[13] Blind in Love

FF-Poster-BlindinLove

 

 

Title : Blind In Love (Chapter 13) || Author : Anissa A.C  || Rate : PG-16 || Length : Chapter || Genre : Romance, Family and Friendship || Cast’s : Kim Taeyeon [GG],  Yesung [SJ], Kim Hyoyeon [GG], Cho Kyuhyun [SJ],  Tiffany Hwang [GG]  || Disclaimer : Terinspirasi dari berbagai lagu, novel, drama dan ff lain.

 

Selama kau di sisiku, aku tak keberatan jika hanya bisa melihat wajah kesalmu, daripada aku harus tersiksa tersiksa lebih lama lagi karena tidak melihat wajahmu. — Kim Jongwoon

 

Bandara Narita memang selalu nampak padat oleh manusia yang datang dari berbagai penjuru negeri. Hiru pikuk dan kesibukan hampir di setiap titik. Pintu keberangkatan dan kedatangan tak henti-hentinya terbuka. Suara decitan koper dan troli barang bisa kita dengarkan disana dan disini. Information monitor yang terpasang di beberapa titik tak henti-hentinya meng-update pesawat yang baru saja lepas landas dan pesawat yang tiba di bandara Narita.

Siang itu di bagian kedatangan internasional baru saja diumumkan pesawat tujuan Tokyo dari Frankfurt, Jerman baru saja mendarat. Seorang pria yang merupakan satu dari penumpang pesawat itu kini menyeruak ke tengah segerombolan orang, berjalan menuju gate terakhirnya. Pria itu nampak begitu berkharisma dengan kaos putih dan celana panjang serta blazer hitam yang melekat di tubuhnya. Sebuah kaca mata hitam bertengger dengan gagah di hidung mancungnya. Menyembunyikan mata sipit dan tatapan tajamnya namun memberikan pesona lebih terhadap penampilannya.

Pria itu terus berjalan, tak peduli dengan wanita-wanita yang menatapnya histeris bak seorang artis papan atas yang menarik perhatian karena airport fashion-nya. Setibanya di luar pintu kedatangan, ia hanya memandang kerumunan orang-orang dengan papan atau kertas bertuliskan nama seseorang ataupun nama perusahaan. Namun sayang, tak satupun ia menemukan orang yang ia kenal ataupun papan dan kertas yang bertuliskan namanya.

Kim Jongwoon menghirup nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Beberapa detik kemudian, ia sudah melanjutkan langkahnya untuk keluar dari bandara itu. Sepanjang jalan, nyaris tak ada objek yang tak terlintas di matanya. Dari manusia yang sibuk berlalu lalang, video-video komersial yang diputar pada beberapa titik sampai rak berisi brosur yang cukup menarik minatnya.

Jongwoon mengamati satu per satu brosur-brosur itu dengan harapan bisa mendapatkan informasi lebih untuknya menetap beberapa hari di negeri sakura itu. Namun ketika matanya berhenti pada salah satu brosur, otaknya seolah berhenti bekerja. Untuk beberapa detik ia seperti kehilangan kesadarannya. Namun semua itu tak berlangsung lama sampai tangannya mengambil satu lembar brosur itu dan sebuah senyuman dengan seringaian tercipta di wajah pria itu.

“Informasi tambahan, tidaklah buruk.” Gumamnya sambil melipat kertas itu dan memasukkannya kedalam saku celananya.

Sambil tetap menarik kopernya, Jongwoon memasuki kamar hotelnya. Menyalakan lampu, melepas blazernya dan meyampirkannya pada punggung sofa hingga menyisakan kaos putih polos di tubuhnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa lalu memejamkan matanya. Efek-efek jet lag masih terasa di tubuhnya dan itu tidaklah menyenangkan.

Beberapa menit berlalu dan mata pria itu kembali terbuka seiring dengan sesuatu yang muncul di permukaan otaknya. Buru-buru ia merogoh sakunya mengambil sebuah lipatan kertas yang ia masukkan beberapa saat yang lalu. Ia membuka lipatan kertas itu dan menatapnya lekat-lekat. Kertas itu adalah sebuah brosur yang mempromosikan pementasan musikal. Pandangannya terpaku pada satu sosok di brosur itu. Seorang wanita dengan rambut kecoklatan sepanjang bahu yang sedang tersenyum ceria. Meskipun dengan gaya rambut yang berbeda, Jongwoon yakin sekali wanita itu adalah wanita yang amat sangat dikenalnya. Wanita yang menjadi alasan keberadaannya di Jepang saat ini.

“Fujisawa Musical Company.”  Gumamnya membaca tulisan pada brosur itu.

Jongwoon menekan serangkaian angka pada ponselnya, merujuk pada nama seseorang.

“Apa lagi maumu Tuan?” Tanya orang di seberang sana tanpa basa-basi dan dengan nada yang ketus. Sepertinya ia menjadi sangat sensitif dengan nomor Jongwoon yang muncul di layar ponselnya.

“Begitukah caramu menerima telpon dari Oppa-mu? Ck, benar-benar adik yang durhaka kau Kim Hyoyeon.”

“Aku tak peduli dengan ucapanmu. Apa kau tak bosan setiap hari merecokiku dengan telpon dan pesan? Dan bukankah aku sudah memberitahukan alamatnya padamu? Apalagi yang kau inginkan?!”

“Kau tak mengatakan dia adalah pemain musikal disini.” Ujarnya sambil membolak-balik brosur itu di tangannya.

“Disini? Kau di Jepang?” Seru orang itu hingga memaksa Jongwoon untuk menjauhkan ponselnya. “Rupanya kau serius dengan ucapanmu itu, Kim Jongwoon-ssi.”

“Sebenarnya aku memang dikirim ke Jepang untuk membawakan seminar selama beberapa hari. Dan kurasa memanfaatkan kesempatan tidaklah buruk.”

Hyoyeon memejamkan matanya lalu menggelengkan kepalanya. Pria itu benar-benar sudah kelewat gila.

“Dia memang bermain musikal disana. Dan aku rasa kau sudah menggali semua informasi mengenai Taeyeon dariku. Apa ada lagi, Kim Jongwoon-ssi?”

“Aku rasa tidak ada.”

Begitu mendapat jawaban dari Jongwoon, tanpa berbasa-basi Hyoyeon dengan cepat memutuskan sambungan ponselnya sebelum Jongwoon berubah pikiran dan justru menyerangnya dengan berbagai pertanyaan. Jongwoon menatap layar ponselnya lalu berdecak kesal. Namun seulas senyuman geli tersungging di bibirnya tatkala otaknya memikirkan tingkah adik angkatnya itu.

<><><>

Begitu musik klasik mengalun di ruang latihan itu, seorang wanita berperawakan pendek dengan blouse putih dan celana hitam ketat yang melekat di tubuhnya menempatkan dirinya di tengah ruangan latihan itu. Sambil mendengarkan intro lagu itu, ia meregangkan otot-otot sendinya sementara beberapa penari memposisikan diri berbaris di belakangnya. Tepat ketika lagu sudah memasuki bagian utama, ia mulai menggerakkan badannya, menari dengan lincah namun tetap nampak gemulai.  Penari-penari di belakangnya berusaha mengimbangi gerakan tarian wanita itu sambil sesekali membentuk formasi yang menambah kesan indah pada tarian itu.

Setelah musik klasik itu berhenti, wanita itu membuka kancing blousenya lalu melemparkannya ke sembarang arah hingga menyisakan tanktop hitam yang melekat di tubuhnya. Dalam sekejap, image wanita manis nan gemulai itu tersingkir tergantikan oleh image berani yang begitu menantang.

Kini lagu Top dari Shinhwa mengalun. Ia kembali menggerakkan tubuhnya dengan lincah, hanya saja kali ini temponya yang begitu cepat. Wanita itu menyelesaikan tariannya dengan sebuah pose akhir dan senyuman sinis tersungging di bibirnya begitu juga para penari yang sedari tadi mengikuti gerakannya.

Taeyeon menegak air mineralnya dengan cepat. Tak peduli dengan butiran-butiran air yang mengalir dari sudut bibirnya hingga turun membasahi lehernya, yang ia pikirkan hanyalah menegak air dari botol itu sampai habis. Sebuah tepukan pelan di pundak Taeyeon nyaris membuat dirinya menyemburkan air dari dalam mulutnya. Buru-buru ia menjauhkan botol air mineralnya dan menelan air di mulutnya.

“Ada Apa?” Tanya Taeyeon sambil membalikkan badannya pada pemilik tangan tersebut.

“Kau nampak seperti akan melahap habis air beserta botolnya hingga tak tersisa, Taeyeon-Chan.” Jawab wanita itu sambil mendudukkan dirinya di sebelah Taeyeon.

Taeyeon mendesis sebal. “Kalau tahu begini, tadi aku semburkan saja air di mulutku ini ke wajahmu, Mihoko-Chan.”

Wanita Jepang itu terbelalak lalu tertawa terpingkal-pingkal. “Sudahlah, aku hanya bercanda. Bagaimana kabarmu? Sepertinya setelah pementasan musikalmu berakhir kau lebih asyik mengajarkan tari disini ketimbang mencari peran baru.”

Taeyeon melipat handuknya lalu mengusap keringat yang masih melekat di wajah dan lehernya. “Kau bisa lihat sendiri, aku sangatlah sehat. Dan untuk pertanyaan keduamu, harus aku akui, aku lelah dengan jam latihan musikal yang sangat padat.  Apa tak pernah terpikirkan di otakmu orang-orang akan bosan melihatmu jika kau terus tampil di pementasan musikal? Oleh karena itu, atas persetujuan Nyonya Fujisawa, aku memutuskan untuk mengajar tari saja disini untuk sementara waktu. Lagipula ini masih dalam satu perusahaan kan? Kurasa tak ada yang salah.”

Wanita bernama Mihoko itu menyipitkan matanya lalu mendekatkan wajahnya pada telinga Taeyeon. “Terus saja kau mengajar tari, dan peran-peran utama akan dengan mudahnya jatuh ke tanganku, Taeng-chan.” Bisiknya dengan nada licik namun menggemaskan yang membuat Taeyeon ingin sekali tertawa mendengarnya.

“Silahkan. Aku tak keberatan Mihoko-Chan.”

Begitu mendengar jawaban Taeyeon, Mihoko langsung memeluk wanita itu erat-erat. “Kau memang yang terbaik, Taeng-Chan.”

“Ya! Lepaskan aku!!!” Keluh Taeyeon sambil berusaha melepaskan pelukannya dari wanita itu.

Mihoko melepaskan pelukannya, namun sedetik kemudian wanita itu nampak memukul keningnya. “Astaga, bagaimana bisa aku melupakan tujuan utamaku mencarimu kesini, Taeyeon-Chan.”

Taeyeon menatap wanita itu dengan bingung. “Ada apa?”

“Pria itu mencarimu lagi.”

<><><>

Taeyeon menyelesaikan makanannya dengan tergesa-gesa. Potongan terakhir Apple Pie ia telan begitu saja hingga ia harus mendesaknya dengan sisa teh hijau yang sudah mendingin dalam cangkir. Sungguh kontras dengan sosok yang duduk di hadapannya. Sosok dengan pakaian bak seorang jutawan muda yang tengah menikmati Sandwich-nya dengan tenang. Melihat wanita itu makan dengan terburu-buru seolah pemandangan yang sudah biasa untuknya. Dan itu tidak membuatnya heran.

“Aku sudah selesai, dan itu artinya aku sudah menemanimu makan siang. Kalau begitu aku akan pulang sekarang.” Ucap wanita itu tergesa-gesa sambil beranjak dari duduknya. Namun sayang, belum sempat ia melangkah, tangan pria itu sudah lebih dulu menahannya.

“Ada apa lagi, Jang Wooyoung-ssi?” Tanyanya sembari memutar matanya kesal.

“Sampai kapan kau akan terus seperti ini? Aku rasa tidak ada salahnya jika kita mengobrol dulu sejenak.” Balas Pria itu sambil tersenyum meskipun Taeyeon hanya membalasnya dengan desisan kesal.

Dengan malas Taeyeon kembali duduk di kursinya dan menatap pria bernama Jang Wooyoung itu dengan tatapan tajam. “Apa yang ingin kau bicarakan? Waktuku tidak banyak.”

Pria itu melahap potongan Sandwich terakhirnya lalu menegak sisa Orange Juice-nya. “Mari kita mulai dengan membicarakan masa depan kita, Taeyeon-ssi.” Ujar pria itu sembari mengusap sisa-sisa makanan yang menempel di sekitar bibirnya.

“Bisa kau ganti kata ‘kita’ pada kalimatmu itu dengan kata ‘aku’ atau ‘kamu’ ? Sungguh tidak nyaman mendengarnya.” Tukas Taeyeon ketus.

“Aku rasa tidak ada yang salah, tapi sesuai permintaanmu aku akan menggantinya dengan masa depanku dan dirimu. Aku rasa kedua orang tuaku benar-benar menyukaimu. Dan aku rasa kita harus menaikkan level hubungan kita.”

Taeyeon mendesis kesal sambil menyipitkan matanya. “Sudah berapa kali aku bilang, Appa mengenalkanmu padaku hanya dengan tujuan agar aku memiliki teman dan  tidak merasa bosan selama tinggal di Jepang. Appa tidak pernah menuntutku untuk memiliki hubungan khusus denganmu meskipun hubungannya dengan kedua orang tuamu sangatlah dekat. Berhentilah berbicara yang tidak-tidak, Jang Wooyoung-ssi!”

Pria itu masih mempertahankan senyumannya. “Tapi bukan berarti tak ada harapan sama sekali untuk hubungan kita kan, Taeyeon-ssi?”

“Tidak! Dan dengan demikian berhentilah membahas hal-hal semacam ini.” Ketusnya sambil kembali mencoba beranjak dari duduknya. Dan untuk kedua kalinya, langkah Taeyeon harus tertahan oleh tangan Wooyoung yang menahan pergelangan tangannya.

“Aku adalah pebisnis muda yang sukses. Hidupmu terjamin bersamaku, Taeyon-ssi. Bahkan aku memiliki banyak koneksi yang bisa membuat karirmu di pentas musikal lebih bersinar dan menjanjikan. Apa lagi yang menjadi alasanmu untuk menolakku?”

