[12] Blind in Love

  • FF-Poster-BlindinLove

Title : Blind In Love (Chapter 12) || Author : Anissa A.C  || Rate : PG-16 || Length : Chapter || Genre : Romance, Family and Friendship || Cast’s : Kim Taeyeon [GG],  Kim Jongwoon [SJ], Kim Hyoyeon [GG], Cho Kyuhyun [SJ],  Tiffany Hwang [GG]  || Disclaimer : Terinspirasi dari berbagai lagu, novel, drama dan ff lain.

 

Sometimes memories makes you blind. You keep thinking it’s just a shadow. Until you realize,you’re already in love.

Suara gaduh itu berasal dari mesin karaoke yang menggema seantero ruangan. Sangat berisik. Beberapa orang sibuk menari mengikuti lagu yang dinyanyikan sekelompok gadis yang saling berebutan mic untuk mengambil alih bagian bernyanyi.   Sedangkan yang lainnya sedang bersenda gurau, saling mengobrol , dan ada juga yang memilih untuk berdiam diri, duduk mematung tanpa sedikitpun menikmati pesta kecil-kecilan  itu.

Kim Taeyeon hanya  menghela nafas pelan. Sesekali ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Bosan, sekaligus gusar, karena tak satupun orang yang mengajaknya ngobrol saat ini. Semua sibuk bernyanyi, berjoget konyol  menirukan gaya girband atau boyband yang saat ini sedang booming. Padahal saat itu ia benar-benar butuh teman untuk mengobrol untuk sekedar mengurang kekacauan yang sedang melanda pikirannya.

Kalau saja Sungmin dan Sunkyu tidak menagih janjinya untuk datang ke pesta yang disebut mereka sebagai syukuran ini, pasti ia tidak harus menjadi gadis kesepian di pojokan seperti saat ini. Dan kini Taeyeon hanya bisa menatap sedih pada sofa di hadapannya yang beberapa saat lalu di duduki oleh Yoona. Ya, setidaknya gadis usil itu menemaninya untuk beberapa saat sebelum akhirnya meninggalkan Taeyeon untuk berkencan dengan kekasihnya.

Dengan tatapan redup, Taeyeon memandang gelas berisikan cairan keemasan di hadapannya. Bir. Taeyeon memang wanita yang dapat  dikategorikan buruk dalam minum dan tentu saja,  ia sangat asing dengan minuman-minuman berakohol itu. Dan entah mendapat dorongan dari mana, ia ingin sekali meminum bir itu dan berharap bisa melupakan segala masalahnya untuk malam itu.

Taeyeon menegak minuman itu dalam sekali tegak. Meskipun menurutnya rasa minuman itu cukup aneh, sama sekali tidak terbesit di benaknya keinginan untuk memuntahkan minuman itu. Dalam sekejap ia merasakan tubuhnya dialiri oleh sesuatu yang asing. Bersamaan dengan rasa itu, ia memejamkan matanya berusaha mengumpulkan semua fakta  masa lalu yang selama ini hanya menari-nari didalam pikirannya dalam wujud bayangan semata. Tetapi sepertinya yang ia lakukan sia-sia. Gambar-gambar itu tak pernah muncul, dan yang ia ingat kala itu hanya kegelapan dan suara-suara yang menemaninya kala itu.

“Pembunuh? Pembawa sial? Semengerikan itukah diriku?” Ucapya mendesah gusar sambil memandang botol bir dihadapannya yang kini terisi setengahnya.

Dituangkannya kembali cairan emas itu dari botolnya ke dalam gelasnya. Dan sama seperti tadi, ia langsung meminum minuman itu dalam sekali tegak. Tanpa perlu menunggu lama, sepertinya minuman itu kembali bereaksi. Rasa sakit kepala kini datang menyerangnya. Jangan tanyakan dirinya karena apa. Ia sendiri tak tahu apakah masalahnya atau minumannya yang membuat kepalanya terasa berat dan kini ia merasakaan pandangannya mulai mengabur. Dan meskipun saat itu ia dalam posisi terduduk,  ia dapat merasakan kakinya benar-benar terasa lemas sekarang. Perlahan, ia merasakan kelopak matanya terasa berat dan setelah itu semuanya terasa gelap untuk gadis itu.

