dan menunjukkan hasil yang sama. Positive.

Hyoyeon berganti menatap Taeyeon lalu mendekati wanita itu. Perlahan tubuh kaku Taeyeon melemas dan berubah menjadi getaran hebat. Cengkraman erat tangan kiri Taeyeon pada testpack terlepas dan beralih merangkul kedua lututnya, begitu pula dengan tangan kanannya yang melakukan hal serupa.

Bagaimana bisa malam itu aku terlalu jatuh pada pesonanya Tuhan….

Hyoyeon yang berada di dekat wanita itu berinisiatif berjongkok lalu meletakkan kedua tangannya pada punggung Taeyeon dan menepuknya pelan.

“Hyoyeon Eonni…” Panggil Taeyeon pelan sementara wanita itu hanya berdeham menanggapinya.

“Jangan katakan apapun pada Jongwoon Oppa. Biar aku yang mengatakannya sendiri.”

Hyoyeon menghembuskan nafas panjang. “Kalau begitu kau harus segera bicara dengannya. Bagaimanapun juga janinmu akan terus tumbuh seiring berjalannya hari.” Ucapnya, bingung harus berkata apa lagi pada sosok di hadapannya. “Aku yakin Jongwoon Oppa akan bertanggung jawab, Taeyeon-ah.”

—O—

“Kau hanya perlu mencari besar sudut yang ini. Dengan demikian sudut ini pun kau dapatkan besarnya.”

Dengan sabar Jongwoon menemani putranya itu belajar dan menjelaskan beberapa bagian yang dianggap sulit oleh putranya, Taewoon. Tak jauh berbeda dengan Jongwoon yang menjelaskan dengan serius, Taewoon yang duduk di samping Ayahnya itu menyimak dengan sebaik mungkin sambil sesekali menganggukkan kepalanya jika ia merasa hal yang ia anggap sulit terpecahkan. Jika ia merasa belum mengerti, dengan cepat ia menginterupsi penjelasan Jongwoon dan meminta ayahnya itu untuk mengulangi penjelasannya.

“Apa sudah mengerti sekarang, Taewoonie?” Ucap Jongwoon mencoba memastikan penjelasannya dicerna dengan baik oleh putra semata wayangnya itu.

Taewoon menganggukan kepalanya, tanda ia mengerti. Namun sedetik kemudian, anak laki-laki itu meletakkan pensilnya dan menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. “Daddy, aku lelah. Bolehkan sampai disini saja dulu?” Keluhnya sambil meregangkan otot-ototnya dan menguap. Bahkan dari suaranya saja anak laki-laki itu terdengar kelelahan.

Jongwoon mengulurkan tangan kanannya dan mengelus dengan sayang puncak kepala putranya itu. “Daddy tahu kau anak yang pintar. Daddy juga tak akan memaksamu. Tapi bukannya lebih baik jika kau mandi saja dulu lalu beristirahat?”

Bocah itu tersenyum lucu. “Arasseo, daddy.” Jawabnya kemudian beranjak dari kursi belajarnya dan berjalan menuju kamar mandi.

Sepulangnya dari apartment Taeyeon, perasaan khawatir dan gelisah tak kunjung berhenti menyelimuti hati Hyoyeon. Sedari tadi wanita itu hanya diam sambil mendudukkan dirinya di sofa yang terdapat di ruang tamu dengan pikirannya yang kian menegang. Memang, ini bukanlah masalahnya dan bahkan ia tak berhak mencapuri masalah Taeyeon dan Jongwoon. Hanya saja ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi oppa-nya itu menanggapi ucapan Taeyeon nantinya.  Bahkan tanpa wanita ia sadari, saking tegangnya mungkin saja jari telunjuknya akan luka jika ia tak segera berhenti menggiti jarinya itu sebagai pelampiasan rasa tegangnya.

“Hyoyeon-ah” Panggil suara berat yang tak lain dan tak bukan adalah suara Jongwoon. Sepertinya pria menyadari Hyoyeon yang sedari tadi melamun entah memikirkan apa.

Oppa, rupanya Oppa sudah pulang. Sudah makan malam?” Respon wanita itu sambil mencoba tersenyum.

Jongwoon memposisikan dirinya duduk di samping Hyoyeon dan memilih untuk menghidupkan TV dihadapannya. “Sudah. Kau sendiri bagaimana? Oh ya, bagaimana keadaan Taeyeon? Apa ia sudah jauh lebih baik?” Tanyanya tanpa menoleh pada Hyoyeon dan malah asyik menekan-nekan remote TV, mencoba mencari acara yang sekiranya menarik untuknya.

Hyoyeon menghela nafas berat dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Dia sehat, bahkan sangat sehat. Dia tak sesakit yang kubayangkan karena aku rasa itu adalah gejala yang wajar.” Jawab wanita itu tanpa sadar.

Jongwoon mengalihkan pandangannya pada Hyoyeon. Kening pria itu nampak berkerut, bahkan kedua alisnya nyaris bersatu. “Apa maksudmu?” Tanyanya tak mengerti.

Hyoyeon balik menatap Jongwoon tak mengerti. “Maksudku? Memang aku bicara apa tadi?”

“Kau bilang gejala. Apa dia memiliki gejala suatu penyakit?”

Wanita itu terbelalak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Kim Hyoyeon, kenapa susah sekali mengontrol mulutmu ini!

“Em… itu.. sepertinya itu hanya gejala tamu bulanannya. Ya, aku rasa hanya itu……” jelas wanita itu dengan kikuk sambil beralih menatap televisi di hadapannya.  Sungguh ia benar-benar mencari masalah jika sampai ia berani menatap Oppanya itu dengan matanya yang sangat mencerminkan ia sedang berbohong.

Terlihat dengan jelas wajah pria itu mencerminkan ia tidak mempercayai ucapan adiknya itu. “Kau yakin? Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku bukan?”

“Kenapa kau tidak memeriksanya sendiri? Kau kan seorang dokter, kau pasti lebih mengerti daripada aku.” Ujar Hyoyeon dengan sedikit kesal. Buru-buru wanita itu beranjak dari duduknya dan mengambil tas serta mantelnya yang ia letakkan di sofa.  “Aku lelah. Kita lanjutkan saja besok. Annyeong Oppa.” Ucapnya lagi sambil beranjak meninggalkan Jongwoon sendiri di ruangan itu dengan sejuta kecurigaan di otaknya.

—O—

Taeyeon merapatkan mantelnya, melindungi tubuh mungilnya dari hembusan angin dingin musim gugur kota seoul seraya berjalan menelusuri trotoar yang tak jauh dari apartmentnya. Suasana jalanan sudah mulai sepi, hanya sesekali terdengar suara mobill yang melintas di jalan raya. Selebihnya ia hanya ditemani oleh gemerisik dahan yang ditiup angin dan lampu-lanpu jalanan yang berpendar menemani langkah demi langkah kaki mungil wania itu. Biasanya ia begitu membenci keadaan seperti ini karena mendadak jantungnya akan memompa darah lebih kencang dari normal akibat rasa takut yang menggerayanginya. Tapi tidak untuk hari ini, karena entah mengapa pikirannya mendadak kosong. Tanpa ia sadari tangannya yang sedari tadi mencengkeram erat mantelnya kini turun  dan mengusap lembut perutnya. Ia bisa merasakan jantungya kembali berdetak lebih cepat namun bukan rasa takut yang membuat kerja jantungnya kembali seperti itu melainkan kejadian kemarin lusa dimana sebuah alat kecil yang diberikan Hyoyeon mampu mengubah kehidupannya dalam sekejap.

“Bagaimana aku harus memberitahunya….” Gumamnya resah.

Taeyeon berjalan dengan gontai memasuki apartmentnya, disaat ia baru saja mengganti sepatunya dengan sandal rumahnya, ia menyadari jika ada sesuatu yang berbeda dari dalam apartmentnya. Dari tempatnya berada ia bisa melihat jika lampu apartmentnya sudah di hidupkan padahal ia baru saja sampai dan belum sempat untuk menghidupkan lampu.  Bukankah itu artinya ada seseorang yang menghidupkannya? Dan bukankah selain dirinya, hanya pria itu yang mengetahui password apartmentnya? Dan seketika perasaan Taeyeon berubah tak enak.

“Haha, bagaimana New York terlebih bersama dengan tunanganmu itu?” Ucap Jongwoon dengan semangat dan menekankan pada kata ‘tunanganmu itu’ kepada seseorang yang sedang diteleponnya.

 “Tentu saja menyenangkan, bagaimana kabarmu Oppa? Ketika aku mengajak grandma untuk pulang ke Korea ia tak henti-hentinya menanyakan kabarmu. Sepertinya Grandma sangat merindukanmu.” Jawab seseorang dari seberang sana sambil terkikik geli. Siapa lagi jika bukan sahabat terbaiknya, Stephanie Hwang.

Jongwoon ikut terkikik “Tentu saja aku sangat baik, dan katakan pada Grandma untuk menahan rasa rindunya padaku sampai besok.” Ucapnya penuh rasa percaya diri.

“Besok kau akan datang kan Oppa? Kau sudah memberitahu Taeyeon?”

“Tentu saja aku akan datang. Untuk masalah yang satu itu… aku hanya bisa memastikan padamu jika ia akan datang bersamaku besok. Kau tenang saja.”

“Hey, sampai saja dia tak datang bersamamu akan kupastikan jika aku juga tak datang ke pernikahanmu dengan Taeyeon, Kim Jongwoon.” Desis Tiffany dengan nada suara yang terdengar mengancam dan cukup galak.

“Ya! Sepertinya Pre Wedding Syndrome benar-benar mengusikmu hingga kau segalak ini. Kau bisa memegang ucapanku, tenang saja.”

“Baiklah aku pegang ucapanmu. Jongwoon Oppa, sepertinya aku harus menutup telpon sekarang, ada beberapa hal yang harus aku cek untuk persiapan besok. Bye.”

Bye.” Balas Jongwoon sambil mengakhiri sambungannya dengan Tiffany. Pria itu tak henti-hentinya terkekeh geli sambil menggelengkan kepalanya hingga tanpa sengaja kepalanya menoleh pada seseorang yang tengah menatapnya tajam. Kim Taeyeon. Wanita itu tengah berdiri di ambang lorong yang menghubungkan pintu masuk dan ruang tamu dengan wajah yang nampak kelelahan dan pucat. Detik itu juga wajah Jongwoon berubah datar dan dingin. Namun tetap saja tak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang terpancar jelas di matanya.

“Darimana saja kau? Kenapa kau baru pulang semalam ini?” Tanya pria itu dengan nada bicara dan ekspresi wajah yang serius sambil melangkah mendekati Taeyeon.