“Maaf, tapi karir yang cemerlang dan kekayaanmu itu tidak menjanjikan untuk hatiku. Yang akan menjalani kehidupan kedepannya adalah aku dan hatiku, bukan sekedar karirku ataupun hartamu itu Wooyoung-ssi. Aku masih bisa membuat karirku lebih bersinar dengan usahaku. Dan aku mohon berhentilah membanggakan kekayaanmu itu di hadapanku. Karena aku sungguh muak!”

Wooyoung seketika mematung mendengar ucapan wanita itu. Pegangannya pada Taeyeon merenggang begitu saja, dan hal itu tidak disia-siakan oleh Taeyeon.

“Aku rasa pembicaraan kita sudah selesai. Sayounara, Jang Wooyoung-san” Taeyeon tersenyum sinis dan melepaskan tangan pria itu dari tangannya. Ia pun pergi meninggalkan pria itu masih mematung di tempatnya.

<><><>

“Jadi kau sudah di Jepang sekarang?” Tanya Tiffany sambil berusaha melepaskan jas putihnya dengan ponsel yang  masih menempel di telinganya lalu menggantungnya dengan tangan kirinya.

“Ne, mungkin aku akan disini untuk beberapa hari. Kau sudah pulang?”

“Aku akan pulang sekarang. Cepatlah pulang, dan pulanglah bersama Taeyeon. Aku benar-benar merindukan kalian berdua. Terlebih aku belum menyampaikan rasa terimakasihku pada wanita itu.”

“Tentu saja, begitu aku menemukan wanita itu, aku akan mengajaknya ke Korea sesegera mungkin. Oh ya aku harus masuk ke dalam untuk melanjutkan seminar, aku tutup ne.”

“Ne.”

Sambungan teleponnya dengan Jongwoon pun terputus. Ia menatap layar ponselnya sejenak lalu tersenyum lebar sambil mendekap ponselnya di dada.

“Jogiyo, apa saya menganggu anda Dokter Hwang?” Ucap seorang wanita berseragam perawat  yang melongok dari celah pintu yang terbuka.

“Ah tidak.” Ucapnya setelah buru-buru menyembunyikan senyumannya. “Waeyo, Luna-ya?”

Wanita itu mengangkat tangan kanannya lalu menggunakan ibu jarinya menunjuk ke luar ruangan praktik Tiffany. “Seperti biasa, pria itu sudah menjemput anda dan sedang menunggu di lobby.

“Ah, Jinjja?!” Serunya sambil melirik sekilas arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Buru-buru ia memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu menyambar tas itu dan membuka pintu ruang praktiknya hingga Luna harus minggir dari tempatnya.

“Sejak kapan ia datang?” Tanyanya sambil memeriksa kembali isi tasnya. Memastikan tak ada yang tertinggal.

“Sekitar lima menit yang lalu, ketika aku turun untuk membeli kopi di Coffee Machine yang terletak di lobby. Hm, Boleh aku bertanya sesuatu, Dokter Hwang?”

“Tanyakan saja.” Jawab Tiffany tanpa mengalihkan pandangannya dari isi tasnya.

“Sudah dua tahun semenjak anda sembuh dari penyakit anda pria itu selalu rutin menjemput anda minimal tiga kali seminggu. Apakah dia kekasih anda?”

Tiffany menghentikan pekerjannya sejenak lalu mendongak menatap Luna yang berdiri di sampingnya dengan tatapan yang tak jelas artinya. Jujur saja ia sendiri baru menyadari akan yang diucapkan oleh wanita itu.

“Ah itu… Maaf, saya tak bermaksud mencampuri urusan pribadi anda, Se—”

“Menurutmu, aku dan pria itu, terlihat seperti apa?” Sanggah Tiffany dengan setengah berbisik.

Luna membelalakkan matanya, tak percaya dengan respon yang diberikan atasannya itu. “Itu.. Karena pria itu begitu rajin menjemput anda, eer….  aku sempat berpikir dia adalah kekasih anda.  Lagipula kalian nampak serasi, tak salah kan jika saya berpikir demikian?”

Tiffany menganggukkan kepalanya dan nampak berpikir. “Baiklah, aku terima pendapatmu. Tapi jujur saja, ia hanya temanku.” Ucapnya sambil tersenyum riang.

“Ah, b-begitu..” Ucap Luna bingung sambil mengusap tengkuknya salah tingkah.

“Kalau begitu aku pulang duluan, ne? Bye…”

“Sudah lama menunggu?” Sapa Tiffany seraya masuk ke dalam mobil.

Kyuhyun melirik arloji di tangannya. “Kurang lebih…. Lima belas menit.”

“Ah, mianhae. Untung Luna mengatakan kau sudah tiba, kenapa kau tidak menelepon saja?”

“Ah itu… Aku yang memintanya mengatakan aku sudah tiba, kebetulan aku bertemu dengannya di Lobby. Aku takut mengganggumu seperti beberapa waktu silam.” Jelasnya sambil tersenyum lebar.

Tiffany menatap pria itu heran, “Ah, kita sudah dua tahun berteman, tapi kau masih sangat sopan kepadaku. Jujur saja aku malu pada diriku sendiri karena aku sering berlaku tak sopan di hadapanmu.”

Kyuhyun terkekeh dan menoleh pada wanita di sebelahnya itu. “Kau pasti teliti sekali ya hingga menghitung lama pertemanan kita.”

Tiffany sedikit salah tingkah. Buru-buru ia memikirkan alasan untuk membantah ucapan pria itu sambil mengibaskan kedua tangannya di depan dada. “A-anii…. tadi Luna membicarakan dirimu dan menanyakan apa hubunganmu dengan diriku selama dua t-ta—” Wanita itu kembali salah tingkah dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia sendiri tak mengerti, mengapa ia bisa mengatakan ini pada pria yang duduk di sebelahnya ini.

Kyuhyun menatap wanita itu bingung. “Hubunganku denganmu selama dua tahun ini?” Tanyanya dengan raut wajah yang serius.

Tiffany terdiam menganga, merutuki kebodohannya. Sebelah tangannya kini mengusap tengkuknya, menunjukkan betapa salah tingkah dirinya saat itu. “Ah, itu…. Tenang saja, kau tak perlu khawatir, aku sudah menjelaskan kalau kau dan aku hanya…. Teman.” Jelasnya dengan senyuman kaku yang tersungging di bibirnya.

Kyuhyun mengganggukkan kepalanya dengan raut wajah datar. Ia lantas menstarter mobilnya dan mengemudikannya meninggalkan parkiran Rumah Sakit Seoul.

Sejak percakapan keduanya di tempat parkir beberapa saat yang lalu, Tiffany memilih untuk menyembunyikan rasa malunya dengan membuang mukanya menatap jalanan melalui kaca mobilnya. Tiffany terlalu malas untuk berbicara, takut wajahnya akan memerah seketika meskipun hanya menoleh menanggapi ucapan pria itu.  Sementara Kyuhyun, pria itu sesekali mencuri pandang dari jalanan untuk melihat Tiffany. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi melihat wanita itu salah tingkah membuat Kyuhyun tak kuasa menahan senyumannya hingga ia harus mencari timing yang tepat untuk diam-diam tersenyum.

“Kyuhyun-ssi….” Panggil wanita itu tiba-tiba tanpa menolehkan kepalanya pada Kyuhyun dan pria itu hanya balas berdeham.

“Sepertinya Jongwoon Oppa sudah mendapat informasi mengenai keberadaan Taeyeon. Ia di Jepang sekarang, mencari wanita itu.”

Kyuhyun menganggukan kepalanya paham mendengarkan perkataan Tiffany. Harus ia akui, ada perasaan senang di hatinya mendegar ada kejelasan mengenai keberadaan wanita yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Tapi entahlah, hatinya tak lagi berdebar kencang setiap nama wanita itu terlintas di otaknya. Sepertinya kali ini ia benar-benar menganggap wanita itu sebagai adiknya, tak lebih. Dan jangan tanyakan ia mengapa, ia sendiri masih mencoba menjari jawaban yang jelas mengenai permasalahan hatinya itu.

“Kau hanya mengangguk dan tidak memberikan tanggapan apapun?” Tanya Tiffany dengan penuh selidik.

“Entahlah, aku tak tahu harus berkata apa.”

“Lalu mengapa kau tidak ikut mencarinya? Bukankah kau juga….. Mencintainya?”

Kyuhyun tersenyum kecil. Entah mengapa hatinya menjadi berbunga-bunga ketika Tiffany dengan terpaksa mengatakan kata ‘mencintainya’, terlebih ada rasa tidak suka yang terselip di kata itu ketika Tiffany mengucapkannya.

“Aku rasa kehadiranku disana tak berarti apa-apa jika aku bersama Kim Jongwoon muncul di hadapannya. Ia lebih membutuhkan kehadiran Kim Jongwoon, karena mereka saling mencintai dan membutuhkan. Kau sendiri? Kau sudah tak depresi lagi karena cinta bertepuk sebelah tanganmu itu?”

Kini spontan Tiffany menolehkan kepalanya dan menatap Kyuhyun tajam. “Bukankah jauh dari sebelum insiden depresiku itu aku sudah mengatakan, aku akan belajar merelakan Jongwoon Oppa? Dan sepertinya sudah berhasil meeskipun belum sepenuhnya.”

Kyuhyun melirik Tiffany sekilas lalu tersenyum geli. Sebelah tangannya terangkat dan mengacak lembut rambut wanita itu. “Benar-benar wanita yang menggemaskan.”

“Ya! Rambutku berantakan bodoh!” Pekiknya sambil menjauhkan tangan Kyuhyun dari tangannya dan kembali membuang muka menghadap kaca mobil di sebelahnya. Kyuhyun hanya terkekeh melihat tingkah Tiffany, sementara wanita itu diam-diam tersenyum dengan wajah yang bersemu merah.

<><><>

Jongwoon baru saja menyelesaikan seminarnya. Sebagian besar peserta seminar sudah meninggalkan aula rumah sakit itu, sementara Jongwoon, ia masih terlalu sibuk merapikan berkas-berkasnya.

“Dokter Kim, anda tidak pulang?” Basa-basi salah seorang dokter yang nampaknya sudah bersiap meninggalkan aula itu.

“Ah Dokter Jung, aku akan pulang. Tentunya setelah merapikan berkas-berkasku ini.” Balasnya ramah.

“Baiklah kalau begitu, Dokter Kim, sampai jumpa.”  Pamit Dokter itu sambil membungkukkan badannya dan dibalas serupa dengan Jongwoon.

“Hati-hati.” Seru Jongwoon melambaikan tangannya dan memperhatikan orang itu hingga hilang di balik pintu.

Jongwoon baru hendak menuju pintu utama rumah sakit ketika ia menolehkan kepalanya dan sesuatu menangkap perhatiannya. Dari arah berlawanan, ia bisa melihat seorang wanita memasuki lobby rumah sakit dengan tergesa-gesa. Dan jantung Jongwoon seolah-olah berhenti berdetak sesaat ketika ia mengenali wanita itu. Sungguh kejadian yang tak terduga!

Taeyeon. Tidak salah lagi, wanita itu Kim Taeyeon.

Mata Jongwoon tidak terlepas dari sosok Taeyeon yang kini nampak sedang menghubungi seseorang dengan ponselnya. Wanita itu tidak banyak berubah. Hanya rambutnya yang kini ia potong hingga sebahu namun tetap cantik dan manis di mata Jongwoon. Jongwoon begitu terpaku sampai butuh beberapa detik baginya untuk menyadari wanita itu sudah berjarak cukup jauh darinya saat ini.

Jongwoon mengikuti Taeyeon dari jauh hingga matanya mendapati wanita itu memasuki ruangan yang ia yakini sebagai tempat penitipan anak. Beruntung tempat penitipan anak itu berdinding kaca, sehingga ia bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu dari balik pilar di koridor itu. Jongwoon menyipitkan matanya, mencoba memperjelas tatapannya. Kini Taeyeon tengah berbicara dengan seorang wanita berseragam rumah sakit dan beberapa saat kemudian, Taeyeon keluar dari ruangan itu dengan seorang balita di gendongannya.

‘Siapa balita itu? Keponakannya? Atau mungkin….. Ah tidak. Aku rasa tidak mungkin.’ Batin Jongwoon sambil menggelengkan kepalanya, berusaha menjauhkan berbagai spekulasi yang menurutnya tidak masuk akal.

Taksi yang ditumpangi Jongwoon berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dua yang tergolong besar di pinggiran kota Tokyo.

“Di sinikah tempatnya?” Tanya Jongwoon kepada sopir taksi dengan bahasa jepangnya yang payah dan patah-patah. Beruntung sopir taksi itu mengerti dan ia mengangguk sebagai jawaban.

“Tunggu sebentar,” kata Jongwoon pada sang sopir sambil memberi bahasa isyarat untuk memperjelas maksudnya. Sopir taksi itu mengangguk dan memberi tanda oke dengan tangannya.

Jongwoon keluar dari taksi setelah menggunakan topi dan kaca mata hitamnya. Ia memandang sekelilingnya. Ia menunduk ke arah kertas lusuh di tangannya. Lusuh karena sudah sering dibua untuk dibaca lalu di lipat kembali. Beberapa saat yang lalu, ia kehilangan jejak wanita itu. Tapi instingnya seolah berkata bahwa wanita itu akan pergi ke alamat yang sama dengan alamat yang diberikan Hyoyeon.

Cukup lama Jongwoon berdiri di depan rumah itu, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di hadapannya. Cepat-cepat ia bersikap seolah dirinya adalah wisatawan yang sedang berwisata sambil berjalan kaki di daerah itu.

Seorang pria beperawakan cukup tinggi keluar dari salah satu pintu lalu dengan tergesa-gesa pria itu berjalan ke arah pintu yang satunya dan membuka pintu itu. Saat itu juga, Kim Jongwoon mencuri pandang dan melihat Taeyeon turun dari mobil itu dengan balita yang sedari tadi digendongnya. Kening Jongwoon berkerut. Rasa penasarannya kian menjadi-jadi saat itu.

Belum sempat ia memikirkan rasa penasarannya itu, kini samar-samar ia mendengar bocah di gendongan Taeyeon beroceh layaknya balita pada umumnya.

“Eomma…” Balita itu mengoceh dengan lucu dan menggemaskannya. Taeyeon yang sedari tadi menggendongnya kini mengusap lembut kepala balita itu dan tersenyum lucu seolah mengajak balita itu becanda.