*****

Dengan perasaan yang tak karuan, Kyuhyun memakirkan mobilnya di parkiran sebuah gedung karaoke. Beberapa saat yang lalu, ia mendapat panggilan dari teman Taeyeon yang bernama Sunkyu yang mengatakan gadis itu kini dalam keadaan tak sadarkan diri karena mabuk. Dan benar saja, ketika ia tiba di ruangan karaoke yang di maksud Sunkyu, ia menemukan gadis itu dalam keadaan yang begitu kacau. Rambutnya acak-acakan dan kepalanya ia benamkan di kedua tangannya yang terlipat. Di dekatnya terdapat sebuah botol bir yang sudah hilang tiga perempatnya dan sebelah tangannya masih menggenggam gelas bir yang sedari tadi menemaninya.

“Taeyeon-ah.” Ucap pria itu lirih sambil memandangi gadis di hadapannya dengan nanar.

Tanpa menunggu lama Kyuhyun sudah memposisikan dirinya berjongkok di dekat gadis itu. Dan dengan bantuan Sunkyu, gadis itu kini telah berada di punggung Kyuhyun dan mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu. Sementara tas gadis itu, sudah terselempang di tubuh Kyuhyun.

“Maafkan aku Kyuhyun-ssi, aku benar-benar tidak tahu akan jadi seperti ini. Niatku baik, hanya ingin mengajaknya untuk merayakan kesuksesan kami terlebih dirinya. Maafkan juga aku jadi merepotkanmu seperti ini, karena namamu lah yang terletak di paling atas di daftar panggilan, sehingga aku tak memiliki pilihan lain.” Sesal Sunkyu.

“Gwenchana Sunkyu-ssi, ini memang bukan salahmu. Taeyeon memang sedang banyak masalah saat ini dan untukku sendiri, tak pernah ada kata repot untuk gadis ini.” Balas Kyuhyun sambil tersenyum tulus.

“Kalau begitu pulanglah. Jagalah Taeyeon, Kyuhyun-ssi.”

“Tentu saja Sunkyu-ssi, kau bisa mempercayainya padaku.”

Kyuhyun membaringkan Taeyeon di ranjangnya begitu ia tiba di flat gadis itu. Tak lupa ia melepaskan sepatu yang masih dikenakan Taeyeon dan menyelimuti gadis itu. Sesaat ia memandangi gadis yang selama ini sangat ia cintai. Rambut panjang Taeyeon nampak awut-awutan, pipinya yang agak tembam kini nampak lebih tirus, dan terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. Perasaan bersalah dan penyesalan kini menyelimuti hatinya. Memang benar, penyesalan selalu datang di akhir.

Perlahan Kyuhyun mendudukkan dirinya di sisi ranjang gadis itu. Sebelah tangannya meraih tangan kiri gadis itu lalu digenggamnya erat-erat.

“Taeyeon-ah…. Maafkan aku…” Lirih Kyuhyun bersamaan dengan air mata yang kini mengalir dari matanya.

“Aku terlalu emosi dan egois kala itu. Maafkan aku. Aku benar-benar sudah menghancurkan hidupmu Taeyeon-ah tanpa memberimu kesempatan untuk sekedar mengerti semua masalah yang kau hadapi. Maafkan aku…”

Tangisan pria itu semakin menjadi-jadi. Melihat keadaan Taeyeon yang begitu kacau, hatinya ikut terasa hancur. Dan saat itu pula ia benar-benar menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi.

*****

Tiffany baru saja keluar dari toilet. Wajahnya memang nampak pucat dan jauh lebih kurus dari sebelumnya, namun semua itu belum cukup untuk menghapuskan kecantikannya, terlebih keindahan matanya. Ia melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju ranjangnya. Tangan kanannya sedikit terangkat, memastikan aliran infusnya mengalir lancar. Sementara tangan kirinya mendorong tiang penggantung kantong infus itu dengan telaten.