Taeyeon tersenyum kikuk “K-kau… kapan kau datang? Apa kau sedang tidak sibuk?” tanyanya balik, berusaha tidak memperdulikan ekspresi wajah Jongwoon yang seolah-olah dengan mengintimidasinya.

“Jangan mengalihkan pembicaraan Taeyeon!”

Wanita itu mendesah dan berjalan melewati pria itu dan megehempaskan tubuhnya di sofa. “Hari ini aku lembur mengajar, kau tahu kan kemarin lusa aku tidak mengajar.” Ucapnya sambil memejamkan matanya.

Jongwoon mengangguk paham kemudian duduk di samping wanita itu. Pria itu menatap Taeyeon lekat-lekat. Tergambar dengan jelas guratan-guratan lelah di wajah wanita itu terlebih bibirnya yang nampak pucat. Sementara wanita itu hanya bertahan pada posisinya. Ia sadar betul jika Jongwoon tengah menatapnya dan itu membuatnya kikuk.

“Taeyeon-ah…”

“Hm?”

“Besok aku akan menghadiri upacara pernikahan temanku dari New York.”

“Aku tahu itu, aku mendengarmu bertelepon tadi.” Jawabnya tanpa merubah posisinya sedikitpun.

“Aku harap kau bisa meluangkan waktumu untuk menemaniku besok.”

Wanita itu membuka matanya dengan cepat. “Kau tahu aku tak akan bisa, aku harus mengajar.”

“Jangan membuat alasan yang tak masuk akal, Taeyeon. Aku hafal betul kau tak memiliki jadwal mengajar di akhir pekan.” Ucapnya sedikit geram dan sukses membuat wanita itu menggigit bibirnya kesal.

“Tapi itu acara temanmu. Aku yakin aku tak mengenal siapaun disana. Jadi aku rasa aku tak diharuskan datang.” Ujar Taeyeon dengan nada tak terima.

“Kau salah Taeyeon. Ada Hyoyeon, Hyukjae serta Appa dan Eommaku. Kau mengenal mereka bukan? Kau juga akan pergi bersamaku. Lagipula salah besar jika kau mengatakan kau tak diharuskan datang, karena kau harus datang.”

Taeyeon mengambil sepasang bantal dan menutup kedua telinganya dengan bantal. “Aku tetap tidak mau! Aku lelah dan ingin beristirahat. Tidak sadarkah kau jika karenamu aku menjadi lebih lelah karena bebanku yang kini bertambah daripada biasanya! Aissh, benar-benar!”

“Karenaku?” Ulang pria itu dengan wajah yang nampak tidak mengerti.

“Tentu saja ini semua karenamu aku jadi—“ Ucapan wanita itu terputus ketika ia menyadari hampir saja ia memberitahukan rahasianya itu kepada Jongwoon. Spontan tangan kanannya terangkat naik dan membekap mulutnya sendiri, menjaga mulutnya untuk tidak berucap lebih jauh.

Tak mau kecerobohannya akan berlanjut, Taeyeon buru-buru beranjak dari sofa. “Aissh.. sudahlah, aku tak mau. Dan kau tak akan bisa merubah keputusanku.” Tegas wanita itu sambil berjalan melewati Jongwoon.

“Ya! Kim Taeyeon, aku pastikan besok kau akan ikut denganku, aku serus dengan ucapanku!” Ucap pria itu tak kalah geram.

BRAAAK

Dan perdebatan mereka malam itu berakhir dengan suara pintu yang dibanting kasar oleh Taeyeon.

—O—

Sepertinya Taeyeon memang tak boleh bermain-main dengan ucapan Jongwoon. Keesokan harinya, pria itu benar-benar memegang ucapannya dengan datang ke apartment Taeyeon dengan setelan tuxedo seperti tamu undangan pesta pernikahan pada umumnya. Wanita itu mati-matian berusaha mengelabui pria itu dengan berbagai alasan konyolnya, tapi pria itu memang sangat sulit ditaklukan. Bahkan ketika kesabaran wanita itu habis setelah memberikan Jongwoon berbagai macam alasan untuk tidak memaksanya untuk bangun dan bersiap-siap, dengan mudahnya pria itu mengalahkannya.

“Kau mau bangun dan bersiap-siap dengan sukarela atau aku akan melakukan hal yang lebih membahayakanmu lagi, seperti menggendongmu ke kamar mandi dan memandikanmu, mungkin?” Begitulah ucapan Jongwoon beberapa saat yang lalu. Pria itu mengucapkannya dengan nada yang tenang dan sama sekali tidak mengandung emosi. Tapi entah mengapa justru itu yang membuat Taeyeon bergidik ngeri dan segera mematuhi ucapan Jongwoon sebelum pria itu benar-benar merealisasikan ucapannya itu.

Dan kini, perjalanan  menuju gereja yang kemungkinan akan membutuhkan waktu setengah jam itu terasa begitu panjang.  Taeyeon hanya menatap kosong jalanan melalui kaca pintu mobil. Terlalu enggan, atau gengsi tepatnya untuk sekedar membuka suara dan mengajak Jongwoon mengobrol, terlebih setelah perdebatan kecil yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu.  Sementara Jongwoon, pria itu hanya tersenyum penuh arti, tentunya tanpa sepengetahuan Kim Taeyeon. Mencoba menerka-nerka sampai kapan wanita itu kuat tidak mengajaknya berbicara.

Jongwoon melirik Taeyeon yang masih mencibir kesal sambil membuang mukanya. “Sepertinya kau benar-benar marah?”

“Aku tidak suka di paksa, dan aku yakin kau tahu semua orang tidak suka dipaksa, Dokter Kim Jongwoon yang sangat pintar.” Balasnya sinis.

“Aku tahu, tapi justru sikapmu itu yang memaksaku untuk memaksamu.”

“Aku tak tahu apa yang begitu menarik dari sebuah pesta pernikahan sehingga kau sangat ingin aku menghadirinya bersamamu. Terlebih, aku tak mengenal bahkan tak mengetahui kedua mempelainya. Bukankah alasan itu sudah cukup bahkan sangat logis  untukku tidak menghadiri pesta pernikahan itu. ?”

“Siapa tahu kau bisa belajar sehingga ketika kita menikah kau tak akan terkena Pre Wedding Syndrome akut.” Balas Jongwoon santai sambil menoleh sekilas pada Taeyeon yang masih menekuk wajahnya kesal.

“Menikah denganmu? Mimpi saja kau ahjussi tua!” Desis Taeyeon galak. Beberapa detik kemudian, wanita itu menoleh dan menatap  Jongwoon tajam dengan matanya yang memicing. “Kau tidak sedang merencanakan sesuatu yang konyol kan Kim Jongwoon?” Tanyanya dengan penuh kecurigaan.

Jongwoon menghentikan mobilnya bersamaan dengan lampu lalu lintas yang berganti warna menjadi merah dan beralih balas menatap Taeyeon dengan tatapan tak mengerti. “Maksudmu?”

Taeyeon menggigit bibirnya sekilas. Sepertinya wanita itu nampak ragu untuk mengutarakan maksudnya.             “Aku sering membaca novel ataupun menonton drama dimana  seorang wanita yang ditipu ataupun dipaksa untuk datang ke gereja. Dan ketika ia telah sampai di gereja, ia mendapati dirinya sudah berjalan di atas altar dan berdiri bersama pria yang ia cintai di hadapan pendeta.  Ya simplenya, itu adalah pernikahan yang sudah terencana tanpa sepengetahuan sang mempelai wanita. Kau tidak sedang merencanakan hal-hal sebodoh dan sekonyol itu kan?” kata wanita itu dengan mata yang masih memicing curiga.

Mendengar pemikiran wanita itu Jongwoon hanya bisa melongo di tempatnya. Sama sekali tak terlintas di benaknya seorang Kim Taeyeon akan memiliki prasangka seperti itu. Astaga, apakah otaknya benar-benar membayangkan hal se-cheesy itu? Selang beberapa saat, tawa pria itu pecah. Ekspresi kaku dan tak percaya di wajahnya seketika berubah menjadi ekspresi geli, seolah menonton acara komedi yang begitu mengocok perut. Jongwoon terus tertawa keras, tak memperdulikan Taeyeon yang membuang mukanya sebal sambil melipat tangan di depan dada dan menekuk wajahnya kesal. Sungguh memalukan jika sampai Kim Jongwoon mendapati wajahnya kini merona dan nyaris tak memiliki perbedaan dengan seekor kepiting rebus.

“Astaga Kim Taeyeon, apa saat ini drama seperti itu sedang menjadi trend di Jepang hingga dengan begitu mudahnya kau berpikiran seperti itu? Kurangilah menonton drama ataupun membaca novel, otakmu benar-benar sudah terkontaminasi oleh hal-hal fiktif seperti itu.” Ucap Jongwoon dengan tawanya yang belum reda bahkan semakin menjadi-jadi.

“Yak! Diam kau!”

Dengan sangat terpaksa, Taeyeon menggamit lengannya dengan lengan Jongwoon. Kini keduanya tengah berjalan memasuki gereja tempat pesta pernikahan teman Jongwoon itu. Awalnya Taeyeon menolak, namun ia menyerah setelah ia tahu bahwa Jongwoon tak akan mendengar bantahannya.

Sesuai perkataan Jongwoon, begitu ia dan Jongwoon memasuki gereja tersebut, Tuan dan Nyonya Kim, Hyukjae, Hyoyeon serta dua bocah yang sangat familiar untuk Taeyeon, Hyoeun dan Taewoon langsung menyambutnya dengan hangat. Bahkan tanpa basa-basi, Taewoon dan Hyoeun lansung berhambur memeluk Taeyeon, mencoba menyampaikan rasa rindu mereka pada sonsaengnim kesayangan mereka. Dua tahun berlalu kedua bocah itu sudah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan menurut Taeyeon. Dan itu membuat Taeyeon sadar jika ia sudah cukup lama meninggalkan mereka.

“Nona Taeyeon, bagaimana kabarmu? Apa kau tahu, semenjak Hyoeun dan Taewoon mengetahui kau berhenti mengajar di Taejo, kami sangat sulit membujuk mereka untuk sekolah.” Sapa Tuan Kim sambil terkekeh geli.

Taeyeon membungkukan badannya, “Ah, annyeong haseyo Tuan Kim, Nyonya Kim. Aku baik-baik saja, bagaimana dengan anda?”