Tunggu? Eomma? Apa ia salah dengar? Balita itu memanggil Taeyeon dengan sebutan Eomma, dan itu sama sekali tidak terdengar lucu di telinga Jongwoon.

Taeyeon tersenyum dengan manisnya kepada pria yang tadi membukakan pintu untuknya. Senyuman yang sangat Jongwoon rindukan. Dan sungguh, ia tidak rela melihat wanita itu tersenyum kepada pria lain seperti saat ini.

Kini balita itu pindah ke gendongan pria itu. “Sini, biar appa yang menggendongmu.” Ucap pria itu yang sukses membuat Jongwoon meraskan sesuatu menghujam jantungnya begitu mendengarkan ucapan pria itu meskipun dengan samar-samar.

Apa-apaan ini. Telinganya masih sehat dan sama sekali tidak bermasalah. Tapi mengapa ia justru berharap, telinganya sedang tersumbat sesuatu hingga apa yang ia dengarkan itu justru tidak benar? Konyol.

Taeyeon sama sekali tidak menyadari keberadaan Jongwoon tak jauh dari mobil yang baru saja dituruninya. Kini ia dan laki-laki itu berjalan menuju pintu gerbang rumah itu. Lalu, Jongwoon melihat laki-laki itu mengangkat tangannya lalu meletakannya di pundak wanita itu, merangkulnya. Taeyeon sama sekali tidak terusik dan nampak sangat gembira, seolah-olah mereka sudah terbiasa melakukannya.

Kini Jongwoon merasa sulit bernafas. Ia hampir yakin ada yang salah dengan dirinya. Debar jantungnya tidak beraturan, dadanya mendadak terasa sangat, sangat sakit.

Oh, sialan….

Dalam kondisi setengah sadar, Jongwoon masuk kembali ke taksi dan duduk bersandar dengan mata terpejam. Seharusnya ia merasa senang. Wanita itu nampak sehat, gembira dan… Bahagia. Tapi mengapa rasa sakitnya justru semakin menjadi-jadi hingga ia meringis kesakitan?

Ia memang ingin melihat Taeyeon  bahagia, tetapi ia inginin Taeyeon bahagia bersamanya. Hanya bersamanya. Bukan pria lain.

<><><>

“Jiyoung-ah…..”

Taeyeon tak bosan-bosannya memanggil nama bocah itu lalu memasang ekspresi aneh dan konyol sambil menggelitik tangannya hingga bocah itu tertawa dengan lucu dan menggemaskannya. Tak hanya itu, sesekali ia akan mengangkat bocah itu di udara dan kembali membuat ekspresi aneh hingga bocah itu kembali tertawa sembari mengoceh tak jelas.

“Jangan menjadikan anak orang sebagai bonekamu. Carilah pasangan dan buatlah sendiri.” Tukas Youngwoon yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.

Taeyeon terkejut. “Aigoo! Oppa kau mengagetkanku saja.” Ujarnya sambil memegang dadanya.

“Dari Jiyoung lahir sampai detik ini sepertinya kau adalah perempuan kedua yang paling dekat dengan dirinya setelah Yoonji….”

Wanita itu tersenyum, “Aku menyukai anak kecil Oppa, terlebih Jiyoung adalah keponakanku, jadi kurasa wajar saja.”

“Saking dekatnya kau dengan Jiyoung, ia juga memanggilmu dengan eomma. Apa kau tidak takut tak akan ada pria yang mendekatimu karena mengiramu ibu beranak satu?”

Taeyeon menyipitkan matanya sambil mendesis kesal. “Oppa berlebihan sekali, a—” belum selesai Taeyeon berbicara ia merasakan sebuah benda di dalam saku celananya bergetar dan berdering nyaring. Dengan segera ia merogoh sakunya dan meraih benda itu.

Nyonya Oh.

Taeyeon mengerutkan keningnya. Semenjak kepindahannya ke Jepang,ia sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan wanita itu. Dan melihat nama wanita itu tertera di layar ponselnya, tentu membuat Taeyeon heran.  “Chankaman ne….” Ucapnya pada Youngwoon seraya menyodorkan Jiyoung dan berlalu keluar ruangan itu.

<><><>

Kyuhyun baru saja memasuki memasuki rumahnya sambil meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku akibat pekerjaan yang memaksanya untuk melemburkan diri. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah berdiri di bawah shower air hangat dan membiarkan pundak serta lehernya dihujam semprotan air hangat  guna mengurangi rasa pegal yang menggerogotinya lalu menenggelamkan dirinya di atas tempat tidur kesayangannya. Namun baru sebelah kaki Kyuhyun menapak anak tangga pertama, telinganya seolah menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia dapat mendengar samar-samar suara appa dan eommanya yang sepertinya sedang asyik bercakap-cakap dengan tamu yang ia yakini berjumlah lebih dari satu orang.

“Ahjumma,” panggilnya pada salah seorang pelayan yang kebetulan baru saja keluar dari ruang tamu dengan nampan yang kosong. “Siapa yang datang?”

“Tuan dan Nyonya Hwang, Tuan. Tuan Cho mengundang mereka untuk makan malam bersama. Dan sekarang mereka sedang mengobrol di dalam” Jelas pelayan itu sambil menunjuk ke arah ruang tamu.

“Tuan dan Nyonya Hwang? Maksud ahjumma, Appa dan Eomma Tiffany?”

“Ne Tuan.” Ucap pelayan itu dan membuat Kyuhyun menganggukan kepalanya dengan berbagai pertanyaan di benaknya.

“Kalau begitu saya pergi dulu, Tuan.” Ucap Pelayan itu lagi seraya membungkukkan kepalanya dan pergi dari hadapan Kyuhyun. Ia masih terdiam di tempatnya. Kini otaknya sibuk mempertimbangkan apakah dirinya harus masuk ke dalam ruang tamu dan menyapa Appa dan Eomma Tiffany atau justru sebaliknya, melanjutkan langkahnya yang terhenti dan mewujudkan bayangan-bayangan yang sedari tadi berkeliaran di otaknya.

Cukup lama ia berpikir, kini ia memutuskan untuk tetap menjaga citra baiknya dengan melangkah ke ruang tamu lalu menyapa kedua orang tua Tiffany. Namun baru sampai di ambang ruang tamu, langkahnya seolah tertahan. Telinganya tanpa sengaja menangkap percakapan orang tuanya dengan orang tua Tiffany yang membuatnya mengurungkan niatnya dan justru terdiam di balik dinding.

“Sepertinya masa pendekatan untuk putra dan putri kita sudah cukup. Aku tidak pernah mendengar keluhan dari Kyuhyun. Dan aku rasa, sudah saatnya kita meresmikan hubungan mereka.” Ucap Eomma Kyuhyun.

“Ne, anda benar sekali. Tiffany juga tak pernah protes lagi akan perjodohan ini. Tapi sayang ketika kita membiarkan mereka untuk mengambil langkah sendiri, mereka justru tidak bergerak. Sepertinya kita memang harus ambil andil disini.” Ujar Nyonya Hwang menimpali dan dibalas anggukan serta gumaman setuju dari tiga orang lainnya.

“Kalau begitu kita atur saja waktu untuk kita bersama mereka untuk membicarakan pernikahan.” Usul Tuan Hwang.

“Aku rasa jangan mendadak seperti itu. Lebih baik kita mengadakan pertunangan saja terlebih dahulu. Aku yakin sekali mereka akan mengajak kita berdebat jika kita langsung menyuruh mereka untuk menikah.” Ujar Tuan Cho sambil terkekeh geli.

Nyonya Cho tersenyum menyetujui ucapan suaminta. “Kau benar Yeobo. Kita resmikan saja hubungan mereka terlebih dahulu melalui sebuah pertunangan. Setelah itu kita biarkan mereka untuk membiasakan diri satu sama lain dan membiarkan mereka tetap melakukan pendekatan sampai kita menentukan hari pernikahan mereka. Bukankah itu lebih baik?” Ucap Nyonya Cho seolah meminta persetujuan. Dan detik itu juga Tuan Cho, Tuan Hwang dan Nyonya Hwang menganggukkan kepala dan bergumam menyetujuinya.

Kyuhyun menghempaskan tubuhnya di atas ranjang lalu memejamkan matanya, membiarkan ucapan demi ucapan yang tak sengaja ia dengar beberapa saat yang lalu kembali berputar di otaknya. Harus ia akui, ia merasa nyaman dengan kehadiran Tiffany selama dua tahun ini. Terlebih, sepertinya ia sudah mulai bisa merelakan Taeyeon dari hatinya. Tapi tetap saja, menikah dibawah nama perjodohan adalah hal yang sama sekali tidak ia impikan. Dan yang terpenting, apa Tiffany bisa menerima ini semua sementara Kyuhyun sendiri tidak tahu apa nama seorang Kim Jongwoon bisa terhapuskan dari hati wanita itu?

Hubunganku denganmu selama dua tahun ini?

Tapi sayang ketika kita membiarkan mereka untuk mengambil langkah sendiri, mereka justru tidak bergerak.

Saat itu juga percakapannya dengan Tiffany beberapa waktu silam kembali muncul di pikirannya dan seolah beradu dengan percakapan orang tuanya dengan orang tua Tiffany beberapa saat yang lalu. Dan ia sadar, keadaannya saat ini benar-benar menuntut dirinya untuk bersikap jantan sebagaimana mestinya seorang pria.

‘Apa aku harus memulainya dan menyiapkan diriku dengan segala konsekuensinya?’

<><><>

Entah apa yang menyebabkan, hari itu suasana mobil Kyuhyun sangat berbeda dari biasanya. Tidak ada percakapan atau suara tawa lepas dari keduanya. Kyuhyun terlalu asyik, atau tepatnya sibuk dengan pemikirannya. Sementara Tiffany, wanita itu merasa tak dihiraukan. Ia  mencoba menyibukkan dirinya dengan mengutak-atik iPadnya, namun sayang sepertinya matanya terlalu gatal untuk sekedar melirik pria di sampingnya. Sedari tadi Kyuhyun hanya memasang wajah datar dan beberapa kali menghela nafas gusar. Melihat tingkah pria itu, begitu banyak pertanyaan yang berputar di otaknya, namun sebisa mungkin wanita itu mengurungkan niatnya untuk sekedar bertanya ‘Gwenchana?’ Atau ‘apa ada masalah’. Ia tak mau dianggap sebagai seseorang yang suka ikut campur urusan orang.

Cukup lama mobil itu melaju, tiba-tiba Tiffany merasakan sesuatu yang mengganjalnya. Wanita itu baru sadar mobil Kyuhyun tidak menuju ke rumahnya, melainkan menuju arah yang berlawanan. Kini wajah wanita itu benar-benar mencerminkan kebingungan yang teramat sangat. Dengan ragu ia menolehkan kepalanya, menatap Kyuhyun, berharap sekiranya pria itu akan menjawab kebingungannya.  Namun sayang pria itu masih sama, tetap terdiam dengan wajah datarnya yang memaksa Tiffany untuk diam berpasrah.

Waktu pun berlalu, dan kini langit bagian barat sudah terlukiskan oleh semburat jingga yang menandakan sang fajar akan kembali ke peraduan. Mobil itu berhenti di depan sebuah taman bermain yang sudah nampak sepi, mengingat waktu bermain para bocah telah usai. Kyuhyun turun dari mobilnya lalu kembali menghela nafas panjang sambil menutup pintu mobilnya sebelum akhirnya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan melangkah dengan gontai memasuki taman bermain itu. Selang beberapa detik, Tiffany ikut turun dari mobil dan hanya bisa menatap pasrah sekaligus bingung punggung yang kini terpaut beberapa meter darinya. Wanita itu ikut berjalan mengikuti sosok di depannya sambil  memeluk dirinya sendiri, mencoba memberikan kehangatan pada tubuhnya yang di terpa dinginnya angin senja.

Langkah Kyuhyun terhenti di depan sebuah ayunan kayu yang berdiri dengan cukup kokoh di tengah taman bermain itu. Kini ia mendudukkan dirinya di salah satu ayunan itu dan kembali melemparkan tatapan kosongnya.

“Ada apa denganmu? Tak biasanya kau seperti ini Kyuhyun-ssi?” Setelah cukup lama Tiffany bersabar menahan kegatalan mulutnya untuk berbasa-basi pada Kyuhyuh, kini hanya itu yang bisa ia ucapkan sambil ikut mendudukkan dirinya pada ayunan kosong yang terletak di samping ayunan yang tengah diduduki Kyuhyun.

“Apa kau memiliki masalah? Atau mungkin sesuatu yang mengganjalmu? Kau bisa membaginya denganku. Siapa tahu itu bisa mengurangi bebanmu.” Tambah Tiffany yang sukses membuat Kyuhyun mendelikkan matanya.

‘Jika saja bisa. Tapi bagaimana jika justru pikiran mengenai dirimu yang sedari tadi mengusikku, nona Stephanie.’ Batin Kyuhyun

“Apa selain Kim Jongwoon, kau pernah jatuh cinta pada pria lain?”

Tiffany menatap Kyuhyun heran dengan alisnya yang berkerut. “Apa kau sedang mengalihkan pembicaraan? Atau— Eiy, kau sedang patah hati ya? Kau ingin membagi kisahmu denganku?” Tanya gadis itu menggoda Kyuhyun.

“Jawab saja pertanyaanku.” Ucap Kyuhyun dengan suaranya yang terkesan dingin dan menuntut.

Tiffany terdiam sejenak memikirkan sikap aneh pria itu. “Jika aku bilang, sampai detik ini hanya Jongwoon Oppa lah yang mengisi hati dan pikiranku, apa kau akan percaya?”

“Selama itu? Dan kau masih bertahan?”

Tiffany menguatkan pegangannya pada tali ayunan lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka mulutnya. “Kau mungkin hanya menghitung dari saat dimana kau menemukanku menangis di hari pernikahan Jongwoon Oppa. Tapi aku sudah menyukai bahkan jatuh cinta padanya bahkan sebelum Sooyoung Eonni masuk ke dalam hidupnya.”

“Sudah ada dua wanita yang menyalipmu. Dan kau masih bertahan?”

“Sempat aku ingin belajar merelakanya lagi dan mungkin mencoba benar-benar melepaskannya. Tapi sepertinya itu hanya wujud kemunafikanku saja. Hatiku sakit saat ia datang padaku, memberi sejuta harapan serta perhatiannya padaku yang nyatanya terpaksa ia berikan karena ia merasa iba padaku dan menjadikannya alasan untuk menjauhi Taeyeon.” Jelasnya dengan senyuman kaku tersungging di bibirnya.