Belum jauh ia melangkah, tiba-tiba serangan yang tidak asing itu kembali menyerangnya. Kali ini Tiffany merasakan  serangan itu jauh lebih sakit dari biasanya. Tangannya yang sedari tadi mendorong tiang penggantung infus kini beralih mencengkeram punggungnya. Matanya terpejam menahan sakit. Tubuh gadis itu jatuh terduduk hingga menyebabkan tiang penggantung infus di dekatnya ikut terjatuh hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Akibatnya, infus yang tertancap di punggung tangannya sedikit tertarik dan menyebabkan aliran infusnya terhambat. Tak hanya itu, bahkan dengan pandangannya yang kian memburam, Tiffany bisa melihat darahnya naik ke dalam selang infus dan terus bergerak naik menuju kantong infus. Dengan harapan ada seseorang yang menolongnya, Tiffany terus mencengkeram bagian punggungnya dan merintih kesakitan. Bulir demi bulir berjatuhan membasahi pipinya dan bercampur dengan keringat dingin yang mengalir dari pelipisnya.

Beberapa detik kemudian, samar-samar ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka dan saat itu juga ia menyadari seseorang meneriakkan namanya sebelum ia terkapar dalam keadaan tak sadarkan diri.

*****

“Apa tak ada jalan lain, Hyung?” Ucap Jongwoon dengan suara yang datar dan wajah yang muram.

“Aku juga berharap ada jalan lain Jongwoon-ssi, tapi pada kenyataannya penyakit Nona Hwang semakin berkembang setiap harinya, kau lihat sendiri, bahkan kaki dan tangannya sudah mengalami pembengkakan,  dan donor ginjal adalah satu-satunya jalan yang dapat menolongnya saat ini.” Jelas seorang dokter yang kini duduk di hadapan Jongwoon.

Jongwoon mendesah geram. Ia benar-benar sudah tak bisa berpikir normal saat itu. Masalah yang silih berganti mendatanginya benar-benar membuatnya merasa muak akan hidupnya saat ini.

“Jungsoo Hyung, berapa persen kemungkinan Stephanie akan sembuh dengan jalan pencangkokan ginjal.”

“Jongwoon-ah, masalah hidup ini semua ada di tangan Tuhan. Aku tak bisa memberimu kepastian karena aku takut ketika semuanya justru berjalan berbanding terbalik dengan yang kita harapkan, kau justru akan menyalahkanku. Kau sendiri sebagai dokter pasti tahu, selama organ itu memiliki syarat yang memenuhi dan tingkat kecocokan yang tinggi, operasi pencangkokan itu bisa dilakukan. Tapi semua itu tetap bergantung pada tubuh yang bersangkutan. Apakah tubuh itu bisa menerima organ tersebut atau justru memberikan reaksi penolakan.”

Kini mata pria itu memandang lurus ke depan. Bukan menatap dokter bernama Jungsoo itu, melainkan menatap lurus entah kemana, atau sebut saja menatap kosong ke depan. Kala itu ia merasakan kepalanya akan segera pecah, dan ia justru berharap detik itu juga kepalanya pecah sehingga ia tak perlu lagi menampung semua masalah yang berpotensi membuatnya gila.

“Baiklah, aku akan mengabarinya terlebih dahulu pada kedua orang tua Stephanie.”

*****

Gadis itu sudah membuka matanya sejak beberapa saat yang lalu. Kini ia hanya menatap kosong langit-langit kamarnya sambil otaknya berkelana kesana kemari.

 Mengingat bagaimana tadi Kim Jongwoon meneriakkan namanya sebelum ia jatuh pingsan, membuatnya sadar jika satu bulan ini pria itu memang selalu ada bersamanya. Pria itu benar-benar mencurahkan  perhatian dan kasih sayangnya kepada dirinya, dan bukankah hal itu yang ia inginkan? Terlebih selama sebulan ini pria itu juga tidak pernah membuka mulutnya untuk sekedar membahas  ‘gadis yang membuatnya jatuh cinta’ seperti sebelum-sebelumnya. Lantas, mengapa ia harus merasa aneh seperti saat ini?

Lama ia melamun bunyi derit pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya kepada sosok yang baru saja membuka pintu. Sosok yang sedang berseliweran di otaknya saat ini, siapa lagi kalau bukan Kim Jongwoon. Wajah pria itu nampak kusut, dan itu tidak membuat Tiffany heran karena memang sebulan ini pria itu lebih sering nampak kusut dan tak bersemangat. Yang membuat Tiffany heran adalah, mengapa wajah pria itu memancarkan kecemasan yang tak biasa?