“Tentu saja aku sangat sehat. Oh ya, jangan memanggilku seformal itu. Panggil saja kami Abeonim dan Eommonim.” Jawab Tuan Kim dengan senyuman ramah yang masih tersungging di bibirnya. Mendengar ucapan Tuan Kim, Taeyeon melirik Jongwoon serta Hyoyeon dan Hyukjae secara bergantian. Jongwoon hanya mengendikkan bahunya sementara Hyoyeon dan Hyukjae tak henti-hentinya terkekeh geli dengan suara yang sangat kecil, nyaris berbisik.

Taeyeon mengusap tengkuknya salah tingkah. “Ah, ne Tuan— ah maksudku Ab-b-beonim.” Jawabnya sedikit kikuk. Merasa salah tingkah, wanita itu mencoba untuk mengedarkan padangannya ke sekeliling ruangan gereja hingga matanya terkunci pada satu sosok. Sosok yang sedang sibuk menyambut para tamu undangan yang baru memasuki areal gereja. Sosok itu cukup familiar untuknya. Dia nampak seperti Tuan Cho, Ayah Kyuhyun Oppa

“Taeyeon-ah,” Panggil Nyonya Kim lembut namun berhasil membuyarkan lamunan Taeyeon. “Ayo kita duduk, sepertinya acaranya akan segera dimulai.” Ucapnya lagi sambil menggamit lengan Taeyeon dan menariknya untuk duduk.

—O—

Seperti ucapannya pada Jongwoon, Taeyeon benar-benar tidak tertarik dengan pesta pernikahan yang sedang ia hadiri saat ini. Bagaimana ia bisa menikmati pesta ini jika mempelainya saja ia tak tahu dan tak mengenalnya, lagipula Jongwoon juga tak memberitahunya. Jika saja tidak ada keluarga Jongwoon khususnya Nyonya Kim yang kini duduk di sebelahnya, ia ingin sekali menggunakan alasan pergi ke toilet untuk kabur dari ruangan itu. Tapi bagaimanapun juga keadaannya tak sesuai bayangannya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah duduk di bangku ini sambil meremas kedua tangannya untuk membunuh rasa bosan dan sesekali memberikan respon pada perkataan Nyonya Kim.

Taeyeon masih sibuk memandangi jari-jarinya yang saling meremas satu sama lain ketika suasana gereja berubah hening. Tak ada bunyi yang tedengar sampai bunyi hentakan sepatu di atas lantai kayu gereja menggema ke seluruh areal gereja dan menarik perhatian puluhan pasang mata di dalam ruangan itu, tak terkecuali Taeyeon. Kini di depan altar seorang pria yang nampak gagah dan mempesona dengan tuxedo yang melekat di tubuhnya. Taeyeon yang tiba-tiba saja digerogoti rasa penasaran mencoba memicingkan matanya memperhatikan sosok itu. Hey! Sosok itu tak kalah familiar dengan pria yang ia lihat tadi. Bahkan jika matanya masih berfungsi dengan baik, ia yakin sekali ia mengenal baik sosok itu. Cho Kyuhyun. Pria itu berdiri dengan gagahnya di depan sana meskipun kentara sekali ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.

Taeyeon yang masih berkutat dengan pemikirannya tiba-tiba saja menolehkan kepalanya pada Jongwoon yang duduk di sebelahnya. “Itu Kyuhyun bukan? Cho Kyuhyun? Apa hanya perasaanku saja?” Semprot Taeyeon dengan pertanyaan yang ia ucapkan dengan suara yang sangat kecil, nyaris seperti berbisik.

Belum sempat Taeyeon mendengar jawaban Jongwoon tiba-tiba saja suara piano yang mengalun di udara kembali menarik perhatiannya. Wedding March mengalun dengan indahnya di dalam gereja itu, menyambut langkah seorang wanitaberbalut gaun pernikahan yang berjalan sambil tersenyum berseri-seri. Semua orang menatap kagum ke arah wanitaitu, termasuk Kyuhyun yang sudah berdiri di depan altar sedari tadi.

Kini rasa penasaran Taeyeon kian menjadi-jadi. Matanya tak lepas menatap sang pengantin wanita yang terus berjalan menelusuri altar. Matanya terus menyipit, mencoba menerka-nerka siapakah pengantin wanita itu. Namun aying, kerudung yang menutupi wajah sang mempelai wanita memakasa Taeyeon untuk puas hanya menebak-nebak siapakah sosok itu.

“Tidakkah pengantin wanitanya begitu menawan? Ia adalah sahabat Jongwoon, namanya Stephanie. Apa kau mengenalnya?” Bisik Nyonya Kim tepat di telinga Taeyeon. Mendengar bisikan wanita paruh baya itu Taeyeon tiba-tiba saja terbelalak dan ternganga. Stephanie? Bukankah teman Jongwoon Oppa yang bernama Stephanie hanyalah…… Tiffany Hwang?!

 

   Jongwoon dengan seksama menyimak apa yang pendeta katakan diatas altar, menunggu reaksi selanjutnya dari Kyuhyun. Ia mendadak juga merasa gugup, entah karena apa. Mungkinkah Pra-wedding syndrome? Konyol! Melamar wanita keras kepala di sampingnya itu saja belum bagaimana mungkin Pre-Wedding Syndrome sudah terlebih dahulu menggerayanginya?

   Kini sesekali ia melirik wanita yang duduk di sampingnya. Seorang wanita yang nampak begitu menawan dan mempesona dengan minigown putihnya. Bagi Jongwoon, tak ada wanita lain yang mampu menandingi kecantikan seorang Kim Taeyeon di matanya, termasuk sahabatnya yang menjadi bintang hari ini, Tiffany Hwang. Wanita ini memang terlalu menyilaukan, mungkin sebuah kaca mata hitam masih tak mampu melindungi mata Jongwoon dari sinar menyilaukan wanita itu.

   Tanpa Jongwoon sadari seisi gereja sudah berdiri dan bertepuk tangan, seakan memberi selamat pada pasangan diatas altar, lalu ia ikut berdiri dan bertepuk tangan. Sesuai dengan prakiraannya, sedari tadi ia memperhatikan Taeyeon dan dapat melihat dengan jelas bagaimana ekspresi kaget wanita itu. Bahkan sampai seisi gereja sudah riuh seperti ini, ia masih tercengang dengan guratan tak percaya dan mulutnya yang menganga lebar.

    Ia sejenak sedikit merendahkan tubuhnya hingga bibirnya tepat berada di dekat telinga wanta itu. “Masih marah karena aku mengajakmu kesini?”

   “Bagaimana bisa kau merahasiakan hal-hal seperti ini dariku, Kim Jongwoon?!” Desis wanita itu tajam tanpa sedikitpun melepaskan pandangannya dari Kyuhyun yang kini tengah mendaratkan ciumannya pada kening Tiffany di depan altar sana.

   Jongwonn terkekeh, “Hanya kejutan kecil-kecilan.”

   “Tidak lucu, Jongwoon-ssi!” desis wanita itu lagi. “Tapi apa hanya perasaanku saja atau memang mereka nampa begitu serasi, Oppa? Aku tak menyangka Kyuhyun Oppa bisa begitu menawan dan mempesona.” Ujarnya meminta pendapat Jongwoon dengan nada bicara yang tiba-tiba saja berubah dan matanya yang begitu berbinar.

   Jongwoon menaikkan sebelah sudt bibirnya, tersenyum licik. “Tunggu sampai giliran kita berdiri di depan sana Taeyeon-ah. Aku pastikan pesona Kyuhyun itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan diriku. Perlu kau catat, aku sudah lebih berpengalaman.” Bisiknya kembali di telinga Taeyeon. Wanita itu sungguh kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan pria itu hingga ia memilih untuk menunduk, menyembunyikan senyumannya yang nampak seperti orang gila karena ledakan perasaannya.

—O—

   Jongwoon dan Kyuhyun hanya bisa tersenyum melihat Taeyeon dan Tiffany berpelukan sangat erat, meluapkan segala kerinduan mereka. Bahkan Tiffany tak kuasa menahan matanya untuk menitikkan air matanya. Seakan lupa butiran-butiran bening itu sangat berpotensi menghancurkan make-up di wajah cantiknya itu.

   “Ya! Uljima!” ucap Taeyeon seraya menghapus air mata Tiffany yang akhirnya tumpah melunturkan make-up tipisnya.

   “Bagaimana aku tak menangis? Kalau bukan karena dirimu yang menyelamatkanku, aku tak mungkin bisa berdiri disini sekarang, Taeyeon-ah….”Ucap Tiffany sambil kembali memeluk Taeyeon,  bahkan lebih erat semantara Taeyeon hanya terdiam dan mengelus pelan punggung Tiffany. Jadi Tiffany sudah mengetahuinya… kalau begitu Jongwoon Oppa dan Kyuhyun Oppa juga pasti sudah mengetahuinya….

   Taeyeon tersenyum dan melirik Kyuhyun yang berdiri berdampingan dengan Jongwoon, lalu mendorong Tiffany agar dekat-dekat dengannya. “Sudahlah, kita tak harus membahasnya di saat-saat membahagiakan seperti ini.yang terpenting, aku sudah bersusah-susah berjuang menolongmu. Sekarang aku serahkan tanggung jawab untuk menjaga Tiffany padamu, Cho Kyuhyun!” ucapnya serius, namun sedetik kemudian ia tertawa garing. Jongwoon yang melihatnya segera mengacak rambut Taeyeon pelan.

“Kalian tahu, jika aku tak mati-matian memaksa wanita keras kepala ini untuk datang, aku yakin saat ini dia sudah menyesal karena tak melihat kalian.” Ucap Jongwoon tiba-tiba yang membuat Taeyeon melayangkan pukulan pelan di lengan pria itu.

“Siapa suruh sok memberi kejutan, dasar pria bodoh!” balas Taeyeon tak mau kalah. “Tapi yang membuatku penasaran, kalian sejak kapan mengenal dan memiliki hubungan? Tiba-tiba saja aku mendapati kalian sudah di depan altar mengucap janji suci pernikahan. Salah satu dari kalian berhutang cerita padaku.”

“Ucapanmu hampir sama dengan ucapan Jongwoon Hyung sebulan lalu. Kami tak bisa memberikan jawaban apapun padamu selain : salah siapa pergi begitu saja dan tak jelas kemana. Begitu banyak hal yang kau lewatkan, Taeyeonie.” “Ucap Kyuhyun kemudian dibalas dengan wajah kesal ala Taeyeon. Bibirnya yang mengerucut dan pipinya yang mengembung. Ketiga orang itu tertawa renyah, sementara Taeyeon hanya menggerak-gerakkan bibirnya kesal.