“Jadi sekarang….. Bagaimana?” Tanya Kyuhyun sambil menatap wanita itu lekat-lekat.

“Aku tahu, Jongwoon Oppa sangat mencintai Taeyeon, bahkan mungkin melebihi cintanya pada Sooyoung Eonni. Aku juga selalu sadar, kita tak bisa memaksakan perasaan seseorang karena itu sama saja dengan menyakitinya secara perlahan. Jadi…. Biarkanlah semuanya berjalan sebagaimana mestinya.” Jelas Tiffany dengan diakhiri senyuman tulus di akhir kalimatnya. Beberapa detik kemudian, senyuman tulus di wajah wanita itu tergantikan dengan senyuman jahil yang membuat Kyuhyun kembali menatapnya heran.

“Mengapa kau tersenyum seperti itu?”

“Aku sudah menceritakan kisahku, ceritakan juga kisahmu.” Pinta wanita itu sambil memamerkan matanya yang membentuk kurva melengkung.

“Kisahku? Kisahku sama sekali tak menarik.”

Geotjimal! Cepat ceritakan!”

Diam-diam Kyuhyun tersenyum melihat ekspresi dan tingkah wanita itu, namun sesegera mungkin ia menutupinya demi gengsi besar yang selama ini selalu melekat pada dirinya. “Aku bukanlah orang yang memiliki tingkat kesetiaan kelewat batas seperti halnya dirimu. Selama hidupku, aku sudah dua kali merasakan yang namanya jatuh cinta. Entah itu takdir atau bagaimana, aku sendiri tak mengerti mengapa aku harus jatuh cinta pada wanita yang pada akhirnya berujung pada Kim Jongwoon. Dan jujur saja, aku bukan seorang pria yang munafik. Diluar kedua wanita itu, aku sempat beberapa kali mencoba mengencani wanita-wanita kenalan temanku atau orangtuaku, tapi sepertinya tak ada satupun yang berhasil.”

Tiffany menyipitkan matanya lalu menatap Kyuhyun tajam. “Jadi, secara tidak langsung aku masuk dalam hitungan ‘wanita-wanita’ yang kau kencani itu?”

Ucapan Tiffany sukses membuat Kyuhyun terngaga dengan sebelah alis yang terangkat. Namun sedetik kemudian, tawa laki-laki itu pecah seketika. Tiffany yang sebenarnya tak menyadari sebab pria itu tertawa hanya bisa ikut tertawa kecil, setidaknya untuk beberapa saat ia tak melihat wajah gusar dan datar pria itu.

Waktu pun berlalu, dan kini keduanya kembali terjebak dalam pemikiran masing-masing. Mata keduanya terlempar kosong pada hamparan tanah pasir yang tertiup angin. Kedua tangan Kyuhyun saling meremas satu sama lain sementara otaknya sibuk memikirkan bagaimana cara ia menyampaikan maksudnya pada wanita di sampingnya itu.

“Fany-ah.” Panggil pria itu lembut. Detik itu juga Tiffany merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Ini memang pertama kalinya pria itu memanggilnya dengan begitu akrab, dan ini juga pertama kalinya pria itu memanggilnya dengan begitu lembut. Banyak orang yang memanggilnya demikian, namun mengapa nama itu terdengar sangat indah ketika Kyuhyun yang mengucapkannya? “Wae, Kyuhyun-ssi?”

“Aku ingin berbicara denganmu, dan ini menyangkut masa depan kita….” Ucap pria itu lirih.

“Kita?”

“Ya, kita. Beberapa hari yang lalu orang tua kita melaksanakan makan malam bersama. Dan saat itu, aku tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.”

“Lalu?”

“Kau tentu tahu kan alasan kencan buta kita sejak awal?”

Wanita itu mengangguk. Tentu saja ia tak lupa. Jika bukan karena terpaksa menerima perjodohan bodoh itu, ia tak mungkin bisa duduk disini, berbicara dengan akrabnya bersama pria itu. Tapi jika ia boleh jujur, selama dua tahun terakhir, seiring dengan hubungannya dengan Kyuhyun yang berangsur-angsur membaik, entah mengapa kata ‘perjodohan’ seolah tak pernah lagi muncul di permukaan otaknya.

“Mereka bilang, jika kita tidak mengambil start pada hubungan ini, cepat atau lambat mereka yang akan bertindak. Dan kau tahu? Aku sama sekali tidak menginginkan hal-hal seperti itu.”

Tiffany tersenyum pahit. “Bukankah sejak awal aku sudah mengatakan, aku memang menyerahkan semuanya kepada mereka? Dan bukankah sejak awal mereka sudah mengatakan, jika kita tidak bisa membiarkan hubungan ini berlanjut, kita bisa menghentikannya? Lantas apa yang kau tunggu lagi? Kau bisa mengatakan langsung kepada mereka jika kau tidak bisa menerima perjodohan ini, Kyuhyun-ssi.”

Kyuhyun mengernyit. Sejenak ia kembali menghela nafas panjang sambil beranjak dari duduknya. Tiffany yang melihat pria itu berdiri lantas ikut berdiri.

“Apa kita pulang seka—“

Tanpa disangka, Kyuhyun justru membalikkan badanya dan mendorong tubuh Tiffany hingga kembali terduduk di atas ayunan. Tidak hanya itu, bahkan Kyuhyun berjongkok di hadapan wanita itu sehingga matanya yang sedang menatap tajam bertemu dengan mata indah Tiffany.

“Kau tidak mengerti maksudku, Fany-ah.”

“M-maksudmu?”

“Aku tidak mengatakan bahwa aku menolak hubungan ini. Yang aku tekankan disini, aku tidak bisa menjalin hubungan denganmu atas dasar perjodohan, Tiffany.”

“J—jadi?”

Kyuhyun meraih kedua tangan Tiffany dan menggenggamnya erat. “Aku ingin memulainya dengan dilatar belakangi keinginan kita sendiri, Fany-ah. Aku tahu baik kau dan aku  selama ini bertahan demi tidak mengecewakan orang tua kita. Tapi jika kita harus menjalani suatu hubungan atas dasar perjodohan aku yakin kita hanya menyiksa perasaan kita. Dan untuk itu, jika kau tak keberatan aku ingin kita memulainya dari awal. Tapi jika memang terlalu berat untukmu menerima semua ini, aku tak keberatan jika kita harus mengakhiri semuanya dan menjelaskannya pada orangtua kita.”

Ucapan Kyuhyun membuat wanita itu mematung seketika. Sungguh ia tak menyangkan seorang Cho Kyuhyun bisa berbicara seperti ini padanya. “T-Tapi Kyuhyun-ssi… P-perasa—“

“Aku tahu, baik kau dan aku  sama-sama belum bisa menghapuskan perasaan kita pada orang yang kita cintai. Aku juga sadar jika kau memang memegang erat prinsip tak boleh memaksakan perasaan seseorang kepada kita. Oleh karena itu, aku tak akan memaksamu untuk menerimaku dan memiliki perasaan padaku. Tapi bukan berarti kita tak bisa belajar untuk menerima satu sama lain, bukan?”

Tiffany hanya bisa bergeming. Otaknya terlalu sibuk berpikir hingga ia sendiri tak tahu harus berkata apa. Matanya terpaku pada pria di hadapannya itu. Belum cukup Kyuhyun membuatnya bingung, kini pria itu nampak sedang merogoh sesuatu dari sakunya dan meletakkannya di atas telapak tangan Tiffany. Kembali wanita itu hanya bisa ternganga dan mengerjapkan matanya berkali-kali, memastikan ini bukanlah mimpi konyol yang bahkan tak pernah ia alami atau harapkan dalam tidurnya. Cho Kyuhyun, pria itu meletakkan sebuah kotak berlapiskan kulit yang diwarnai merah dan wanita mana yang tidak tahu isi kotak itu.

“Aku tak akan memaksamu untuk memberiku jawaban saat ini juga. Tapi sampai hari dimana kau membuat keputusan, bawalah kotak ini bersamamu, dan kau bisa mengembalikannya padaku jika kau menolakku.” Ucapnya lalu berdiri. “Sebentar lagi hari akan gelap, ayo kita pulang.” Tambahnya seraya berbalik dan mulai melangkah meninggalkan wanita itu.

Tiffany masih terdiam disana, dengan pandangannya terpaku pada kotak kecil di telapak tangannya. Perlahan ia membuka kotak itu dan menemukan sepasang cincin dengan design yang sederhana namun terkesan begitu elegan. Dan saat itu juga, ia membuat keputusan. Keputusan yang mungkin tak akan pernah ia sesali ke depannya.

“Ya! Cho Kyuhyun!” Teriaknya lantang dan sukses membuat pria itu berbalik dan menatapnya bingung. Kini wanita itu berlari kecil hingga ia sudah berhadapan dengan pria itu.  Sebelah tangan wanita itu terulur meraih sebelah tangan Kyuhyun lalu meletakkan kotak itu di atas telapak tangannya. Kyuhyun  hanya bisa menatap kotak di tangannya dan wajah datar wanita itu bergantian.

“Secepat ini kau membuat keputusan, dan kau menolakku?” Tanyanya dengan suara yang bergetar dan sarat akan kekecewaan.

Tiffany masih memasang wajah datar dan memberikan tatapan tajamnya pada pria itu. “Apa kau pantas di sebut sebagai seorang pria?”

“Apa maksudmu?”

Tiffany mendesis kesal. “Pria mana di dunia ini yang melamar seorang wanita dengan menyuruhnya mengenakan cincinnya sendiri?” Tanya Wanita itu dengan penekanan pada setiap katanya.

Kyuhyun tak berkomentar, namun masih menatap wanita itu bingung.

Tiffany menjulurkan tangannya ke depan wajah Kyuhyun. “Aku berikan kau kesempatan lima detik untuk memasangkannya di jariku. Satu… Dua… Tiga… Empat… Li—

Bukannya memasangkan cincin itu di jari Tiffany, pria itu justru menarik wanita itu ke dalam pelukakannya. Kini wanita itu kembali dibuatnya mematung tak percaya, dan kesempatan itu digunakan oleh Kyuhyun untuk membuka kotak itu, mengambil salah satu cincin dan memasukkannya ke jari manis Tiffany, tanpa melepaskan pelukannya kepada wanita itu.

“Sekali kau membuat keputusan untuk menerimaku, aku tak akan melepasmu Tiffany.” Ucapnya sambil mengeratkan pelukannya pada Tiffany dan tersenyum bahagia. Diam-diam wanita itu tersenyum tak kalah bahagia  dan ikut melingkarkan lengannya di tubuh Kyuhyun.

<><><>

Sudah seminggu sejak hari itu dan kini Kim Jongwoon telah kembali ke rumah orang tuanya di Korea. Memang, sejak ia memutuskan untuk bolak-balik Seoul-Frankfurt ia mengajak Taewoon untuk pindah ke rumah orang tuanya. Sempat ia berpikir untuk memboyong putranya itu untuk ikut pindah ke Frankfurt. Namun sayang ia takut putranya akan kembali bernasib sama dengan saat ia tinggal di New York, yaitu kesepian. Dan oleh karena itu, menitipkan putranya kepada kedua orang tuanya dan adiknya serta menyempatkan diri untuk pulang ke Seoul di waktu senggangnya dirasa sebagai pilihan yang tepat untuk seorang single parent seperti dirinya.

Malam itu di kediaman keluarga Kim, seperti biasa mereka menikmati makan malam bersama dengan obrolan-obrolan kecil yang menyertai. Kedua bocah, Lee Hyoeun dan Kim Taewoon asyik berceloteh tentang sekolah dan teman-teman mereka. Sementara  hampir semua orang dewasa di meja itu asyik terlibat dalam obrolan yang mencakup berbagai topik, meskipun sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Kim Jongwoon. Ia lebih asyik menikmati makanannya dalam diam. Memang, sejak kepulangannya dari Jepang, pria itu hanya bersikap ramah jika ia rasa sikap ramahnya itu diperlukan, misalnya ketika berhadapan dengan pasien. Diluar itu, ia cenderung menjadi lebih tertutup, pendiam dan dingin.  Dan seolah mengerti betul tabiatnya, anggota keluarganya memilih untuk tidak bertanya macam-macam daripada harus menjadi sasaran empuk mulut tajam pria itu.

Di tengah asyik menyantap makanannya, Hyoyeon merasakan ponselnya bergetar. Buru-buru ia meletakkan sumpitnya lalu membaca nama penelepon yang tertera di layar ponselnya.

Kim Taengoo

Membaca nama wanita itu, Hyoyeon memilih untuk meminta izin meninggalkan ruang makan itu sejenak dan mengangkat telepon dari sosok itu.

“Yeoboseyo, Taeyeon-ah?”

“Eonni, sepertinya aku membutuhkan bantuanmu.” Ucap wanita itu tanpa basa-basi.

“Bantuan? Bantuan apa?”

“Sepertinya aku akan kembali ke Seoul.”

“Kembali? Kau serius?” Pekiknya cukup keras, namun dengan segera ia menutup mulutnya dengan tangannya lalu kembali mengecilkan volume suaranya.

“Ne aku akan pulang. Nyonya Oh mendadak menelepon memintaku untuk datang ke Seoul minggu depan karena dia membutuhkanku untuk mengajar kelompok musikal anak-anak milik Sunghwa Musical Company. Dan untuk itu, aku tidak sempat datang ke Seoul untuk mencari flat atau apartment yang cukup ekonomis untuk tempatku tinggal nanti. Bisakah kau membantuku mencarikan aku tempat tinggal, eonni?”

Mendengar permintaan wanita itu, otak Hyoyeon seketika berpikir dengan cepat. “Taeyeonie, kau bisa mempercayaiku. Serahkan saja padaku.”

“Jinja?! Aaa gomawo Eonnie.” Ucap wanita itu girang. “Akan kupastikan aku akan membalas budimu itu nanti. Ah ya, dan satu lagi, bisakah aku meminta sesuatu padamu?” Tanya wanita itu dengan suaranya yang seketika berubah serius.

“Hm, apa itu?”

“Bisakah kau tidak memberi tahu kepulanganku ini pada siapapun terlebih Kim Jongwoon? Aku belum siap bertemu dengannya meskipun sudah dua tahun berlalu, Eonni.”