“Bahkan wajahku yang sakit saja masih lebih cantik dibandingkan wajah sehat dan bugarmu itu, Kim Jongwoon.” Sindir gadis itu dan sukses membuat pria itu menyunggingkan senyuman tipis namun sarat akan kepahitan.

“Apa kau baik-baik saja? Lebih baik kau beristirahat, berhentilah mengoceh seperti anak kecil.”

“Ck, apa kau ada masalah? Tidurku tak tenang jika sebelum tertidur aku disuguhkan muka lunglai dan jelekmu itu.”

“Sudahlah, bukankah aku sudah bilang berhenti—”

“Apa kata dokter tadi?” Potong Tiffany yang sukses membuat Jongwon memelototkan matanya tak percaya.

“Untuk apa kau bertanya hal-hal seperti itu sementara hari sudah larut. Istirahatlah, dan kau akan ba—”

“Aku tak mungkin baik-baik saja jika wajahmu menyaratkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi padaku, Oppa.” Gadis itu berucap lirih. Namun di setiap katanya, nada sinis itu selalu menyertainya.

Ucapan gadis itu membuat Kim Jongwoon diam seribu bahasa. Mulutnya terlalu kelu untuk sekedar menanggapi ucapan sinis sahabatnya itu. Ada perasaan tak tega yang menghinggapi hatinya hingga memaksanya untuk tidak mengatakan keadaan gadis itu yang sebenarnya. Tapi disisi lain, bukankah sebuah kebohongan lambat laun akan terbongkar dan akan membuat orang yang dibohongi akan merasa lebih sakit?

“J-Jongwoon Oppa,” panggil gadis itu lirih.

“Hm?”

“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”

Jongwoon menatap sahabatnya itu dalam lalu menganggukkan kepalanya pasrah.

“Aku, dimatamu…  Apa sebenarya aku di matamu?”

Jongwoon melebarkan matanya mendegar pertanyaan Tiffany yang tak biasa untuknya.

“Tentu saja kau sahabatku, kau bahkan sudah ku anggap adikku sendiri.” Jawab Jongwoon jujur.

“Jadi perhatianmu selama ini, hanya sebatas perhatian seorang kakak kepada adiknya? Apakah tidak bisa sekali saja kau menganggapku sebagai seorang…. wanita? Dan tentunya, m-mencintaiku…”

“S-steph…”

Tiffany balas menatap Jongwoon. Mata gadis itu nampak memerah, tapi sepertinya sebisa mungkin ia tak membiarkan tangisannya pecah di hadapan pria itu.

“Melihat sikapmu mengacuhkan Taeyeon hari itu dan mengingat bagaimana kau selalu ada untukku selama satu bulan ini rupanya berhasil membuat otakku ini berkhayal terlalu tingggi. Namun entah mengapa, hati kecilku seolah berkata sepertinya kau sedang memiliki masalah dengan gadis itu, dan aku hanya p-pelari-anmu…”

Jongwoon tersentak kaget mendengar ucapan sahabatnya itu. Hanya dalam beberapa rangkaian kata, hati pria itu terenyuh mengetahui perasaan sahabatnya itu kepadanya. Namun,  sisi terdalam hatinya seolah tertohok oleh setiap kata yang dilontarkan Tiffany. Cukup berat memang untuk Kim Jongwoon menerima ucapan gadis itu. Namun disisi lain, ia sadar ucapan gadis itu tidak sepenuhnya salah dan memang ada benarnya.

“Stephanie..”

“Ssst, sudahlah Oppa, aku ingin beristirahat sekarang. Pergilah. Aku mohon.”

Mendengar permintaan gadis itu, Jongwoon hanya bisa menghela nafas berat dan menganggukan kepalanya.

“Baiklah, kalau begitu, selamat malam.” Ucap pria itu lalu berlalu meninggalkan Tiffany sendiri di kamarnya.

Seperginya pria itu, air mata Tiffany tak terbendungkan lagi. Kini air matanya meluap mewakili setiap perasaan sakit yang mendera hatinya.