“Ah, aku juga penasaran akan satu hal,” Ucap Tiffany yang sukses membuat ketiga pasang mata menatap antusias padanya. “Kapan Jongwoon Oppa akan menikah dengan Taeyeon? Kalian harus secepatnya menikah, kalau bisa sebelum aku dan Kyuhyun Oppa kembali ke New York.”

“New York? Kalian akan menetap disitu?!”Seru Taeyeon dan Jongwoon bersamaaan.

“Ne, aku dipercaya oleh Appa untuk memegang perusahaan induk yang ada disana.” Jelas Kyuhyun.

Entah sejak kapan, tangan kanan Jongwoon sudah berada di pinggang Taeyeon dan menariknya hingga keduanya berdiri berdampingan tanpa jarak sedikitpun. “Tenang saja, aku pastikan kalian akan menerima kiriman sebuah kartu undangan sebelum kalian berangkat ke New York.”

—O—

Malam itu, sepulang dari pernikahan Kyuhyun dan Tiffany, Jongwoon memutuskan untuk makan malam bersama dengan Taeyeon di apartmentnya. Cukup aneh untuk Taeyeon karena biasanya jika dirinya mengatakan menginginkan sesuatu, pria itu akan balas dengan member rekomendasi makanan lain sehingga tak jarang akan berakhir dengan perdebatan kecil di antara keduanya. Tapi tidak dengan hari ini. Hanya karena Taeyeon menggumam ingin memakan Samgyupsal ketika keduanya tengah dalam perjalanan pulang, pria itu langsung membelokkan kemudinya menuju super market dan mengajaknya membeli bahan-bahan Samgyupsal.

Dan disinilah keduanya kini berada, di dapur apartment Taeyeon— apartment Jongwoon tepatnya. Kim Jongwoon sibuk berkutat dengan daging samgyupsalnya sementara Taeyeon sibuk menyuci dan memilah-milah selada yang akan mereka makan serta menyiapkan tetek bengek lainnya. Tak jarang Taeyeon diam-diam akan melirik Jongwoon yang tengah serius memasak daging samgyupsalnya sambil berpikir. Apa jangan-jangan pria ini mengetahui diriku sedang ngidam sehingga tanpa basa-basi ia langsung mengiyakan permintaanku?

Usai menyiapkan segala bahan dan meletakkannya di atas meja yang terdapat di ruang tamu, keduanya kini duduk di atas sofa panjang menghadap meja. Keduanya terlihat menikmati makan malam dengan gembira dan tawa yang menyelingi makan malam mereka. Dengan lihai keduanya saling beradu meletakkan nasi, bawang putih, daging serta bahan-bahan lainnya di atas daun selada dan membuat bungkusan kemudian berlomba memakannya.

“Taeyeon-ah,”

“Hm?” responnya dengan mulut yang masih penuh.

“Buatkan aku satu, aku ingin memakan buatanmu.” Pintanya yang langsung disambut dengan senyuman penuh kelicikan oleh Taeyeon. Tanpa menunda-nunda, wanita itu mengambil selembar daun selada, meletakkan daging, nasi, pasta kacang merah dan kimchi. Tak lupa beberapa potongan bawang putih dan cabai hijau yang jumlahnya tak sedikit.

Jongwoon yang memperhatikan samgyupsal buatan Taeyeon bergidik ngeri. “Itu untukmu saja, aku tak keberatan jika harus mengantri.”

Taeyeon menggerakkan telunjuknya dan menggelengkan kepalanya cepat. “Kau yang meminta dan aku tak menerima penolakan. Samgyupsal spesial ini khusus aku buatkan untukmu Oppa.” Goda Taeyeon sembari emasang aegyonya.

Jongwoon menelan ludahnya. Dengan ragu tangannya terulur meraih samgyupsal dari tangan Taeyeon, namun dengan cepat Taeyeon menghempaskannya. “Biar aku yang menyuapimu. Sini kemarikan mulutmu.”

Dengan ragu Jongwoon mendekatkan mulutnya dan membuka mulutnya. Tanpa ragu Taeyeon langsung memasukkan samgyupsalnya ke mulut Jongwoon. Awalnya sama sekali tak ada reaksi dari pria itu. Bahkan ia tak menggigitnya, hanya membiarkan mulutny dipenuhi oleh sebungkus samgyupsal.

“Ayo cepat kunyah!” Ucap Taeyeon agak memaksa. Dengan ragu rahang pria itu mulai nampak bergerak, menandakan pria itu sudah mulai mengunyah samgyupsalnya. Tak perlu waktu yang lama wajah Jongwoon sudah nampak memerah dan matanya terbelalak kaget karena rasa pedas dari samgyupsal Taeyeon. Jongwoon terus berusaha menguyahnya meskipun rasa pedas yang tak basa ia toleransi. Dan saat itu juga dengan mulut yang masih penuh Jongwoon memberikan isyarat pada Taeyeon untuk mengambilkannya minum.

“Hahaha, itulah balasan untuk pria usil sepertimu.” Ujar Taeyeon kemudian tertawa puas sambil membuka pintu kulkas dan mengambil satu botol air minum untuk diberikan kepada Jongwoon. Sesampainya kembali di ruang tamu, Taeyeon mendapati Jongwoon sudah selesai menguyah namun masih terlihat dengan jelas jika pria itu masih merasakan sisa sisa rasa pedas di mulutnya. Terlihat dari cara pria itu mengeluarkan lidahnya bak seekor anak anjing.  Namun yang tak kalah menarik adalah sesuatu di tangan Jongwoon. Sebungkus samgyupsal!

“Kau berniat balas dendam?” tantang Taeyeon sembari mendudukkan dirinya di samping Jongwoon dan meletakkan botol air di atas meja.

“Kau tahu itu.”

“Tidak adil! Kau sudah mengerjaiku, jadi aku rasa kita sudah impas dan aku tak perlu memakan samgyupsalmu itu!”

Jongwoon mengikuti gesture tubuh Taeyeon, menggerakkan telunjuknya dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku tak mau tahu, aku juga ingin kau merasakan samgyupsal buatanku karena buatanku juga tak kalah spesial!”

Taeyeon melirik Samgyupsal di tangan Jongwoon lalu kembali menatap pria itu. “Baiklah. Asal kau tahu saja tingkat toleransiku pada rasa pedas sangatlah tinggi. Jadi aku yakin aku akan baik-baik saja.” Ucapnya percaya diri.

Jongwoon pun menyuapi Taeyeon samgyupsal buatannya dan menunggu reaksi wanita itu sambil menegak air yang baru saja Taeyeon ambilkan untuknya. Sementara itu, Taeyeon yang sedang mengunyah Samgyupsal buatan Jongwoon hanya mengernyit tak mengerti. Balas dendam? Bahkan samgyupsal ini sama sekali tidak berisi cabai hijau.

Taeyeon terus menguyah hingga ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam mulutnya. Sesuatu yang keras. Buru-buru ia meraih selembar tisu dan mengeluarkan benda asing yang ia rasa aneh itu di atas kertas tissue yang di ambilnya. Penasaran dengan benda asing itu, Taeyeon pun sedikit menurunkan tissue itu dari mulutnya dan medapati sesuatu yang sama sekali tak ia duga.

Taeyeon tertegun dengan apa yang dilihatnya saat ini. Matanya tak lepas menatap sebuah benda kecil nan berkilauan di tangannya, sebuah cincin emas putih dengan batu ruby sebagai matanya. Tak lupa ia bisa menangkap sesuatu yang tak kalah menarik dari benda kecil itu. Ia bisa membaca dengan jelas nama pria di hadapannya itu terukir dengan cantiknya pada bagian dalam cincin itu.

“A—Apa-apaan ini, Oppa?” Tanya wanita itu dengan terbata, tak kuasa menahan debaran di janntungnya yang mendadak berlomba dengan aliran darahnya.

Jongwoon mengernyit. “Kau tak tahu benda apa ini?” Tanyanya dengan sudut bibirnya yang sedikit terangkat.

Taeyeon menggelengkan kepalanya cepat. Bodoh jika ia mengatakan ia tak mengetahui benda berkilauan yang ada di telapak tangannya. Namun yang membuatnya bingung seperti ini adalah sikap Kim Jongwoon yang tak terduga dan sukses membolak-balikkan perasaannya seperti yang biasa pria itu lakukan padanya.

“Aku tahu ini adalah sebuah cincin. T-tapi…. Mengapa begitu mendadak?”

Tatapan mata Jongwoon berubah serius, meskipun kelembutan dan ketulusan pria itu masih terpatri jelas di matanya. “Kau mau menunggu sampai kapan? Sampai perutmu itu membesar dan mengundang pertanyaan orang-orang?”

Kata-kata Jongwoon membuat Taeyeon terdiam. Bagaimana bisa pria itu mengetahuinya sementara ia saja masih bingung bagaimana cara memberitahukan berita itu pada Jongwoon.  Taeyeon menunduk. Tapi bagaimanapun juga, cepat atau lambat Jongwoon pasti akan tahu hal ini.

“Ap –apa  maksudmu?” Tanya Taeyeon gelagapan.

“Sudahlah. Kau jangan berpura-pura. Aku sudah tahu kau membawa sesuatu di perutmu” Jongwoon menunjuk kearah perut Taeyeon. “Aku yakin itu adalah hasil perbuatanku dan sebagai seorang pria yang mencintaimu, tentu aku akan bertanggung jawab.”

Ucapan pria itu sukses membuat Taeyeon bungkam tak percaya. Beberapa hari terakhir ia seperti orang gila memikirkan cara yang tepat untuk memberi tahu pria itu akan kehamilannya karena takut pria itu akan memberikan respon yang tak diharapkannya. Tapi pada kenyataannya semua berbanding terbalik dengan apa yang ia pikirkan. Ia tak harus menyusahkan dirinya menyusun kata-kata yang tepat untuk memberi tahu Kim Jongwoon dan ia tak harus merasakan kepahitan akan respon tidak menyenangkan Jongwoon. Dan bukankah itu artinya sebagian dari masalahnya sudah terselesaikan?

“Darimana kau mengetahuinya? Apakah Hyo—“

“Kemarin, sebelum kau pulang larut malam. Aku tidak sengaja menyenggol kotak make up-mu yang kau letakkan di dekat wastafel hingga terjatuh. Dan saat itu aku menemukan benda itu. Benda yang sama dengan benda yang menyebabkan kita bertemu.” Jelasnya. “Memang, Hyoyeon sempat hampir tak sengaja memberitahukannya padaku, tapi sungguh saat itu aku sama sekali belum menyadarinya.”

“Cepat atau lambat kau pasti akan mengetahuinya….” Respon Taeyeon dengan suara yang sangat kecil, nyaris seperti berbisik.