“Tunggu? Kau sama sekali belum bertemu dengannya?” Tanya Hyoyeon heran.

“Bertemu? Mengapa aku bisa bertemu dengannya jika aku di Tokyo sementara dia di Seoul? Atau— kau tidak memberitahu tempat tinggalku ini padanya kan?”

“A-anii!!” Bantah Hyoyeon dengan sebisa mungkin menutupi kegugupannya.

“Baiklah. Aku percaya padamu, Eonni. Nanti kuhubungi lagi. Annyeong”

“Ne, hubungi aku dan aku akan menjemputmu nanti di bandara. Annyeong.”

Begitu sambungan telepon terputus, Hyoyeon langsung menepuk-nepuk dadanya. “Hampir saja.” Ucapnya sembari menghela nafas lega.

“Tunggu… Apa mungkin sikap Jongwoon Oppa berubah seperti itu karena ia tidak bisa menemukan Taeyeon?” Ucapnya sambil memikirkan sikap Oppanya itu. Sedetik kemudian, senyuman penuh arti tersungging di bibir wanita itu.

‘Sepertinya kesempatan ini akan aku manfaatkan sebaik mungkin.’

<><><>

Tok Tok Tok

Suara ketukan di pintu kamarnya sukses mengusik Jongwoon yang sedari tadi asyik menghabiskan waktu membaca buku-buku kedokteran di kamarnya. Tanpa menunggu jawaban darinya, pintu kamarnya sudah terbuka dan dengan tanpa rasa bersalah Hyoyeon sudah melangkah masuk ke dalam kamarnya.

“Apa maumu?” Tanya Jongwoon dengan sedikit ketus.

“Aku  ingin bertanya, apa saat ini ada temanmu yang sedang menyewa apartmentmu Oppa?”

“Tidak.” Jawabnya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari buku yang dibacanya. “Ada apa memangnya?”

“Bolehkah temanku menyewa apartmentmu itu untuk beberapa minggu?”

“Tentu saja. Asalkan nanti kau membagi hasilnya denganku.”

Kini Hyoyeon kembali tersenyum penuh arti. “Tentu saja. Aku pastikan kau tidak akan menyesal berbisnis denganku Oppa.”

<><><>

Hyoyeon mengetuk-ngetukkan ujung sepatunyanya dengan pandangan menuju ke arah pintu kedatangan Internasional bandara Gimpo. Sesekali dia juga melihat jam ditangan kirinya. Pesawat sudah mendarat 10 menit yang lalu sementara sosok yang ditunggunya itu belum juga keluar dari pintu kedatangan. Wajar sebenarnya mengingat seseorang di tunggunya itu sudah pasti mengurus barang bawaannya dulu dan lain sebagainya.

Lama ia celingukan mencari sosok tersebut, tanpa disengaja pandangannya terkunci pada seorang wanita yang baru saja keluar dari pintu kedatangan Internasional. Ia memang tak bisa melihat dengan jelas sosok itu sehigga ia terpaksa harus memicingkan matanya untuk memastikan apakah wanita itu adalah sosok yang dicarinya. Merasa diperhatikan, wanita itu justru balas menatap Hyoyeon dibalik kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Sebuah senyuman manis tersungging di bibir wanita itu tatkala ia menyadari sosok yang sedari tadi memperhatikannya. Dan detik itu juga, wanita itu melepas kaca mata hitamnya dan melambaikan tangannya kepada Hyoyeon.

“Taeyeon-ah!!!”

<><><>

Taeyeon mematung di tempat dalam keadaan mulut ternganga dan mata terbelalak lebar ketika mobil yang dikendarai oleh Hyoyeon memasuki areal gedung apartment yang sangat tidak asing untuknya. Untuk beberapa saat wanita itu nampak terdiam, tak tahu harus berkata apa. Namun ketika Hyoyeon memakirkan mobilnya di basement dan mematikan mesin mobilnya, tatapan tajam bak siap memangsanya langsung diberikan oleh Taeyeon.

“Wae? Ada yang salah?” Tanya Hyoyeon dengan raut wajah tak berdosa. Tanpa memberikan kesempatan bagi Taeyeon untuk mengajukan protesnya, Hyoyeon sudah terlebih dahulu keluar dari mobilnya.

“Ya! Kim Hyoyeon!” Pekik Taeyeon sembari ikut turun dari mobil dengan wajah kesalnya. “Mengapa kau mengajakku kesini? Bukankah tadi kau bilang kita akan ke apartmentku?”

“Apa ada yang salah? Aku sudah mengajakmu ke apartmentmu kan?” Balas Hyoyeon santai sambil mengeluarkan koper Taeyeon dari bagasi mobilnya.

“Maksudmu Eonni?!” Pekik Taeyeon kembali.

“Sudahlah.” Jawabnya sambil menutup bagasinya. “Ayo  kita masuk.” Tambah wanita itu lalu berlalu meninggalkan Taeyeon yang masih mengumpat kesal di tempatnya.

Ketakutan Taeyeon kian menjadi-jadi ketika ia melihat punngung Hyoyeon berhenti di depan sebuah pintu yang sedari tidak ia harapkan. Pintu yang juga sangat tidak asing untuknya. Pintu apartment Kim Jongwon.

“Sekali lagi aku bertanya padamu eonni, apa sebenarnya maumu mengajakku kesini?” Tanya wanita itu lagi dengan kiekesalannya yang sudah memuncak.

“Sudah berapa kali aku katakan, aku mengajakmu ke apartmenmu, Kim Taeyeon.”

“Disini? Apa kau bercanda?!!”

Hyoyeon memasukkan kombinasi angka untuk membuka pintu apartment itu. “Jika kau takut akan bertemu kembali dengan Kim Jongwoon, aku sarankan kau buang jauh-jauh pikiranmu itu Taeyeon-ah. Sejak ia melanjutkan studinya ke Frankfurt, ia sudah tidak tinggal di apartment ini. Biasanya ia akan menyewakan apartmentnya ini pada teman-temannya yang membutuhkan tempat tinggal di Seoul.” Jelasnya lalu masuk ke dalam apartment itu tanpa memperdulikan Taeyeon yang masih bingung dengan pikirannya.

“Jadi maksudmu, Kim Jongwoon sudah tidak tinggal disini lagi? Dia sedang di Frankfurt saat ini?”

“Ne.” Jawab Hyoyeon mantap dengan ekspresi wajah yang sukses meyakinkan Taeyeon.

Dengan ragu Taeyeon ikut melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartment itu. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru apartment itu dan menyadari satu hal,  tak ada yang berubah dari apartment itu.  Mengingat jawaban Hyoyeon beberapa saat yang lalu, entah mengapa perasaannya berubah tak karuan. Bukankah seharusnya ia lega tak akan bertemu dengan pria itu? Namun mengapa ada perasaan kecewa yang menyisip di tengah-tengah perasaannya?

“Baiklah. Aku sudah mengantarmu kesini dan meletakkan kopermu di kamar. Maaf sepertinya aku tak bisa berlama-lama disini, aku harus menjemput Hyoeun. Kau tak apa kan?” Ujar Hyoyeon yang baru saja keluar dari salah satu kamar.

“Tentu saja aku akan baik-baik saja. Terimakasih sudah mengantarku, eonni. Kalau kau tidak sibuk, datanglah berkunjung dan temani aku disini, sepertinya aku akan kesepian.” Sahut Taeyeon sambil memberikan senyuman simpul.

“Tentu saja, Taeyeon-ah.” Ucap Hyoyeon sambil memeluk wanita itu.

Kim Taeyeon, beres! Saatnya mengurus Kim Jongwoon.’ Batinnya sambil tersenyum penuh kemenangan di tengah pelukannya dengan Taeyeon

<><><>

Jongwoon baru saja masuk ke dalam mobilnya dan akan menstarter mesinnya ketika ia mendengar ponselnya itu berdering nyaring. Dengan cepat, pria itu meraih ponselnya yang ia letakkan di atas dashboard dan menjawab panggilan di teleponnya itu.

“Yeoboseyo?”

“Jongwoon Oppa, Eodiga?”

“Di dalam mobil, baru saja aku akan pulang. Wae, Hyo-ah?”

“Ah kebetulan sekali, bisakah aku meminta tolong padamu?”

“Aku akan mengusahakannya, apa itu?”

“Tadi siang aku baru saja pergi ke apartmentmu untuk membersihkannya karena besok temanku itu akan datang. Namun sepertinya aku meninggalkan bukuku disana. Bisakah kau mengeceknya untukku? Dan jika memang tertinggal bisakah kau membawanya pulang, Oppa?”

Jongwoon melirik arlojinya sekilas. “Baiklah, sepertinya aku masih ada waktu. Buku apa yang kau tinggal disana?”

“Er… Agenda. Ya, aku meninggalkan agendaku. Agenda dengan sampulnya yang berwarna kuning cerah.” Ucap Hyoyeon asal.

“Arasso.”

<><><>

Jongwoon memasukkan serangkaian angka pada pintu apartmentnya dan dalam beberapa detik pintu dihadapannya sudah terbuka. Ia memasuki apartment yang selama dua tahun ini ditinggalkannya. Belum sempat ia memikirkan kesan pertamanya setelah sekian lama meninggalkan apartmentnya itu, sebuah benda yang menyambutnya di depan pintu seolah menarik perhatiannya terlebih dahulu.

“Sepatu?” Ucapnya nyaris berbisik. Mendapati sepasang sepatu wanita dihadapannya,  entah mengapa pikirannya melayang begitu saja pada kejadian dua tahun silam yang juga terjadi di apartment ini. Jongwoon pun berjongkok dan meraih sebelah sepatu itu lalu memperhatikannya dengan seksama. “Apa Hyoyeon juga meninggalkan sepatunya disini? Ck, dasar ceroboh.” Gumamnya sambil tersenyum geli.

Jongwoon melanjutkan langkahnya hingga kedua kakinya membawanya ke ruang tamu. Sejenak ia memperhatikan sekitarnya dan dalam sekejap kenangan-kenangan singkat yang pernah terjadi di apartment itu seolah berputar kembali di otaknya. Ia sama sekali tidak melupakan satupun kenangan-kenangan itu.  Kenangan-kenangan itu terlalu sayang untuk dilupakan, terlebih kenangannya bersama wanita itu.

“Ada apa denganku? Mengapa aku justru kembali terpuruk seperti ini?” Keluhnya pada diri sendiri.

Taeyeon memejamkan matanya lalu menghirup dalam-dalam aroma tumisan bawang putih yang menggelitik hidungnya. Dirasa sebagai waktu yang tepat, Taeyeon memasukkan potongan-potongan daging yang sudah ia lumuri dengan gochujang ke dalam Teflon. Tak hanya itu, ia juga memasukkan potongan wortel dan daun bawang yang semakin menambah cantik dan nikmat masakannya itu.  Beberapa saat kemudian wangi dari Jeyuk-bokkeumnya yang mengepul di udara benar-benar membuat perutnya tak bisa berkompromi lagi. Sungguh makan malam yang sangat sempurna untuk mengawali harinya di Seoul.

Taeyeon memandang makan malamnya yang sudah ia tata dengan rapi di atas meja. Semangkuk nasi, Jeyuk-bokkeum, dan tak lupa Kimchi sudah siap memanjakan perutnya. Dengan bangga Taeyeon mengambil sumpitnya, dan bersiap menjepit sepotong daging dari piring lauknya. Namun sayang, belum sempat ujung sumpitnya menyentuh potongan-potongan daging tersebut, telinganya menangkap suara yang cukup aneh. Taeyeon menegakkan tubuh dan menoleh ke beberapa arah dengan waspada. Seperti suara pintu yang terbuka lalu kembali tertutup. Dengan berat hati, Taeyeon meletakkan kembali sumpitnya.

“Aku sudah menutup pintu kan?” tanyaya pada diri sendiri dengan rasa takut yang mulai menggerogotinya.

Dengan langkah berat Taeyeon beranjak dari duduknya menuju bak cuci piring. Sebuah sendok kayu yang beberapa saat lalu ia gunakan untuk mengaduk masakannya langsung menjadi pilihannya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melangkah ke luar dari dapur.

Taeyeon bersembunyi di balik dinding sambil mencoba mengintip ke luar dapur. Samar-samar ia mendengar suara derap langkah yang berjalan semakin dekat dan hal itu kontan membuatnya mengangkat sebelah tangannya yang menggengam sendok kayu dengan was-was. Masih dari balik dinding kini ia merasakan jantungnya berdegup lebih cepat  seiring dengan matanya yang menangkap sesosok pria yang tengah memasuki ruang tamu. Ia tak bisa melihat wajah pria itu karena posisi pria itu yang membelakanginya.

Meskipun ia tak bisa memungkiri ketakutan kini melandanya, Taeyeon sadar ia tak mungkin hanya berdiam diri bersembunyi di balik dinding seperti sekarang ini. Dengan ragu ia melangkahkan satu kakinya keluar lalu menghela nafas dengan sangat pelan, takut pria itu akan mendengar suara helan nafasnya. Masih dengan sendok kayu yang di genggam kedua tangannya dengan siaga kini ia berjalan berjinjit mendekati pria itu.

Selangkah….

Dua langkah…

Tiga langkah…

Tanpa disangka Taeyeon pria itu justru mebalikkan badannya secara mendadak dan sukses membuat Taeyeon kaget dan entah bagaimana terpeleset hingga kehilangan keseimbangan. Sadar dirinya akan jatuh saat itu juga, spontan sebelah tangan Taeyeon menarik lengan pria itu bermaksud untuk menahan tubuhnya agar tak terjatuh. Tapi sayang, sepertinya usahanya sangat sia-sia karena detik itu juga ia memejamkan matanya dan…

BUK

“Argghh….”

Taeyeon mengerang sakit setelah tubuhnya terjatuh dan punggungnya menghantam lantai. Ia sadar tangannya masih mencengkeram kuat tangan pria asing yang tak diketahuinya dan ia tahu kini tubuh pria itu berada di atasnya. Dengan takut Taeyeon membuka matanya hingga mata cokelat almondnya bertemu dengan sepasang mata hitam pekat nan tajam yang sangat tidak asing untuknya. Wajah keduanya berjarak sangat dekat dan mata mereka saling menatap dalam-dalam dengan rasa tidak percaya yang membuncah di benak keduanya.

‘Mimpi macam apa ini…..’