*****

Hyoyeon melirik arlojinya dengan detak jantung yang tak beraturan.  Wajahnya nampak gugup dan dipenuhi guratan kekhawatiran. Sesekali ia akan menyesap Vanilla Latte di hadapannya untuk sekedar meredam rasa itu, tapi sepertinya hasilnya tidak terlalu signifikan.

Lama ia sibuk dengan pemikirannya, ia merasakan sebuah tangan menepuk pundaknya yang kontan membuatnya menolehkan kepalanya dan mendapati sosok yang di tunggunya sejak tadi.

“K-Kyuhyun-ah…”

“Apa kau sudah terlalu lama menunggu?” Ucap pria itu sambil duduk dihadapan Hyoyeon.

“Tidak lama, hanya dua puluh menit.” Ucapnya sambil tersenyum kaku dan dibalas anggukan paham dari Kyuhyun. “Kau ingin minum apa? Lebih baik kau memesannya sekarang.”

“Tidak, kita langsung saja pada topik pembicaraan kita. Apa kau tahu apa  yang akan kita bicarakan saat ini?”

Hyoyeon mendegut ludahnya berusaha membunuh kegugupannya. Bodoh rasanya jika ia tidak tahu penjelasan apa yang akan diminta Cho Kyuhyun darinya. Sambil berusaha mengatur degupan jantungnya, Hyoyeon berusaha berpikir titik awal dari cerita yang akan ia buka pada pria ini.

“Aku tak akan munafik Kyuhyun-ah. Aku sudah kehilangan lembaran-lembaran buku harian Sooyoung yang aku simpan di gudang, jadi tentu saja aku tahu topik yang kau ingin aku ulas saat ini.”

Kyuhyun menganggukkan kepalanya paham. “Baiklah, aku tak butuh basa-basi yang berkepanjangan. Jadi, bisakah kau buka kembali kisah kedua wanita yang sudah kau tutup rapat-rapat selama tujuh tahun ini?” Ujar Kyuhyun lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan memasang ekspresi  bak penculik yang akan memeras korbannya.

“Aku tak bisa menceritakan secara detil awal pertemuan mereka hingga akhir hidup Sooyoung. Kau pasti sudah membaca lembaran-lembaran itu, kau bisa tanyakan bagian mana yang tak kau mengerti.”

Dahi Kyuhyun mengkerut. Namun tak sampai beberapa detik ia mengembalikan ekspresinya menjadi datar. “Baiklah jika itu maumu. Kalau begitu ceritakan aku apa yang menyebab Sooyoung merasa bersalah pada Kim Taeyeon hingga ia mendonorkan matanya untuk Taeyeon dan merelakan nyawanya untuk gadis itu. Padahal jelas-jelas menurut buku harian Sooyoung, Taeyeonlah penyebab kecelakaan mobil Jongwoon dan Sooyoung, bukan?”

Hyoyeon kembali mendegut ludahnya. Kali ini ia merasa aneh, karena tenggorokannya terasa tercekat dan nafasnya seolah-olah tertahan karena pertanyaan pria di hadapannya itu.

‘Sepertinya aku memang harus menghadapi kenyataan sejak saat ini. Dan membuka fakta masa lalu kedua wanita itu.’

Kyuhyun berdeham, seolah meminta Hyoyeon untuk kembali ke alam sadarnya dan menjawab pertanyaannya.

“Sebelum aku menjawabnya, ada satu hal yang harus kau ketahui, Cho Kyuhyun.” Ucap Sooyoung lalu mengatur nafasnya. “Sooyoung, ia tidak meninggal karena kecelakaan itu. Ia juga tidak meninggal karena memilih untuk mendonorkan matanya kepada Taeyeon.”

“Lalu?”

“Ia memiliki penyakit tumor rahim yang bahkan aku sendiri baru mengetahuinya di detik-detik terakhir hidupnya.”

Dahi pria itu mengerut,  mulutnya ternganga dan rahang pria itu mengerasa. Tubuhnya mematung seolah nyawanya sudah pergi meninggalkan raganya. Tangan pria itu mencengkeram kuat pinggiran meja, menunjukkan ada ketegangan yang menderanya karena ucapan Hyoyeon.

“Tumor rahim?” Ulang Kyuhyun memberikan penekanan pada kedua kata itu.

“Ya, benar. Tumor rahim. Tak ada seorangpun yang mengetahui penyakitnya itu, bahkan Jongwoon Oppa sekalipun.”