 “Taeyeon-ah…” Ucap Jongwoon lembut, memanggil wanita itu dari dunia lamunannya.

“N—Nde?”

Pria itu meraih tangan Taeyeon dan menggenggamnya erat. “Aku tahu, kau pasti menganggapku lelaki yang sama sekali tak peka dan sama sekali tidak romantis. Maaf aku tak bisa melamarmu dengan cara yang romantis seperti yang didamkan wanita pada umumnya. Tapi aku bisa pastikan jika aku sungguh-sungguh dan serius denganmu, Kim Taeyeon.”

Taeyeon menggelengkan kepalanya dengan cepat. Jujur sepanjang hidupnya, tepat sampai detik ini, tak pernah sekalipun terlintas di otaknya bayangan akan sebuah lamaran romantis seperti halnya adegan pada drama atau film romantis yang biasa ia tonton. Ia sering menonton adegan dimana sepasang kekasih menikmati candle light dinner dan pada saatnya dessert time, sang wanita akan menemukan cincin yang tersembunyi pada suapan ice cream atau chocolate mousse yang dihidangkan untuknya. Tapi bagaimana jika samgyupsal? Aneh memang, tapi bukankah hal-hal yang bersifat aneh wajar dilakukan oleh orang bergolongan darah AB seperti halnya Kim Jongwoon?

“Sedikit aneh memang, tapi sepertinya berbeda itu berkesan.” Ucap gadis itu lembut sambil melemparkan senyuman manis dan tulusnya pada Jongwoon. “Tapi… Tidakkah cincin ini terlalu berlebihan? M-maksudku, ini terlalu—”

“Cantik?” Potong Jongwoon dan disambut anggukan pelan dari Taeyeon.

Jongwoon mengambil cincin itu dan tanpa membiarkan wanita itu berkomentar macam-macam, cincin itu sudah tersemat dengan manis pada jari manis mungil milik Taeyeon. “Wah, pas sekali.” Bangga pria itu dengan senyuman yang tersungging di bibirnya, diikuti dengan matanya yang nampak seperti sebuah garis. Menggemaskan!

Jongwoon menautkan jari-jari tangannya dengan jari-jari Taeyeon sembari menatap bola mata wanita  itu sedalam yang ia bisa. “Jika kau merasa cincin ini terlalu cantik untukmu, sepertinya itu tidak berlaku untukku. Bagiku kecantikanmu masih tidak dapat ditandingi oleh cincin ini. Jadi kurasa ini sama sekali tidak berlebihan.” Terang Jongwoon. Sedikit gombal memang, tapi tak kuasa membuat Taeyeon menahan gejolak yang menyerang hati serta jantungnya.

Taeyeon terkekeh lalu melayangkan pukulan pelan pada lengan pria itu. “Mendengar kata-katamu itu, aku jadi berpikir jika kau adalah seorang Playboy. Aku wanita keberapa yang kau gombali seperti itu?” Gurau wanita itu sambil tertawa ringan.

Jongwoon nampak berpikir. “Sepertinya kau adalah wanita ketiga.”

“Mwo?! Ketiga?! Berarti kau b-be—”

“Wanita ketiga, setelah Eommaku dan mendiang Sooyoung.” Potong Jongwoon cepat.

Taeyeon menghela nafas lega sambil mengerucutkan bibirnya sebal karena ucapan Jongwoon yang nyaris membuatnya berpikir macam-macam. Sementara itu, Jongwoon bangkit dari sofa, berjalan menuju sudut ruangan dan menekan saklar lampu hingga lampu-lampu di ruangan itu padam dan menyisakan satu lampu pada bagian tengah ruangan. Tak lama setelah itu, alunan musik klasik menyapa telinga Taeyeon, dan dalam seketika suasana ruang tamu itu berubah redup namun terkesan romantis.

Tanpa Taeyeon sadari, kini pria itu tengah berdiri di hadapannya sambil mengulurkan tangannya pada Taeyeon. “May I have the honour to have a dance with you, Mademoiselle?” katanya.

Senyuman menghiasi wajah Taeyeon. Taeyeon mengangguk tanpa ragu, lalu menyambut uluran tangan Jongwoon. “With pleasure…” Ucapnya sambil membiarkan Jongwoon membimbingnya ke tengah ruangan.

Taeyeon telah memasang ancang-ancang untuk berdansa. Ia meletakkan tangan kirinya pada pundak pria itu dan mencoba mengajak pria itu menautkan jari-jarinya dengan jari-jari milik Taeyeon. Tapi yang membuat wanita itu terheran-heran adalah, pria itu sama sekali tak balas menautkan jarinya dan malah menatap Taeyeon dalam diam.

“Wae?” Gumam Taeyeon sambil mengernyit tak mengerti. Bukankah ia yang mengajak Taeyeon berdansa? Mengapa ia mendadak membatu seperti ini?

Jongwoon masih diam, tapi tak sampai beberapa detik pria itu kembali tersenyum hangat kepada Taeyeon. Tanpa diduga-duga pria itu telah melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Taeyeon dan tanpa wanita itu sadari, Jongwoon telah mengangkat sedikit tubuh Taeyeon hingga kini kedua kaki wanita itu telah berpijak di atas punggung kaki Jongwoon. Taeyeon menahan deru nafasnya ketika Jongwoon menghapuskan jarak di antara mereka hingga wajah Taeyeon  tepat berada di depan dada Jongwoon. Spontan Taeyeon meletakkan kedua tangannya di dada bidang pria itu, bermaksud menciptakan jarak diantara dirinya dengan Jongwoon. Dengan jarak sedekat ini, ia bisa menghirup dalam-dalam aroma maskulin pria itu. Aroma yang begitu khas di hidungnya dan entah mengapa menjadi candu sendiri baginya. Namun di sisi lain, ia takut jika pria itu akan mendengar gemuruh pada jantungnya.

“O-Oppa….” Kata wanita itu gugup sambil menundukkan kepalanya. Takut jika Jongwoon akan mendapati wajahnya yang telah bersemu merah karena menahan malu.

“Tatap aku, Taeyeon-ah.” Titah Jongwoon dengan lembut. Dengan takut, Taeyeon mencoba mengangkat kepalanya hingga mata hazel miliknya bertemu mata gelap nan tajam milik Jongwoon.

Perlahan ia bisa merasakan kedua kaki Jongwoon mulai bergerak mengikuti irama. Taeyeon tidak perlu repot-repot menyesuaikan pergerakan kaki pria itu karena yang ia perlukan hanya melemaskan kakinya dan membiarkan Jongwoon memimpin dansa mereka. Mata Taeyeon tak lepas menatap mata Jongwoon dan untuk kesekian kalinya, mata gelap nan tajam itu sukses menghipnotisnya dan membuatnya jatuh terlalu dalam pada pesona pria itu.

Tak perlu waktu yang lama, Taeyeon sudah menemukan posisi yang nyaman untuknya berada di dekapan pria itu. Kedua tangannya sudah terlingkar dengan manis di leher Jongwoon sementara kepalanya menopang pada bahu Jongwoon.

Jongwoon berbisik pelan. “Taeyeon-ah…. Maaf dan terimakasih….”

“Untuk?”

“Maaf telah membuatmu merasakan begitu banyak penderitaan karena diriku. Maaf karena aku pernah melepasmu begitu saja. Dan maaf karena sikapku kau terpaksa mempertaruhkan hidupmu dan membaginya dengan Tiffany.”

Oppa, sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Kita tidak usah membahasnya lagi.”

Jongwoon kembali melanjutkan kalimatnya. “Lalu, terimakasih…. Terimakasih karena kau mau menerima duda tua dan menyebalkan seperti diriku. Dan  terimakasih telah mencintai segala kekuranganku dengan segala kelebihanmu, Kim Taeyeon.” Ucap Jongwoon sambil memindahkan kedua tangannya pada punggung Taeyeon dan ganti mendekapnya begitu erat.

Ucapan Jongwoon kembali membuat hati Taeyeon tersentuh. Diam-diam wanita itu tersenyum dalam dekapan Jongwoon. “Sepertinya aku memang tak memiliki pilihan lain selain menerima duda tua sepertimu.” Gurau Taeyeon sambil terkekeh kecil.

“Ya, kau memang tak memiliki pilihan lain selain mencintai duda tua, tampan dan penuh pesona seperti diriku, Kim Taeyeon.”

Kini keduanya kembali berkutat di dapur. Jongwoon mencuci piring sementara Taeyeon mengelapnya dan memasukkan peralatan makan mereka ke dalam kitchen set. Sepanjang mengerjakan pekerjaan mereka keduanya saling mengobrol dengan tawa yang menyelingi. Sesekali keduanya akan saling melirik dan memberikan senyuman malu. Sungguh seperti sepasang anak muda yang sedang kasmaran.

“Jongwoon Oppa…”

“Hm?”

“Kita masih memiliki satgu masalah lagi, orangtua kita….”

“Aku sudah memberitahu orangtuaku kemarin, tak heran jika tadi Eeomma sedikit over protective padamu ketika di pesta tadi. Jadi sekarang masalahnya hanya orangtuamu”

“Hah?Jinnja?! Kau sudah memberitahu mereka? Apa tanggapan mereka?”

“Mereka sangat antusias karena akan mendapat tambahan cucu.” Ucapnya sambil terkikik geli. “Dan mereka memintaku untuk menjagamu serta segera menikahimu.”

Taeyeon menganggukkan kepalanya paham sambil mendesah lega. “Oppa,” Panggil Taeyeon lagi.

“Hm?”

“Kira-kira bagaimana anak kita nanti?” Tanyanya dengan suara yang begitu kecil karena malu, nyaris seperti berbisik.

“Simple saja, jika ia pria ia akan tampan sepertiku dan jika wanita akan sepertimu. Untuk sifat jika ia mengambil sifatku ia akan pintar sepertiku, jika ia mengambil sifatmu tentu ia akan keras kepala sepertimu.” Jawab Jongwoon enteng.

“Cih, lihatlah sifat terlalu percaya dirimu itu kumat lagi. “ Desis Taeyeon sebal. Semoga saja jika nanti anak kita laki-laki ia tak mewarisi sifat terlalu percaya diri seperti Appanya. Dan semoga di masa depannya ia tak akan melamar gadisnya dengan samgyupsal.” Sindirnya.