<><><>

Entahlah, sejak beberapa menit yang lalu nyanyian cacing-cacing di perut Taeyeon sudah tak seheboh tadi, bahkan sepertinya ia benar-benar tak berselera untuk menyantap masakannya itu. Meskipun begitu, ia tetap menyantap masakannya itu dalam diam dan sebisa mungkin tidak memberi perhatiannya pada keadaan sekitarnya, termasuk pria yang duduk di hadapannya sambil menatapnya lekat-lekat.

Berbeda dengan Taeyeon, pria itu sama sekali belum menyentuh satu set makan malam yang di berikan Taeyeon padanya. Sepertinya ia terlalu sibuk atau asyik tepatnya, meyakinkan dirinya jika wanita yang sangat ia rindukan kini tengah duduk di hadapannya. Sungguh kejadian yang tak terduga. Ia datang dengan tujuan memenuhi permintaaan Hyoyeon yang katanya meninggalkan barangnya di apartmentnya dan justru berakhir dengan insiden kecil dengan seorang wanita yang membuatnya kacau beberapa hari belakangan. Tunggu, permintaan Hyoyeon? Sial! Jangan katakan ini adalah rencana adiknya itu!

“Jika kau tak lapar, kau bisa pulang sekarang Dokter Kim. Aku akan merapikan dan menyimpan makananmu itu. Lumayan untuk sarapan besok pagi.” Ucap Taeyeon tiba-tiba tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari makan yang sedang di santapnya. Dan sekali lagi Kim Jongwoon harus meyakinkan dirinya jika wanita itu memang sedang berbicara kepadanya.

Jongwoon menghela nafas berat lalu menyandarkan punggunya pada sandaran kursi. “Jadi kau teman Hyoyeon yang akan menyewa apartment ini?”

Taeyeon mengangkat kepalanya lalu mendelik menatap Jongwoon. “Jadi ia mengatakannya kepadamu?”

Jongwoon mengangkat bahunya dengan santai. “Tenang saja, dia tak mengatakan jika temannya itu bernama Kim Taeyeon.”

“Well, dia juga tidak mengatakan jika apartment yang ia carikan untukku adalah apartmentmu. Tunggu, kau sendiri bagaimana bisa disini? Bukankah kau sedang di Frankfurt?” Tanya Taeyeon dengan tatapan menginterogasi.

‘Mencarikan Apartment? Frankfurt? Oh sial, ini benar-benar rencana bocah keparat itu.’

“Ia memintaku untuk mengambil agendanya yang ia tinggalkan ketika membersihkan apartment ini. Dan perlu kau ketahui aku sudah pulang sejak dua minggu yang lalu. Bahkan bisa saja aku sudah di Korea sejak tiga minggu yang lalu jika pikiran bodohku tidak mendorongku untuk mencarimu di Jepang.” Ucap pria itu kelepasan, meskipun di akhir kalimatnya lebih terdengar seperti bisikan.

“Mencariku?” Taeyeon memberanikan menatap pria itu dengan tatapan seolah meminta penjelasan. Untuk beberapa detik pandangannya sama tak lepas dari pria itu dan satu hal yang ia sadari ada yang berubah dari pria itu. Pria itu nampak lebih kurus dan terkesan tak terurus. Guratan-guratan kelelahan terlukis jelas di wajahnya terutama kantong matanya yang begitu tebal.

“Ya aku memang mencarimu.” Aku pria itu. ” Tapi kau tenang saja, aku tak akan mencarimu lagi. Aku juga tak akan mengganggumu, dan mengusik kebahagianmu bersama suami dan putrimu.” Tambahnya dengan tatapan sendunya yang menghujam Taeyeon.

‘Apa-apaan ini? Omong kosong apa lagi yang akan diucapkan pria ini?’

Taeyeon sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Jongwoon. Suami? Putri? Apa pria itu sudah gila? Atau justru matanya yang sudah tidak beres?

“Sebenarnya apa yang kau bicarakan?” Selidik Taeyeon sambil mencoba terlihat tenang.

Jongwoon mengembuskan napas dengan keras. “Kau tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti? Aku sangat yakin mataku tidak salah. Apa aku harus menjelaskan setiap detailnya?” Ucap pria itu emosi.

Taeyeon menatap pria itu dengan tatapan menyala-nyala. “Ya,” Katanya keras. “Jelaskan padaku karena aku tidak mengerti apa yang sedang kau ocehkan.”

“Hari itu aku datang ke rumahmu. Aku melihatmu turun dari sebuah mobil bersama seorang pria. Aku berdiri tak jauh darimu, tapi sepertinya kau tidak menyadari keberadaanku karena kau begitu asyik dengan pria itu.”

“Kau datang ke rumahku?” Sela Taeyeon kaget. “Dari mana kau tahu tempat tinggalku?”

“Hyoyeon yang memberitahuku. Tapi—”

“Hyoyeon?! Ia yang memberitahumu?”

“Ya, adikku Kim Hyoyeon. Tapi itu bukan intinya. Aku melihatmu menggendong seorang balita dan…. dan balita itu memanggilmu… memanggilmu eomma.” Jelas Jongwoon dengan raut wajah yang sama sekali tidak bersahabat.

Alis Taeyeon terangkat. ‘Oh Sial. Jangan katakan yang ia maksud adalah Youngwoon Oppa dan Jiyoung. Dan apakah ia….. cemburu?’ Taeyeon ingin sekali membantah setiap ucapan pria itu,  menjelaskannya dan menghentikan kesalahpahaman ini. Tapi, bukankah dulu pria itu yang meminta dirinya untuk menjauhinya. Dan bukankah itu artinya ia tak usah repot-repot menjelaskan semuanya pada Kim Jongwoon karena bagaimanapun juga ia sudah tak memiliki hubungan apa-apa dengan pria itu?

Taeyeon meletakkan sumpitnya dan mengembuskan nafas pasrah lalu berdiri dari kursinya. “Pulanglah setelah kau menghabiskan makan malammu. Aku akan merapikannya nanti. Selamat malam.” Titah Taeyeon sambil menyunggingkan senyuman kakunya. Ia pun meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Kim Jongwoon yang masih berusaha mengendalikan emosinya.

Taeyeon masuk ke dalam kamarnya, menguncinya dan menyandarkan punggungnya di balik pintu. Tangan kanannya terangkat meraih sesuatu yang melingkar di lehernya. Sebuah kalung dengan cincin sebagai liontinnya. Cincin pemberian Kim Jongwoon dua tahun lalu.

Tangannya menggenggam kuat cincin itu, matanya terpejam dan dalam sekejap air mata sudah turun dari matanya. Ia tak bisa membohongi dirinya lagi. Seberapapun besar usahanya untuk menjauhi dan melupakan pria itu, tak bisa ia pungkiri ia masih mencintai pria itu. Ia tetap mencintai pria itu meskipun pria itu menyebutnya sebagai pembunuh dan pembawa sial bagi keluarganya. Ia tetap mencintai pria itu meskipun pria itu mengacuhkannya dan menjauhinya. Dan bahkan ia tetap mencintai pria itu meskipun otaknya tak berhenti mengingatkan dirinya jika pria itu membencinya.

Tubuh Taeyeon berangsur-angsur merosot hingga kini ia terduduk di lantai. Mengingat bagaimana cara Jongwoon berucap seolah sudah menyerah terhadap dirinya dan merelakannya membuat  hatinya kembali dihujam ribuan tusukan hingga bagian terdalam yang membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat. Tangisnya makin menjadi-jadi namun sebelah tangannya berusaha menutup mulutnya, takut pria itu akan mendengar tangisnya.

<><><>

Taeyeon mematut dirinya di depan cermin, memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu ke arah sebaliknya memperhatikan apa yang masih dirasa kurang dari penampilannya. Seharusnya ia nampak senang kulitnya tampak begitu bersinar dalam balutan dress selutut berwarna baby pink dan cardigan putih. Namun sayang, matanya yang sedikit membengkak dan bibirnya yang nampak pucat akibat semalaman menangis membuatnya mencoret kata puas dalam benaknya. Ia pun menyapukan bedak tipis di wajahnya dan mengoleskan lipgloss pink cerah di bibirnya. Ah tak lupa sedikit eyeline di bagian bawah matanya. Ya setidaknya tiga jenis make up itu membantunya menyamarkan wajahnya yang nampak menyedihkan.

Kini Taeyon sudah berhadapan dengan pintu kamarnya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, mengenyahkan memori di otaknya yang sudah terlalu menyiksa dirinya. Tangannya yang sudah terulur hendak memutar kenop pintu kini tergantung ragu. Hati kecilnya seolah memberikan peringatan kepada dirinya jika sepasang mata hitam dan tajam itu akan menyambutnya di balik pintu.

Taeyeon menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. Tangannya bergerak memutar kenop pintu dengan agak takut dan menariknya hingga ia bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya. Taeyeon menghela nafas lega dan mengelus dadanya. Rupanya prakiraannya salah.

Taeyeon melangkah keluar dengan kelegaan yang memenuhi pikirannya. Ia melangkah dengan santai sampai telinganya menangkap suara gumaman kecil yang sedikit tidak jelas. Dengan penuh rasa waspada kepalanya menoleh kesana kemari hingga terhenti pada sebuah objek yang sukses membuat Taeyeon menatapnya tak berkedip. Pria itu, Kim Jongwoon, tengah tertidur dengan pulasnya di atas sofa panjang di ruang tamu.

Taeyeon memang kaget, tapi sama sekali tidak ada kemarahan yang menyertainya. Justru, eulas senyuman geli tersungging dibibirnya tatkala matanya menangkap wajah polos pria itu di tengah tidurnya. Dan sekali lagi, Kim Jongwoon benar-benar sukses membuat perasaan wanita itu menjadi tak karuan.

<><><>

Perlahan kedua kelopak mata Jongwoon mulai terbuka, sedikit berkedut untuk menyesuaikan intensitas cahaya matahari yang menghambur menyambutnya. Saat mata itu benar-benar terbuka, fokus retina Jongwoo pun tertuju pada keadaan di sekitarnya dan ia sadar dirinya tengah berada di ruang tamu apartmentnya.

Jongwoon meletakkan gelasnya di dispenser lalu mengisinya  dengan air dingin.  Sambil mengisi  gelasnya, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sungguh sepi, dan ia yakin wanita itu sudah pergi. Ia pun menegak airnya dengan cepat, membiarkan tenggorokkannya yang terasa sangat kering terkena sensasi yang menyegarkan dari air dinginnya. Dan pada tegakkan terakhir, tanpa sengaja matanya melirik dan lantas terpaku pada sebuah benda yang terletak di atas meja makan. Benda itu adalah sebuah tudung saji dengan sticky note yang melekat di atasnya. Jongwoon meletakkan gelasnya lalu meraih sticky note itu dan lantas membacanya.

Kalau kau membacanya, aku sarankan kau sarapan terlebih dahulu sebelum kau pulang. TY

Tangannya mengangkat tudung saji itu dan dalam sekejap matanya terbelalak sekaligus berbinar atas apa yang ia dapati di bawah tudung saji itu. Satu set sarapan pagi yang ditata dengan cantik benar-benar membuat cacing-cacing di perutnya terbangun dan memaksanya menegak liurnya. Jongwoon pun memutuskan untuk duduk pada salah satu kursi dan mulai menyantap sarapannya dengan senyuman riang yang menghiasi wajahnya.

Jongwoon mendesah lega sambil meletakkan sumpitnya lalu menegak segelas air sebagai penutup acara sarapannya. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan tangannya begitu asyik menepuk-nepuk perutnya yang terasa kenyang. Harus ia akui, kemampuan memasak Kim Taeyeon tak pernah mengecewakan dan tak bisa Jongwoon pungkiri ia sangat merindukan masakan wanita itu.

Matanya melirik sekilas pada arloji yang melingkar di tangannya, dan ia tahu ia  hanya memiliki waktu kurang lebih satu jam sebelum jam praktiknya. Ia sadar, jika ia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya, waktu satu jam itu sangatlah kurang. Ia bisa membayangkan dengan jelas bagaimana Appa, Eomma dan adiknya akan merecokinya dengen ratusan pertanyaan yang benar-benar membuang waktu, belum lagi lalu lintas Kota Seoul yang begitu padat yang sangat berpotensi membuatnya telat.

‘Aku rasa wanita itu tidak keberatan jika aku meminjam kamar mandi.’

<><><>

Jongwoon membuka pintu kamarnya, atau tepatnya pintu kamar yang di tempati Taeyeon dengan perlahan. Ia tahu perbuatannya sangat tidak sopan, tapi ia terpaksa melakukannya karena suatu hal. Dua tahun lalu sebelum ia mengajak Taewoon untuk pindah ke rumah orang tuanya, ia ingat betul jika ia menyisakan beberapa lembar kemeja dan celananya di dalam lemari pakaian yang terletak di kamarnya. Dan oleh karena itu, ia rasa baju-baju itu bisa membantunya meskipun ia sedikit tak yakin apakah baju-baju itu masih ada di dalam lemarinya.

Jongwoon membuka pintu lemari yang terletak di sudut kamar itu. Lemari itu sudah berisikan beberapa lembar baju perempuan yang sudah tertata dengan rapi yang ia yakini sebagai baju Taeyeon. Tapi sepertinya itu bukanlah masalah besar untuk Jongwoon karena baju-baju miliknya sudah terpinggirkan sehingga tak menyulitkan dirinya untuk memilah baju yang akan ia gunakan.

Usai menjatuhkan pilihannya pada selembar kemeja putih polos dan celana panjang berwarna hitam, Jongwoon menutup pintu lemari di hadapannya dan bermaksud meninggalkan kamar itu. Namun, baru ia mengambil ancang-ancang untuk meninggalkan ruangan itu, langkahnya sudah tertahan seiring dengan matanya yang terpaku pada sebuah l-holder berwarna putih bening yang terletak di atas meja  belajar di samping lemari baju. Ia menatap l-holder itu dan entah mendapat dorongan dari mana ia meraih l-holder itu dan memeriksa isinya. Ia sadar jika hal yang ia lakukan ini kelewat tidak sopan, tapi entahlah, hati kecilnya memaksanya untuk memeriksa benda yang terbuat dari plastik itu.

Sejauh yang ia lihat, l-holder itu berisikan kertas-kertas yang berisikan lirik-lirik lagu, gambaran-gambaran formasi barisan dan komposisi gerakan yang ia yakini sebagai bahan untuk pentasan musikal Taeyeon. Sempat Jongwoon berpikir, apa yang ia harapkan sampai melakukan hal tak sopan seperti saat ini, memeriksa barang-barang wanita itu. Tapi sepertinya pikiran itu menguap begitu saja ketika tangannya tanpa sengaja berhenti pada sebuah foto yang terselip di dalam kertas-kertas itu. Foto itu adalah sebuah foto keluarga yang di ambil saat upacara pernikahan. Tunggu, bukankah pengantin pria di foto itu adalah pria yang bersama Taeyeon hari itu? Dan hey, pengantin wanita itu bukanlah Kim Taeyeon.  Taeyeon justru berdiri di sebelah wanita paruh baya yang wajahnya sangat mirip dengannya, ibunya mungkin.

Kini otak Kim Jongwoon bekerja dengan cepat.  ‘Oh sial! Kesalahan bodoh apalagi yang kau perbuat Kim Jongwoon!?’

Buru-buru pria itu mengambil ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu.

To : Kim Hyoyeon

Kau berhutang banyak cerita padaku, wanita licik.

<><><>

Dengan susah payah, kedua kaki Taeyeon akhirnya berhasil mengantarkan dirinya pada halte yang terletak tidak jauh dari Sunghwa Musical Company. Taeyeon mendudukkan dirinya pada kursi panjang yang terdapat di halte itu. Kebetulan sekali saat itu sedang tidak ada orang di halte sehingga Taeyeon memutuskan untuk menselonjorkan kakinya di atas kursi tempatnya duduk dan memijat-mijat kakinya yang terasa sakit akibat insiden kemarin malam. Merasa cukup baik, kini tangannya terulur meraih sebuah benda tipis yang sedari tadi ia simpan di dalam tas, Ipod. Taeyeon melepas gulungan kabel earphone iPodnya, memasangkan di telinganya dan membiarkan dirinya terhanyut dalam lagu yang sedang ia dengarkan. Ia memejamkan matanya dan senyuman manis tersungging di bibirnya. Tak jarang ia mengeluarkan senandung-senandung kecil dari bibirnya dan sesekali tangannya akan bergerak kecil ketika gerakan-gerakan tari mulai terbentuk secara otomatis dalam kepalanya.

Sebuah tepukan pelan di pundak Taeyeon membuatnya spontan melepas earphonenya lantas mendongak dan tersentak mendapati sosok yang kini berdiri di belakangnya. Sementara, pria itu hanya tersenyum manis mencoba membuat wanita itu terpesona akan senyumannya.

“Kau?! Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Taeyeon dengan raut muka yang sama sekali tidak bersahabat dan nada suaranya yang ketus dan dingin.

Seolah tak peduli dengan kekesalan Taeyeon, pria itu justru mendudukkan dirinya di samping Taeyeon dan memasang seringaian yang membuat Taeyeon semakin merasa kesal. “Kau pikir apalagi tujuanku kemari jika bukan karenamu? Aku bertanya pada Appa-mu dan langsung pulang ke Korea demi menyusulmu.”

Taeyeon berdiri dari duduknya dan menatap pria itu dengan tatapan mengintimidasi. “Maaf, tapi aku sama sekali tidak berharap kau menyusulku, Jang Wooyoung-ssi. Dan sudah berapa kali aku bilang, berhentilah mendekatiku karena jawabanku akan tetap sama.” Ucap Taeyeon dengan kesal dan penekanan pada setiap katanya. Gadis itu hendak melangkah meninggalkan pria itu, namun baru dua langkah ia berjalan lengannya sudah lebih dulu di tahan oleh pria itu sehingga ia terpaksa membalikkan badannya dan menatap pria itu dingin.

“Lepaskan!” Titah  Taeyeon dengan ketus.

“Apa yang membuatmu mati-matian menolakku hah?! Bahkan seorang kekasih saja kau tidak punya, apalagi ala—“

“Kau salah, Tuan!” Potong suara baritone yang sukses membuat Taeyeon membeku di tempatnya  seketika. Ia bisa merasakan pemilik suara itu kini berjalan mendekatinya dan sungguh ia tak berani menolehkan kepalanya kepada pemilik suara itu. Berbeda dengan Jang Wooyoung, ia menatap pria yang kini tengah berjalan ke arahnya  dengan tatapan tidak suka.

Pria itu melingkarkan lengannya pada pinggang Taeyeon, dan menariknya mendekat sehingga keduanya berdiri dengan posisi sejajar tanpa ada jarak diantara keduanya. “Salah jika kau mengatakan ia tidak memiliki kekasih, terlebih kau mengucapkannya di depan kekasihnya, Jang Wooyoung-ssi.” Jelas pria itu — Kim Jongwoon,  dengan penuh percaya diri dan seringaian di wajahnya yang sukses membuat emosi Wooyoung terpancing.

Taeyeon hanya terdiam mematung, tak memperdulikan kedua pria yang saling memancarkan tatapan membunuh karenja dirinya. Entahlah, tubuhnya tak bisa berontak ketika Jongwoon melingkarkan tangannya di pinggangnya. Tenaganya pun seakan menguap oleh perasaan-perasaan tak karuan yang menyerang hatinya. Ia memilih untuk tidak bekutik, mengatur detak jantungya dalam diam.

“Aku yakin sekali, kau tidak suka jika kekasihmu digoda oleh pria lain. Dan oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormatku padamu, aku peringatkan, janganlah mendekati Taeyeon lagi, Jang Wooyoung-ssi.” Ucap Jongwoon lagi tanpa sedikitpun mengurangi tatapan menantang yang ia tujukkan kepada Wooyoung dan melangkah pergi meninggalkan pria itu sendiri dalam emosi yang memuncak.

“Apa maksud ucapan serta perbuatanmu tadi, hah?! Bagaimana jika ia berpikir yang tidak-tidak mengenai kau dan aku, Kim Jongwoon-ssi?!” Semprot Taeyeon dengan pertanyaan yang ia lontarkan dengan berteriak galak. Kini ia dan Jongwoon sudah berada di dalam mobil Jongwoon. Beberapa saat usai kejadian di halte tadi, ia baru bisa menguasai kembali dirinya sehingga sekarang ia ikut merasa geram pada perbuatan Jongwoon yang ia rasa terlalu seenaknya.

Jongwoon tetap mengemudikan mobilnya dengan santai tanpa memperdulikan tatapan berapi-api Taeyeon. “Kau takut? Apa yang kau takutkan? Apa pria bernama Jang Wooyoung itu adalah pria yang kau sukai sehingga kau takut ia tahu aku adalah kekasihmu. Ck, apa kau sendiri juga lupa kalau kau adalah seorang wanita yang berstatus sebagai kekasih orang?” Ucap pria itu enteng tanpa rasa bersalah sama sekali.

Taeyeon mendengus kesal. Tangannya mengepal kuat mendengar ucapan  pria itu. “Kekasih kau bilang? Apa aku perlu mengingatkanmu jika hubungan kita sudah usai sejak kau memintaku untuk menjauhimu?”

Pria itu menolehkan kepalanya sekilas senyuman sinis tersungging di bibirnya. “Aku memang pernah menintamu untuk menjauhiku, tapi tidak pernah ada kata putus atau usai diantara kita.”

Taeyeon masih menatap pria itu dengan kesal. Otaknya terlalu kacau untuk sekedar memikirkan kata-kata yang akan ia semprotkan lagi pada pria itu. Ia tahu betul jika pria itu pasti akan menanggapi semua ucapan serta pertanyaanya dengan enteng tapi sukses membuat dirinya tak bisa berkutik. Dan karena itu ia  memutuskan untuk membuang mukanya menatap kaca mobil sambil mengumpat kesal.

<><><>

Sebisa mungkin Taeyeon mempercepat langkahnya menelusuri lorong menuju apartmentnya meskipun rasa sakit tak tertahankan di kakinya benar-benar tidak bisa ditoleransi. Ia benar-benar berusaha memperlebar jarak antara dirinya dengan pria yang berada beberapa meter di belakangnya, siapa lagi kalau bukan Kim Jongwoon. Pria itu melangkah dengan santai sambil tetap menatap punggug wanita yang berusaha berjalan dengan cepat meskipun langkahnya nampak tergopoh-gopoh. Pria itu berdecak sambil menggelengkan kepalanya heran. ‘Hobi sekali ia menyakiti dirinya seperti itu.’ Pikirnya

“Ya! Kim Taeyeon!” Panggil Jongwoon dengan suara yang cukup lantang. Beruntung sedang tidak ada orang lain yang melewati lorong itu selain dirinya dengan Taeyeon, sehingga ia tidak perlu cemas memikirkan tanggapan orang-orang mengenai dirinya.

Taeyeon sama sekali tidak terusik dengan panggilan Jongwoon yang menggema di sepanjang lorong. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah kembali ke apartment pria itu, mengambil seluruh pakaiannya dan pergi ke tempat yang sekiranya tidak dapat dijangkau oleh pria itu.

“Aku memanggilmu wanita bodoh!” Ucap Jongwoon lagi dengan suara yang tak kalah lantang namun Taeyeon tetap tak mengubrisnya dan tetap melangkah.

“Kau mau berhenti berjalan secara sukarela atau kau mau aku yang bertindak, Nona Kim?!” Teriak Jongwoon seolah memberi peringatan pada wanita itu.

Taeyeon tetap pada pendiriannya, berjalan tanpa mengindahkan peringatan yang diberikan pria itu. Jongwoon yang merasa geram dengan tingkah wanita itu kini memperhatikan keadan sekitarnya, memastikan tidak ada orang yang akan menyaksikan tindakan bodohnya. “Baiklah Nona Kim, kau yang memaksaku untuk melakukan ini!”

Mendengar ucapan pria itu, firasat Taeyeon berubah tidak enak. Ia memperlambat langkahnya dan berniat menolehkan kepalanya kebelakang. Tapi sayang, belum sempat Taeyeon menolehkan kepalanya, Jongwoon sudah lebih dulu meraih kedua kaki Taeyeon dan beberapa detik kemudian Taeyeon merasakan tubuhnya terangkat. Jongwoon menggendong Taeyeon di pundaknya, bak seorang petani yang membawa sekarung kentang di pundaknya.

“Ya! Pria bodoh dan kurang ajar! Turunkan aku sekarang juga Kim Jongwoon!” Perintah Taeyeon. Kaki dan tangannya tidak tinggal diam. Kakinya yang dipegang kuat oleh Jongwoon berusaha memberontak. Tangannya sibuk memukul punggung Jongwoon meskipun sepertinya pria itu tidak peduli punggungnya akan dipenuhi memar setelah ini.

“Kau saja tak mengindahkan ucapanku, berarti aku juga boleh tidak mengubris ucapanmu kan Nona Kim?” Balas Jongwoon dengan suara baritonenya yang terdengar dingin di telinga Taeyeon. Padahal tanpa wanita itu sadari, pria itu diam-diam tengah tersenyum geli sambil berusaha menahan tawanya.

<><><>

Bibir mungil Taeyeon tak henti-hantinya mengumpat, mengucapkan sumpah serapah yang ditujukan kepada Kim Jongwoon. Bagaimana tidak? Setelah pria itu seenaknya mengklaim Taeyeon sebagai kekasihnya, dengan seenaknya pria itu membuatnya malu setengah mati dengan menggendongnya bak menggendong karung kentang. Tak hanya itu, setibanya di apartment pria itu masih sempat mengancam Taeyeon dengan raut wajah yang membuatnya ingin sekali menendangnya jauh-jauh dari hadapannya.

Jangan coba kabur, atau aku akan melakukan hal yang sama sekali tidak kau duga, Taeyeon. Begitulah ancaman pria itu padanya, yang mau tidak mau membuatnya menurut dengan duduk manis di tepi ranjangnya.

Ia hanya terdiam sambil kedua tangannya mencengkeram pinggiran ranjang. Otaknya terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang terjadi sejak kemarin malam hingga beberapa saat yang lalu. Semua ini seperti mimpi untuk Taeyeon. Tapi ia sendiri tak tahu harus mengkategorikannya sebagai mimpi buruk atau mimpi indah. Ia memang sangat merindukan pria itu tapi, mengingat kesalahannya kepada pria itu di masa lalu dan ucapan-ucapan pria itu kepadanya membuatnya memilih untuk menutupi segala rasa rindu dan rasa cintanya dengan perasaan bersalah.

Taeyeon terlalu terpaku dalam pikirannya sehingga ia tak menyadari Jongwoon telah berada di depannya. Sadar-sadar, ia merasakan kaki kanannya yang terasa sakit telah di urut oleh sosok di hadapannya. Pria itu — Kim Jongwoon — telah berjongkok dihadapannya dengan sebuah baskom berisi air hangat, sebuah handuk berukuran sedang  dan sebotol minyak urut di sampingnya. Jongwoon mengurut kakinya dengan sangat telaten, dan hal itu sukses membuat jantung Taeyeon ingin melompat keluar dari sarangnya.

“Apa yang kau lakukan Kim Jongwoon-ssi?” Tanya Taeyeon sambil mengerutkan keningnya berusaha menutupi kegugupannya.

“Seharusnya kau mengatakan padaku jika kakimu ini keseleo akibat kejadian kemarin malam, sehingga cepat mendapat pertolongan, Taeyeon.” Sahut pria itu sambil tetap fokus pada kedua kaki Taeyeon.

“Darimana kau tahu?”

“Lihat saja cara berjalanmu itu. Lebih buruk daripada Halmeoniku.” Ucap Jongwoon. “Lagipula ahjumma berwajah galak di perusahaan musikalmu itu juga mengatakan kakimu sedang keseleo.”

“Kau kesana? Untuk apa?” Tanya Taeyeon menggebu-gebu. “Oh, pantas saja, kau tiba-tiba datang, rupanya kau mengikutiku.” Ucapnya sambil mengembungkan pipinya kesal.

“Tidak sepenuhnya mengikutimu. Hyoyeon yang memberitahuku kalau kau ada pekerjaan disana. Jadi, ya kau tahulah… Aku datang untuk mencarimu. Tapi ahjumma itu mengatakan jika ia sudah menyuruhmu pulang karena kakimu yang keseleo.”

Taeyeon berdecak kesal. “Jadi seperti itu sikapmu pada seorang wanita yang sudah bersuami dan memiliki anak? Mengikutinya dan terus mencarinya?” Balas Taeyeon menyindir.