Jongwoon membilas piring terakhirnya lalu mencuci tangannya dan mengibaskannya. Kini ia menyandarkan punggungnya pada kitchen set memperhatikan Taeyeon yang masih sibuk mengelap piring-piringnya. “Aku tahu kau pasti sangat kecewa padaku. Aku akan memberitahumu sebuah rahasia. Berjanjilah untuk tidak menertawaiku.”
Ucapnya yang sukses membuat Taeyeon beralih menatapnya penasaran. Jongwoon mengeluarkan secarik kertas yang nampak dilipat dari dalam saku kemejanya. Kertas yang sudah nampak usang, sepertinya sudah terlalu sering dibuka, dibaca, lalu dilipat lagi.

“Karena aku mneyadari diriku sangat tidak romantis, aku mencoba mencari di internet tentang…. Ya kau tahulah….  cara melamar seorang wanita. Sempat terpikir olehku untuk melakukan salah satunya tapi aku tidak sempat menyiapkannya.” Ucapnya sambil membuang muka sementara tangannya menyodorkan Taeyeon lipatan kertas itu.

Taeyeon menerima kertas pemberian Jongwoon dan buru-buru membukanya lantas membacanya. Wanita itu nampak tertegun. Jongwoon sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia mencari hal-hal se-cheesy ini di internet demi dirinya. Sebuah senyuman terukir dibibirnya. Senyuman tulus dan bahagia.

“Sepertinya jika kau melakukan candle light dinner sudah sangatlah biasa. Tapi jika kau melakukan hal-hal seperti melakukan serenade di tengah keramaian untukku ataupun melamarku dengan advertisement board,  aku rasa lebih baik aku bunuh diri karena tak sanggup menahan malu.” Guraunya kemudian dibalas oleh kikikan kikuk oleh Jongwoon. “Sejauh ini aku rasa memang lamaran samgyupsal ala dirimu tetap yang terbaik.”

   Jongwoon tersenyum sumringah namun seketika sikap wanita itu membuatnya sedikit tercengang. Dengan gerakan yang begitu cepat, Taeyeon dengan sigap berjinjit dan meraih tengkuk Jongwoon lalu mencium bibirnya. Jongwoon tak sempat memejamkan matanya karena gerakan Taeyeon yang terlalu cepat, dan dalam waktu beberapa saat ia lebih memilih untuk membalasnya secara terang-terangan. Membuka mulutnya perlahan, merasakaan sesuatu yang manis menerjang rongga mulutnya. Cukup lama mereka berciuman dengan penuh gairah tiba-tiba saja Jongwoon menginterupsi ciuman mereka. “

   “Apa kau yakin kau akan baik-baik setelah mempercayakan hidupmu kepadaku? Apa kau tidak khawatir jika aku akan menjadikanmu tawananku seumur hidup sehingga kau tak akan pernah lepas  lagi dariku?” Tanyanya sambil menatap mata hazel itu sedalam yang ia bisa.

   “Berapa kali aku harus menjawab, Kim Jongwoon. Lagipula sudah terlambat untuk menyesal dan menjauh dari kehidupanmu. Karena kau sudah mengambil hatiku begitu saja dan aku tak bisa mengambilnya kembali.” Jawab Taeyeon mantap dan penuh rasa percaya diri. Ia balas menatap mata hitam nan tajam milik Jongwoon. Mata yang membuatnya terpikat. Mata yang membuatnya tak bisa berkutik. Dan ,ata yang selalu memnuatnya gugup. Ia sampai harus mengingat-ingat kapan terakhir kali ia gugup karena melihat sorot mata itu terlalu jelas.

   Dengan sigap Jongwoon memutar posisi tubuhnya sehingga kini Taeyeon telah bersandar pada kitchen set. Perlahan ia mencondongkan tubuhnya hingga memaksa tubuh gadis itu ikut condong kebelakang hingga sikunya harus bertumpu di pada kitchen set. Dengan perlahan Jongwoon mendekatkan wajahnya hingga keduanya saling merasakan hembusan napas menerpa wajah keduanya. Ia semakin mendekatkan wajahnya, menghapuskan jarak diantara mereka dan keduanya pun memejamkan mata. Ketika bibir keduanya bertemu, tanpa menunggu lebih lama lagi ciuman keduanya langsung berubah menjadi ciuman yang begitu dalam dan bergairah. Taeyeon yang sudah sangat mengerti dengan keinginan pria itu kembali melingkarkan lengannya di leher pria itu dan menyisipkan jari-jarinya di antara rambut Jongwoon. Mereka tak melepaskan perpagutan bibir mereka dan terus berciuman untuk mengekspresikan perasaan cinta mereka.

—O—

4 Tahun Kemudian

Seorang wanita berjalan memasuki areal sebuah rumah mewah namun terkesan simple. Wanita itu nampak begitu santai namun elegan dengan minidress bermotif floral yang ia padukan dengan cardigan berwarna hitam. Rambutnya yang dicat kecoklatan sudah tertata rapi dengan lengkungan di setiap ujungnya. Sebelah tangannya menggenggam tangan gadis kecil berusia sekitar 4 tahun yang sedang tersenyum dengan riangnya. Setibanya di depan pintu utama rumah tersebut, tangan wanita itu langsung menekan bel dan mendekatkan wajahnya ke arah intercom.

“Nuguseyo?” Tanya seseorang di dalam sana.

“Eommonim, ini aku, Taeyeon dan Minji.” Balasnya ramah.

Begitu masuk ke dalam kediaman keluarga Kim. Minji— gadis kecil yang sudah resmi terdaftar sebagai putri Kim Jongwoon dan Kim Taeyeon sejak 4 tahun yang lalu langsung berhambur ke pelukan neneknya. Sementara sang Eomma yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum gemas lalu membungkukkan badannya hormat kepada Abeonim dan Eomonimnya itu.

“Halmeoni, Saengil Chukahamnida.” Ucap gadis kecil itu dengan suara serta senyumannya yang berhasil memnbuat siapa saja gemas. Bahkan saking gemasnya, Nyonya Kim langsung menggendong bocah itu dan membiarkan pipinya dicium oleh gadis kecil itu.

“Eomonim, Saengil Chukae.” Ucap Taeyeon sambil memeluk dan menempelkan kedua pipinya dengan pipi ibu mertuanya itu.

“Ah, Gomawo, Taeyeon-ah.” Balas wanita itu sambil tersenyum senang. “Mana Jongwoon dan Taewoon?”

Taeyeon mengehela nafas sedikit kecewa tatkala otaknya mengingat suaminya itu. “Tadi pagi-pagi sekali ia sudah pergi karena ada operasi mendadak. Ia hanya memintaku untuk langsung datang kesini pada sore hari.Sementara Taewoon sepertinya akan pulang bersama Hyoeun sebentar lagi.”

Nyonya Kim menganggukan kepalanya paham. “Ah begitu. Tapi apa kau sedang memiliki masalah dengan Jongwoon? Kau nampak tak bersemangat ketika Eomma menyebut namanya.

Tentu saja aku kesal. Bagaimana tidak? Ini seharusnya menjadi ulang tahun pernikahan kami yang keempat, dan seperti biasa kepala besar berotak udang itu tak mengingat hari spesial kami.bagaimana aku tak kesal?!

Kembali wanita itu menghela nafas panjang lalu tersenyum sedikit kaku. “Anio. Aku baik-baik saja Eomonim. Aku hanya sedikit kecewa ia terlalu sibuk hingga tak bisa pergi bersama kami.” Jelasnya sedikit berbohong.

Taeyeon membalikkan Pancake Kimchi buatannya di atas Teflon. Meskipun tangannya sibuk beradu dengan sendok dan Teflon di hadapannya, namun mata serta perhatiannya terlalu sibuk memandang ke luar melalui jendela dapur yang tedapat di hadapannya. Hari itu sudah semakin sore dan langit sudah nampak memancarkan semburat-semburat jingga yang menandakan sebentar lagi sang surya akan kembali ke peraduannya. Di taman belakang kediaman keluarga Kim, Taeyeon bisa melihat Hyukjae, Tuan Kim serta suaminya yang tercinta, Kim Jongwoon, tengah sibuk memanggang daging di atas api panggangan yang sedang berkobar. Pria itu nampak begitu menikmati kegiatannya seolah tak memiliki beban. Dan melihat tingkah pria itu, kekesalan Taeyeon padanya kian menjadi-jadi. Bahkan ketika Jongwoon tak sengaja memergoki wanita itu tengah memandanginya dari dapur, pria itu tersenyum bahagia sambil melambaikan tangannya pada Taeyeon.

“Cih! Daripada mencoba bersikap manis seperti itu, mengapa tidak kau ucapkan saja kalimat yang ingin aku dengarkan. Benar-benar tak peka!” desisnya sambil tanpa sadar menekan-nekan Pancake Kimchinya dengan sendok kayu hingga robek.

“Ya! Jangan menjadikan makanan sebagai pelampiasan!” Tegur seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Taeyeon.

Taeyeon mengelus dadanya kaget. “Eonni?! Darimana saja kau? Seharusnya kau sudah membantuku sejak tadi!” Omel Taeyeon ketika mendapati Hyoyeon yang kini berdiri di sampingnya sambil nyengir tak jelas.

Seolah tak memperdulikan kekesalan adik iparnya itu, Hyoyeon mengambil satu buah Pancake Kimchi yang sudah tertumpuk rapi di dekat kompor lalu memakannya tanpa rasa bedosa. “Aku harus mempersiapkan pementasan musikal anak-anak Yeonjae, dan tentu kau tahu begitu banyak persiapan yang harus aku lakukan.” Jelasnya sambil tetap asyik menguyah makanannya.

“Datang-datang kau hanya membawa kerusuhan, kenapa kau tidak mengurus Jaehyo saja? Sekalian aku titip Minji sampai aku selesai menggoreng semua pancake ini.”

“Sudah Eomma yang mengurus mereka jadi dengan bersukarela dan bersenang hati aku memutuskan untuk menemanimu di dapur.” Ucapnya yang berhasil membuat Taeyeon mencibir kesal sambil memutar kedua bola matanya. “Hey, tadi aku mendengarmu mengatakan Jongwoon Oppa tak peka, apa kalian sedang ada masalah?” Tanyanya ingin tahu.

Taeyeon mendesah panjang. “Hanya masalah kecil, tidak terlalu berarti.”

Hyoyeon menganggukkan kepalanya seolah mengerti Taeyeon tak ingin membahas lebih lanjut masalahnya dengan Jongwoon. “Oh ya, untuk apa membuat Pancake kimchi sebanyak ini? Bukankah hanya kita saja yang merayakan ulang tahun Eomma?” Tanyanya bermaksud mengganti topik pembicaraan mereka.

“Entahlah, tapi tadi aku samar-samar mendengar kalau aka nada tamu spesial yang datang. Katanya sahabat Abeonim dan Eomonim serta menantu dan cucu mereka.” Ucapnya sambil mengendikkan bahu.

Dibawah sinar bulan dan bintang malam itu, kini semua anggota keluarga telah duduk manis menghadap meja yang sudah tertata rapi di taman belakang kediaman keluarga Kim, tak terkecuali kedua balita Lee Jaehyo dan Kim Minji yang sedari tadi tak bisa jauh-jauh dari Halmeoninya. Hampir semua orang tersenyum bahagia malam itu sambil menikmati makan malam mereka. Ya hampir, karena Kim Taeyeon tidak termasuk hitungan orang yang tersenyum bahagia menikmati makan malam bersama malam itu. Sedari tadi wanita itu masih dikuasai oleh emosinya yang tak stabil dan moodnya yang naik turun. Jika saja saat ini ia tidak sedang berada disini bersama keluarga mertuanya, ia pasti sudah meluapkan kekesalannya dengan membentak pria bodoh yang sedari tadi begitu mengusik pikirannya.

“Apa ada yang salah, Taeyeon-ah? Kau nampak tak bersemangat.” Tanya Jongwoon yang duduk di sebelahnya dengan waut wajah khawatir.

Tentu saja ada. Dan itu dirimu, bodoh!

“Tidak, aku hanya lelah.” Jawabnya seadanya sambil menggelengkan kepalanya lemah.

Jongwoon menganggukan kepalanya sambil mengelus punggung wanita itu. Untuk beberapa detik pria itu nampak sibuk dengan pemikirannya sampai matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang kini tengah berjalan kearah mereka sambil tersenyum.

“Ah, Youngmin Samchon, Annyeong haseyo.” Spontan Jongwoon berdiri dari duduknya dan memberi salam pada sosok itu. Melihat perilaku Jongwoon, orang-orang di meja itu spontan menolehkan kepalanya kepada sosok pria paruh baya yang kini tengah berjalan kearah mereka.

“Ah, sepertinya kami terlambat.” Ucap pria bernama Youngmin itu sambil memamerkan deretan gigi putihnya. Selang beberapa detik, dari belakang punggung pria itu muncul seorang wanita yang kira-kira sebaya dengan pria itu serta sepasang suami istri yang masing-masing menggendong anak mereka. Ya mereka adalah keluarga Hwang dengan menantu mereka Cho Kyuhyun serta sepasang balita kembar yang merupakan anak Kyuhyun dan Tiffany. Maddie Cho dan Martin Cho.

Tuan Kim langsung berdiri memeluk sahabatnya itu, begitu juga dengan Nyonya Kim yang langsung memeluk Nyonya Hwang. Taeyeon dan Jongwoon yang masih tak percaya dengan apa yang baru mereka lihat hanya berdiri memandangi para orang tua yang sedang asyik melepas rindu mereka tanpa menyadari dua sosok yang kini tengah berjalan menghampiri mereka.

“Apa tidak ada yang merindukan kami?” Ucap seorang wanita bermata indah yang sedang menggendong anak laki-lakinya. Tiffany. Ucapan wanita itu sukses menarik perhatian Jongwoon dan Taeyeon yang sedari tadi sibuk melamun memandang acara melepas rindu antara Tuan dan Nyonya Kim serta Tuan dan Nyonya Hwang.

“Apa kau tak merindukan Oppamu ini Taeyeon-ah?” tambah Kyuhyun yang sedang menggendong anak perempuannya. Mendegar ucapan pasangan Cho itu, baik Taeyeon dan Jongwoon hanya tersenyum geli lalu berhambur ke pelukan sahabat mereka masing-masing.

“Bagaimana kabar New York?” Ucap Jongwoon sambil memeluk sahabat yang sudah dianggap adiknya sendiri itu.

“New York baik-baik saja tanpa mahluk aneh sepertimu Kim Jongwoon.” Gurau Tiffany yang sukses membuatnya dihadiahi jitakan di keningnya. Sementara Kyuhyun dan Taeyeon hanya tertawa melihat tingkah sepasang sahabat itu.

“Jadi, jika aku perhatikan sepertinya keluarga Cho akan segera kedatangan anak ketiganya.” Ucap Hyukjae membuka topik ketika keluarga Hwang dan Kyuhyun telah ikut bergabung di meja makan. Memang ketika Tiffany muncul dari balik punggung ayahnya, hal pertama yang paling menarik perhatian  semua mata adalah perut Tiffany yang nampak membuncit. Bahkan pipi wanita itu nampak lebih tembam.

“Ah ini, benar sekali. Sekitar satu setengah bulan lagi Miyoung diprediksi akan melahirkan anak ketiga kami.” Jelas Kyuhyun dengan wajah yang nampak bergitu berbinar. Bahkan semua orang di meja itu ikut tersenyum bahagia mendengar penjelasan Kyuhyun, kecuali Taeyeon yang hanya tersenyum kaku sambil meremas kedua tangannya di bawah meja.

“Apa kau sudah rutin mengecek kandunganmu dan melakukan USG, Steph? Apa perkiraan jenis kelamin anak ketigamu ini?” Timpal Jongwoon yang membuat semua mata di meja itu memandang Tiffany dengan ekspresi penasaran.

“Tentu saja aku rajin kontrol, dan untuk masalah USG aku sengaja meminta dokter untuk member tahuku perkembangan bayi kami saja dan sengaja tidak menanyakan jenis kelaminnya.”

“Ah pasti kalian sangat bahagia. Aku jadi menginginkan cucu lagi.” Ucap Nyonya Kim yang  Jongwoon, Hyukjae dan Hyoyeon menatap tajam dengan penuh antisipasi padanya.

Eomma tentu sudah tahu aku sudah tak bisa hamil lagi kan?” Ucap Hyoyeon sambil menatap curiga ibunya itu.

“Siapa yang memintamu untuk hamil lagi, Eomma masih memiliki menantu yang eomma harapkan. Lagipula Eomma yakin Taewoon dan Minji pasti mengharapkan seorang adik di keluarga mereka.” Ucapnya santai yang otomatis membuat Taeyeon tersedak dan membuat seluruh mata memandangnya. Jongwoon yang duduk di sebelahnya dengan sigap menyodorkan segelas air dan mengusap punggung wanita itu lembut.

Eomma, bukankah kami sudah memiliki dua anak? Dan kami rasa itu sudah cukup jangan menuntut hal-hal seperti seperti itu kepada Taeyeon.” Sungut Jongwoon sambil berusaha bersikap tenang walau sebenarnya wajahnya sudah bersemu merah.

Eomma tidak menuntutnya, eomma hanya menyarankan dan menyampaikan keinginan eomma.” Bantah Nyonya Kim. “Lagipula secara logika Taeyeon baru melahirkan satu orang anak kan? Tidak menutup kemungkinan untuk anak ke-dua. Atau – kalian tidak bermaksud mengatakan jika kalian bermaksud menunda kehamilan kan?”

“Anii, kami tidak pernah memiliki program khusus untuk menunda tau merencanakan kehamilan, eomma. Hanya saja semuanya tak semudah yang Eomma pikirkan.” Jelas Jongwoon sambil berusaha menutupi salah tingkahnya sambil tanpa sadar menggenggam meremas tangan istrinya itu.

“Aissh, sudahlah. Mengapa hal seperti ini saja membuat kita berdebat seperti ini.” Ucap Tuan Kim Diplomatis sementara Taewoon hanya terkekeh mendengar percakapan kedua orangtuanya dengan halmeoninya itu.

—O—

            Malam itu sepertinya dingin dari Air Conditioner tidak bekerja dengan baik karena tidak cukup ampuh mendinginkan hati Taeyeon yang sudah berubah panas sejak pulang dari rumah mertuanya. Jam di dinding sudah menunjukkan jika dalam beberapa jam lagi hari akan berganti, namun Jongwoon sama sekali tidak menujukkan tanda-tanda jika pria itu mengingat hari spesial mereka. Bayangkan saja bagaimana Taeyeon tidak sebal, sejak ia dan keluarga kecilnya melangkah masuk ke dalam rumah mereka, Jongwoon langsung asyik menonton TV sementara dirinya diacuhkan hingga ia memutuskan untuk menamani putri bungsunya – Minji- tidur.

“Apakah pria sepertinya pantas disebut pintar? Bahkan Kim Jongwoon itu terlalu bodoh untuk diharapkan mengingat hal-hal kecil seperti itu!”

Tanpa Taeyeon sadari, sedari tadi sepasang mata terus memperhatikannya dari ambang pintu kamarnya. Kedua mata milik Jongwoon memandang punggung gadis itu dari belakang. Rupanya sejak Taeyeon keluar dari kamar mandi, Jongwoon sudah mengintip segala pergerakan wanita itu melalui celah pintu.

Jongwoon tertegun mendengar ucapan spontan dari Taeyeon. Kepalanya menunduk. Ia merenungkannya. Ia tidak sebodoh yang Taeyeon pikirkan hingga tak mengerti apa yang membuat wanita itu kesal setengah mati padanya. Hanya saja ia masih ragu untuk mencari waktu yang pas untuk mengucapkannya pada wanita itu.

            “Jadi, apa ini yang selalu kau lakukan di belakangku? Mengataiku dengan sebutan bodoh?” Taeyeon tersentak saat mendengar suara Jongwoon. Di tengah kekesalannya ada rasa malu yang meyisip di dalamnya. Isi hatinya terbongkar. Dan ia yakin sekali pria itu menganggapnya sangat kekanakan karena mengumpati pria itu hanya karena ulang tahun pernikahan. Ia mulai salah tingkah, bahkan saat Jongwoon masuk ke dalam kamar mereka dan mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.

            Sedikit tergesa-gesa Taeyeon menyisir rambutnya sambil mencoba menghilangkan kegugupan dengan sesekali melirik situasi di belakang punggungnya melalui cermin riasnya. Sungguh malang dirinya, setiap kali ia memandang cermin di hadapannya sebanyak itu pula tatapannya bertubrukan dengan mata Jongwoon yang memandangnya dengan sorot mata yang sulit dideskripsikan. Tangan Taeyeon yang gemetar meletakkan sisirnya di atas meja, namun tak sengaja sisir itu terjatuh dan membuatnya makin kikuk di hadapan Jongwoon. Taeyeon terperangah saat mendengar suara tawa Jongwoon, kemudian menatapnya sambil menyipitkan mata. Dalam sekejap kekesalannya yang kembali tersulut menutupi rasa gugupnya.

            “Kenapa kau tertawa, Kim Jongwoon? Apa ada sesuatu yang lucu?”