Jongwoon menghentikan kegiatan mengurutnya. Ia mencelupkan sebuah handuk ke dalam baskom, memerasnya,  melipatnya dengan rapi, lalu menempelkannya pada kaki Taeyeon. Pria itu tersenyum sambil mendongakkan kepalanya. “Perlu kau ralat, tepatnya beginilah sikapku pada wanita yang sangat aku cintai.”

Taeyeon terperangah. Demi apapun yang ada di dunia ini, permainan apa yang sedang dibuat Tuhan untuk mengujinya. Bertemu manusia gila seperti Kim Jongwoon yang sukses membuat jantungnya berlomba dan darahnya berdesir seperti ini. Terlalu sulit untuknya kembali menyerang pria itu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Pria itu selalu memiliki jawaban yang tak terduga dan sukses membuatnya seperti ini.

Jongwoon masih mendongakkan kepalanya menatap wanita itu. Ya wanita itu mematung dan menatap kosong entah kemana. Dan, hey! Mengapa Jongwoon baru menyadari sesuatu. Sebuah kalung melingkar di leher Taeyeon. Memang itu hanyalah sebuah kalung emas putih biasa tapi yang membuat mata Jongwoon berbinar adalah sesuatu yang tergantung di kalung itu. Itu cincin pemberiannya. Wanita itu memang tidak mengenakan di jarinya tapi ia masih menyimpannya. Jangan salahkah dirinya karena baru menyadari keberadaan cincin itu karena ia yakin sekali sejak kemarin Taeyeon menyembunyikannya di balik bajunya.

“Kau melamun.” Ucap Jongwoon di telinga Taeyeon yang sukses membuat wanita itu terperanjat kaget dan menyadari Jongwoon sudah tak berjongkok di depannya melainkan duduk di sampingnya.

“A-ah itu, kau sudah selesai?” Balas Taeyeon gugup.

“Sudah sejak tadi, bahkan kau tak menyadari aku sudah sempat keluar membawa semua peralatanku.”

Taeyeon hanya membulatkan mulutnya sambil manggut-manggut. ‘Selama itukah aku melamun?’

“Jongwoon-ssi, kamsahanida.” Ucap gadis itu sambil tersenyum kikuk namun tak menatap pria itu.

“Ne, cheonma.” Balasnya singkat.

Kini keduanya hanya menatap kosong ke pintu di hadapan mereka, terlalu sibuk dengan pemikiran masing-masing. Dengan takut Taeyeon melirikkan matanya pada Jongwoon dan mendapati pria itu tengah terkekeh geli.

“Mengapa kau terkekeh seperti itu?” Tanyanya ketus.

“Lucu saja, ternyata selain aku dan Cho Kyuhyun masih ada yang mengejar-ngejarmu segila itu, pria bernama Jang Wooyoung itu contohnya.”

Taeyeon mendesis kesal. “Kau pikir di dunia ini hanya ada dua pria, kau dan Kyuhyun Oppa? Dan apa kau pikir aku adalah wanita yang tidak laku?” Sungut Taeyeon sebal sambil mengerucutkan bibirnya dan mengembungkan pipinya sebal.

Jongwoon menatap wanita di sampingnya itu lekat-lekat. “Taeyeon-ah,” panggil Jongwoon pelan namun sukses  membuat nafas Taeyeon tertahan dan detak jantungnya seolah berhenti untuk beberapa detik. Sungguh ia sangat merindukan panggilan itu keluar dari mulut Kim Jongwoon.

“Tetaplah memasang wajah kesalmu itu padaku selama kau tetap di sisiku daripada aku harus tersiksa lebih lama lagi tidak melihat wajahmu itu.” Ucap Jongwoon dengan suara yang sangat kecil, nyaris seperti berbisik.

Taeyeon menatap Jongwoon dengan tatapan tidak percaya. Pria ini benar-benar sukses mengaduk-aduk perasaannya hingga menjadi tak karuan seperti ini.

“Jongwoon-ssi, pulanglah, aku ingin beristirahat.” Pinta Taeyeon karena ia tidak bisa menahan semua ini lebih lama lagi. Ia pun beranjak dari duduknya dan mulai melangkah menuju lemari pakaian.

Jongwoon dengan segera menghampiri Taeyeon dan menahan langkah wanita itu. Taeyeon bisa  merasakan tangan kekar Jongwoon melingkar erat diperut rampingnya. Nafas Jongwoon terasa menggelitik tengkuknya. Dalam posisi seperti ini Taeyeon dapat merasakan dadanya bergemuruh keras.

Jongwoon mendesahkan nafasnya, sambil meletakkan kepalanya dibahu Taeyeon. Membuat gadis itu merasa dirinya akan gagal jantung sebentar lagi. “Tak adakah yang ingin kau ucapkan padaku? Atau jelaskan,  mungkin?” Tanya Jongwoon lirih.

Taeyeon mengernyit di tengah kegugupannya. “A—Aku rasa tidak.” Ucapnya berusaha agar terdengar tegas.

“Kalau begitu, beri aku waktu sebentar saja untuk berbicara. Aku mohon dengarkan aku.” Sekali lagi Jongwoon mendesahkan nafasnya, cukup berat. Taeyeon hanya terdiam.

“Maafkan aku, Taeyeon-ah. Aku sudah terlalu sering menyakitimu, mengataimu tanpa memberikan Hyoyeon dan dirimu kesempatan untuk menjelaskannya. Aku sadar aku dibutakan oleh obsesi cinta lamaku pada Sooyoung serta emosiku. Maaf juga aku langsung menyangka kalau Oppa serta keponakanmu adalah suami serta anakmu. Sungguh itu semua terjadi begitu saja tanpa membiarkan otakku berpikir jernih.”

Jongwoon semakin mengeratkan pelukannya. Menciumi harum Taeyeon secara rakus, seakan ia tak bisa bernafas tanpa mencium wangi Cherry Blossom dari wanitanya itu. “Aku tahu ucapanku akan terdengar gombal dan mengada-ada. Tapi tahukah kau Taeyeon-ah? Ketika mendapati kenyataan kau pergi begitu saja terlebih setelah mendonorkan sebelah ginjalmu untuk Tiffany, aku benar-benar merasa hancur. Dan ketika Hyoyeon menjelaskan semuanya padaku aku mengutuki kebodohanku yang berakibat menghancurkan diriku sendiri.”

“Sejujurnya aku ingin mencarimu sejak awal. Tapi karena aku harus pindah untuk sementara waktu ke Jerman, aku hanya bisa mengumpulkan informasi tentang keberadaanmu dengan merecoki Hyoyeon. Dan ketika tiba saatnya untukku menemuimu, aku justru mengacaukan segalanya dengan spekulasiku ini. Ya, harus aku akui sifat tak sabaran dan bodohku ini memang sangat menyebalkan.”

Taeyeon menghela nafas pelan, berusaha menetralisir perasaan yang tengah berkecamuk riuh. Ia menundukkan kepalanya, berusaha keras mencoba menahan bludakan air mata yang senantiasa siap mengeluarkan dirinya dari tempat persembunyiannya. Kedua tangannya terangkat menyentuh kedua tangan Jongwoon yang merengkuhnya erat dan berusaha melepaskannya.

“Jika kau kembali mencintaiku hanya karena kau merasa kasihan padaku, aku bisa pastikan padamu aku baik-baik saja. Jadi berhentilah mengasihaniku, Jongwoon-ssi.” Ucapnya dengan suara yang bergetar.

Ucapan Taeyeon membuat Jongwoon sedikit terperangah hingga membuatnya tanpa sadar melonggarkan pelukannya dipinggang wanita itu. Taeyeon yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langsung melepaskan pelukan pria itu secara paksa dan hendak melangkah meninggalkan pria itu. Jongwoon dengan segera menarik tangan Taeyeon dan mendorongnya hingga tertidur diatas tempat tidur. Taeyeon ingin berontak namun tenaga Jongwoon sangatlah kuat. Jongwoon menindih Taeyeon. Nafasnya terdengar menderu menerpa wajah Taeyeon. Taeyeon? Gadis itu sudah menutup rapat-rapat matanya. Meskipun kakinya sudah menerjang-nerjang berontak minta dilepas, Jongwoon tak juga mau melepaskannya.

“Mengapa sifat keras kepalamu ini tidak berkurang hah?!” Ujar Jongwoon sedikit membentak  dengan matanya yang sudah nampak merah dan berkaca-kaca.

“Apa menurutmu semenyedihkan itu diriku? Mencintaimu karena mengasihanimu, eoh?” Tambah pria itu dengan suaranya yang tercekat dan terdengar bergetar.

Dengan takut Taeyeon membuka matanya pelan hingga matanya bertemu dengan mata Jongwoon. Mata yang sangat ia rindukan. Ia mencoba menatap bola mata Jongwoon sedalam yang ia bisa. Mencoba mencari-cari kebohongan yang nyatanya sama sekali tidak bisa ia temukan pada mata pria itu.

“Kau tahu? Kita berdua sama. Sama-sama menyiksa diri serta hati kita. Aku tahu kau masih mencintaiku, Taeyeon-ah. Begitupun denganku.”

“A—apa m-mak—”

“Kalau kau sudah melupakanku, kau pasti tidak akan menyimpan cincin pemberianku itu dan mungkin kau membuangnya.”

Taeyeon tak berkutik. Ia akui ucapan pria itu adalah kunci dari semuanya. Ia memang masih menyimpan cincin itu karena rasa cintanya pada pria itu. Tapi sungguh, terlalu berat baginya untuk memikirkan semua ini apalagi mengakuinya.

“Cukup Jongwoon-ssi! Berhentilah berbicara sesukamu dan—”

Mata Taeyeon mendadak terbelalak lebar ketika Jongwoon sudah lebih dulu melumat bibirnya dengan dalam dan kasar. Taeyeon ingin sekali berteriak namun ia merasakan emosi dalam ciuman Jongwoon. Mata Taeyeon terpejam takut, kedua tangannya memukul dada pria itu bertubi-tubi dan kedua kakinya menerjang kesana kemari, tapi Jongwoon tidak peduli dan masih menciumi wanita itu. Taeyeon merasakan basah pada pipinya. Tunggu, ia memang tidak terima dengan perlakuan pria itu dan ingin menangis. Tapi sungguh ia berani bersumpah itu bukanlah air matanya.

Taeyeon memaksakan diri membuka matanya. Air mata itu bukanlah miliknya, melainkan milik Jongwoon yang masih menciumnya dengan dalam. Perlahan kaki Taeyeon yang sejak tadi berontak melemas dan terkulai begitu saja, tangannya yang sejak tadi memukuli dada dan bahu Jongwoon  perlahan berhenti dan justru menelusuri dada, tengkuk hingga akhirnya melingkar semua di leher pria itu. Matanya yang terbelalak tadi kembali menutup rapat dan ia berusaha membalas ciuman Jongwoon.

Kini pertahanan Taeyeon runtuh begitu saja. Ia mengeratkan pelukannya pada leher Jongwoon, membiarkan lelaki itu menciuminya sambil menangis.  Jongwoon melumat bibirnya lembut lalu beralih menjadi ciuman yang sangat menuntut. Baik Taeyeon maupun Jongwoon meluapkan seluruh kerinduan mereka lewat ciuman ini. Di detik berikutnya, nafas keduanya tersengal hingga Jongwoon memutuskan untuk melepaskan perpagutan bibirnya dengan Taeyeon. Taeyeon menyadari pria itu tengah melemparkan tatapan tajam pria itu padanya sehingga ia balik menatap mata pria itu dalan-dalam.

Perlahan tatapan Jongwoon berangsur-angsur berubah sendu. “Kim Taeyeon, sekarang aku memberimu kesempatan. Kau boleh menolakku ataupun kembali menerimaku. Dan aku ingatkan padamu, sekali kau menerimaku kembali, aku tidak akan melepasmu, Taeyeon-ah. Jadi apakah kau akan memberiku kesempatan?”

Taeyeon menatap pria itu lembut dan intens. Ia bisa merasakan ketulusan yang luar biasa terpancar dari mata tajam yang sangat ia rindukan itu. Kini kedua tangannya menangkup wajah Jongwoon tanpa melepaskan tatapannya pada pria itu. “Aku akan menjawabnya, dan pastikan bisa mencerna jawabanku, Kim Jongwoon.”

Taeyeon menarik wajah pria itu hingga hidung keduanya sudah menempel satu sama lain. “Aku mencintaimu, Kim Jongwoon.” Ucap gadis itu cepat, bahkan sangat cepat hingga Jongwoon tidak mendengarnya dengan jelas. Belum sempat kata-kata Taeyeon dicerna dengan baik oleh otaknya, wanita itu sudah lebih dulu membuatnya terkejut dengan ciumannya. Dan perlu dicatat dalam otraknya, ini kali pertama Kim Taeyeon menciumnya lebih dulu.

Jongwoon menyeringai di tengah ciumannya. “Pastikan kau tak menyesal dengan jawabanmu, Nona Kim. Karena aku benar-benar tidak akan melepasmu.” Ucap Jongwoon sebelum akhirnya mengambil alih memimpin  ciuman mereka  menjadi menuntut, mendesak, sama sekali tak mengizinkannya berhenti sampai disini.

TBC

Hai Reader….. Jujur aja saya ngomong, saya takut banget ngepost part ini. Saya takut para reader akan bosan karena tulisan saya yang terlalu panjang dan terkesan bertele-tele. Maaf juga jika part ini tak ada yang istimewa dan gak sesuai sama yang kalian harapkan karena jujur aja saya masih pemula dan belum memiliki kemampuan untuk mengaduk-aduk perasaan reader sekalian dengan tulisan saya. Oh ya saya ucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya pada para reader atas komennya, dan maaf saya ga bales satu per satu karena saya ingin lihat berapa komen yang bisa saya dapatkan diluar balasan komen saya. Dan saya sangaaaaaat menghargai komen reader sekalian. /bighug/flyingkiss/

Mungkin reader udah bisa nebak part selanjutnya adalah final chapter dari ff ini. Jika masih memungkinkan saya akan buat jadi satu part tapi jika tidak mungkin saya jadikan jadi a dan b. Karena komen sebelumnya sudah sempat mencapai 60 komen saya masang komen minimal 60 komen untuk part ini buat ngetik part selanjutnya. Sekian dan sekali lagi saya ucapkan terimakasih sudah membaca. /bow/

Leave a comment