            Jongwoon menghentikan tawa kecilnya, lalu berdehem mencoba bersikap tenang. “Kau yang lucu, Istriku. Sebegitu gugupkah kau melihatku setelah kau ketangkap basah sedang mengataiku?”

            “Istriku? Aigoo, rupanya kau masih mengingat kalau aku ini adalah istrimu!”

            Jongwoon tersenyum enteng lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil sesuatu. Kini tangannya telah menggenggam sebuket bunga mawar berwarna merah dan putih kemudian berjalan medekati Taeyeon dan menyodorkannya kepada wanita itu. “Aku tak mungkin melupakan istriku yang kunikahi tepat empat tahun yang lalu.”

            Kapan dia menyiapkan buket bunga itu?      

            Melalui cermin di hadapannya Taeyeon menatap pantulan pria yang kini tengah tersenyum tulus dengan sebuket bunga mawar di tangannya. Ia cukup tersentuh dengan perilaku pria itu. Ya hanya cukup, karena dia bukanlah tipikal seorang wanita yang dengan mudah melupakan kekesalannya dengan disuap dengan sebuket bunga mawar.

“Mengapa hanya memandanginya seperti itu? Terimalah.”

Taeyeon berbalik dan memandang pria di hadapannya itu dengan tatapan sinis. “Rupanya kau sama sekali tidak lupa dan aku yakin sekali kau tahu betul penyebab kekesalanku. Dan setelah semua itu, kau hanya menyodorkanku sebuket bunga mawar dan tersenyum seperti manusia bodoh seperti itu?”

“Jongwoon meletakkan buket bunga mawar itu di pangkuan Taeyeon kemudian berjongkok dan menggenggam tangan wanita itu lembut. “Kali ini aku sama sekali tidak lupa, Nyonya Kim. Hanya saja persalinan mendadak tadi pagi benar-benar mengacaukan segalanya. Dan ketika aku bertemu denganmu di rumah Appa dan Eomma kau sudah terlanjur kesal denganku. Dan setelah itu aku harus mencari saat yang tepat untuk berbicara denganmu.”

Taeyeon masih dalam posisinya. Hanya saja kini tangannya terulur mengambil buket itu dan memandangnya, seolah tak memperdulikan ucapan Jongwoon.

“Taeyeon-ah, mianhae. Jeongmal mianhae. Tidak bisakah kau mempercayaiku dan memaafkanku?” Pinta pria itu memelas.

Taeyeon meletakkan buket bunga mawar itu di meja riasnya kemudian beralih menangkup wajah pria hingga kedua mata mereka bertemu dan mengelusnya dengan lembut. “Dasar pria aneh. Apa sebenarnya kelebihanmu hingga kau pintar sekali meluluhkan hati wanit? Hm?”

“Sederhana saja, kau sangat mencintaiku dan kau tidak bisa berlama-lama menolak pesona pria aneh ini.” Benar kata suaminya itu. Ia tidak bisa berlama-lama bertahan dengan amarahnya lantas menolak pesona pria ini. Sungguh terlalu sayang untuk di lewatkan.

Taeyeon tersenyum lembut dan penuh dengan ketulusan. Namun sayang, Jongwoon tak sempat menikmati senyuman favoritnya itu karena Taeyeon sudah lebih dulu menarik kepalanya dan menyapukan bibirnya di milik pria itu. Jongwoon membiarkan Taeyeon yang memimpin ciuman itu. Sementara Taeyeon tetap bertahan mencium pria itu dengan lebut dan tanpa nafsu yang berlebih. Ciuman yang mampu mewakili segala perasaanya kepada pria itu.

Tanpa di duga, Jongwoon menyudahi ciuman mereka dan sedikit menjauhkan wajah Taeyeon dari wajahnya. Sungguh hal yang sangat jarang dan nyaris tak pernah terjadi. Kemana sifat mesum pria itu yang cenderung meminta lebih?

“Wae?” Tanya wanita itu bingung dengan sikap suaminya itu.

“Sebelum aku mengharapkan dan menuntunmu untuk sesuatu yang lebih, ada satu hal lagi yang harus aku berikan padamu.”

“Hm?” Bingung wanita dengan keningnya yang berkerut.

Tak perlu waktu yang lama pria itu sudah mengeluarkan sebuah amplop dari saku celananya dan meletakkannya di atas telapak tangan wanita itu. “Selamat ulang tahun pernikahan. Anggap saja mawar tadi adalah hadiah permintaan maaf dariku sementara ini adalah hadiahku untuk ulang tahun pernikahan kita.

“Apa ini?”

“Bukalah.”

Dengan cepatnya degup jantung yang terhindarkan, tangan Taeyeon mulai membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Taeyeon benar-benar tercengang dengan isi amplop itu, pasalnya isi amplop itu benar-benar membuktikan pria itu tidak melupakan hari spesial mereka.

“Paket liburan? Ke Guam? Untuk pasangan?” Serunya tak percaya dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Jongwoon menganggukan kepalanya mantap dan tersenyum bangga. “Ne, anggap saja itu bulan madu kita. Tentu kau ingat, setelah kita menikah kita sama sekali belum berbulan madu karena kehamilanmu. Dan setelah kita menikah pun kita terus menundanya karena Minji yang masih sangat bergantung padamu. Jadi aku berpikir, mungkin kali ini kita bisa menikmati bulan madu kita.”

Taeyeon tersenyum mendengar penjelasan pria itu. Namun kentara sekali jika senyumannya itu sangat dipaksakan.

“Wae? Kau tak menyukainya? Apa kau ingin kita pergi ke tempat yang kau inginkan?”

Taeyeon menggelengkan kepalanya lemas. “Tidak. Bukannya aku tidak menyukainya. Justru aku sangat menyukainya. Tapi sepertinya kita kembali harus menunda acara bulan madu kita yang sudah susah payah kau rencanakan ini.”

“W—Wae?”

Taeyeon meraih kedua tangan pria itu dan menggenggamnya erat. “Sebagai dokter kandungan , kau tentu tahu sangat beresiko bagi seorang ibu hamil menaiki pesawat. Terlebih di usia kandungannya yang masih muda. Benarkan Yeobo?”

Jongwoon mengerjapkan matanya berkali-kali sambil menatap Taeyeon lekat-lekat. Otaknya begitu sibuk memproses setiap kata yang diucapkan wanita itu. Beresiko bagi ibu hamil? Jadi…..

“Kau sedang mengandung? Anak ketigaku? Anak keduamu?” Tanyanya bertubi-tubi sementara istrinya itu hanya mengangguk sembari tersenyum.

“Mengapa kau tidak mengatakan padaku sejak awal? Aku pasti akan lebih memperhatikanmu dan…. Aku tidak perlu repot-repot memutar otak untuk menanggapi ucapan Eomma.”

“Aku berencana mengatakannya padamu jika kau berinisiatif lebih dulu mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan. Jadi ini salahmu yang terlalu lambat dan bertele-tele.”

Pria itu tersenyum bahagia dan menarik wanita itu kedekapannya. Dekapan hangat dan nyaman yang sangat Taeyeon sukai. “Terimakasih Kim Taeyeon. Aku sangat mencintaimu dan aku yakin tak ada pria lain yang dapat melakukannya sebaik diriku.” Ucapnya tulus sambil mengusap lembut punggung dan kepala istrinya itu.

Mwo? Melakukan apa?”

Jongwoon melepaskan dekapannya dan menyejajarkan wajahnya dengan wajah Taeyeon. Pria itu perlahan mendekatkan wajahnya pada Taeyeon dan mendaratkan kecupan ringan di kening wanita itu. “Mencintaimu. Bukankah tidak ada seorang pria pun yang dapat melakukannya sebaik diriku?” Ucapnya dengan bibir yang masih enggan lepas dari kening wanitanya itu.

Jongwoon  menghela napas pelan dan kembali melingkarkan lengannya memeluk wanita itu. Sungguh wanita itu sudah menjadi kebutuhan pokok hidupnya. Seperti halnya dengan kebutuhan pokok lainnya, ia tak akan bisa hidup tanpa Taeyeon di sisinya. Mungkin Taeyeon sudah seperti udara yang selalu ia gunakan untuk bernafas setiap harinya. Atau mungkin karena wanita itu sudah menjadi bagian terpenting hidupnya hingga ia merelakan seluruh jiwa raganya untuk mencintai wanita itu. Entahlah. Terlalu sulit menjelaskan betapa berartinya Kim Taeyeon untuk dirinya. Yang ia tahu karena rasa cintanya pada wanita itu ia begitu membutuhkan wanita itu. Bukan karena ia membutuhkan wanita itu, lantas ia mencintainya. Dan ia yakin ia bisa melakukan apapun asal Kim Taeyeon berada di sisinya.

 

– FIN –

 

 

 

Author’s Note :

HAIIIIII!!!!!!!!! Para reader!!! Masih adakah yang baca ff ini? Adakah yang nungguin ff ini? Saya sadar banget ini sudah hampir dua bulan saya telat ngepost dan sejujurnya semua ini bukan karena saya malas ngetik satau tidak punya inspirasi. *curcol dikit* Jujur aja aku itu biasanya ngetik lewat hp, jadi bisa ngetik dimana saja dan kapan saja. Tapi stelah ngepost part 13 itu hpku eror hingga sampai saat ini statusku masih gak punya hp. Sementara kalo buka laptop gak selalu bisa soalnya harus bener-bener nyempatin cari waktu yang tepat untuk duduk manis di depan laptop.

Akhirnya ff perdana saya selesai dan saya bener2 bersyukur banget bisa nyelesain ff ini. Thanks buat para reader yang udah mau baca khususnya para reader yg selalu ngasi komen, reader yang suka nanyain perkembangan ff ini lewat twitter dan reader yang selalu nunggu ff ini (kalo ada). Jujur aja merasa termotivasi banget bisa mendapat respon yang sangat diluar ekspetasi untuk ff pertama seorang penulis amatir seperti saya. Jika saya bisa mncuri2 waktu senggang di tengah kesibukan saya sebagai murid kelas 3 sma, aku akan nyempatin buat ff lagi dan aku harap bisa mendapat respon yang sangat memuaskan seperti ffini. Akhir kata saya mohon para reader jangan mentang-mentang saya ga protect trus ini part terakhir lantas gak di komen. Komen kalian tetap jadi harapan saya dan buat para siders yang selama ini gak pernah nongol, please nongol sekali aja kasi kritik dan sarannya. Oh ya kalo gak keberatan dan misalnya ada, aku harap reader mau ngasi tahu aku kira2 bagian yang paling kalian suka dari ff ini ^^ Segini aja dlu dan inget komen yaaaa!!!

Leave a comment