“Apa maksudmu?”

“Ia mengandung Taewoon dengan penuh perjuangan melawan rasa sakit dari penyakitnya itu. Ia memilih untuk mempertahankan kandungannya karena itu adalah wujud rasa cintanya untuk Jongwoon Oppa dan wujud rasa terimakasihnya untuk Taeyeon.”

 “Rasa terimakasih? Untuk Taeyeon?” Tanya Kyuhyun dengan kebingungan yang kian menjadi-jadi.

“Apa kau tahu, Kim Taeyeon pernah mengalami kebutaan kurang lebih, untuk empat bulan lamanya?” Tanya Hyoyeon balik dan dibalas anggukan berat oleh Kyuhyun.

“Ia mengalami kebutaan karena melindungi Sooyoung yang saat itu tengah hamil  dari serangan penculik yang sedang mabuk. Ketika penculik itu hendak melayangkan botol bir pada Sooyoung yang nyaris tak berdaya, Taeyeon menghalanginya dan membiarkan dirinya yang terluka hingga mengalami kebutaan. Karena itulah Sooyoung merasa berhutang kepada wanita itu. Dan untuk kecelakaan Jongwoon dan Sooyoung, bagaimana mungkin kau menyalahkan gadis yang bahkan tak dapat melihat keadaan sekitarnya.”

‘Bodoh!’ Itulah umpatan yang pertama kali terlintas dibenak Cho Kyuhyun. Dan saat ini juga, ia hanya bisa merutuki kebodohannya. Karena keegoisan dan rasa cemburunya, gadis yang sangat ia sayangi dan lindungi itu harus menjadi korban dan memikul beban batin yang seharusnya tak ia tanggung. Dan tragisnya lagi, semestinya gadis itu yang diagungkan dalam kasus ini.

“Cho Kyuhyun!” Panggil Hyoyeon setengah berteriak yang sukses membuat pria itu tersentak. Mendengar cara wanita itu menyerukan namanya, Kyuhyun yakin sekali jika dirinya sudah terlalu lama berdebat dengan alam pikirannya.

“Kau mendengarkan penjelasanku?”

Kyuhyun menghela nafas panjang lalu membuang tatapannya ke sembarang arah. Bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana harus menjelaskan kekacauan yang telah ia perbuat kepada sahabatnya itu.

“Aku yakin sekali, Jongwoon Oppa sudah kau serang dengan berbagai spekulasimu itu kan?”

Tepat sasaran! Kini Kyuhyun hanya bisa mengalihkan pandangannya itu pada sahabatnya dengan penyesalan dan kerisauan yang sangat jelas terpancar dari matanya.

“Hyo…” Lirih Kyuhyun dengan suara yang bergetar.

“Aku tahu, cepat atau lambat kisah ini akan membuat masalah dan harus aku buka.”

“Maafkan aku…”

“Tak ada yang harus disalahkahkan disini.” Balas Hyoyeon dengan wajah yang tak kalah kusut.

“Kau adalah kunci dari masalah ini Hyo…”

****

“Anda bisa meminta Dokter Park untuk membacakan hasil test anda siang ini, Dokter Kim.” Ucap seorang perawat yang bertugas di laboraturium rumah sakit pada Jongwoon yang baru saja menjalani tes kecocokan ginjalnya dengan ginjal Tiffany.

“Baiklah kalau begitu. Setelah jam praktikku usai, aku akan mendatangi Jungsoo Hyung.” Balas Jongwoon seraya melangkahkan kakinya menuju pintu laboraturium itu.

“Ne, Dokter Kim.” Ucap Suster itu sebelum akhirnya pria itu menghilang dibalik pintu.

Kedua kaki Kim Jongwoon, melangkah dengan berat menuju sebuah kamar perawatan tempat putranya di rawat. Begitu ia membuka pintu kamar putranya itu, ia mendapati putra semata wayangnya itu tengah asyik mengutak-atik psp-nya. Bahkan saking asyiknya, sepertinya bocah itu tak menyadari keberadaan ayahnya.

“Boy, How was Your day?”

Bocah itu mendelikkan matanya dari pspnya pada ayahnya yang baru saja memasuki ruangan itu. “Uh, So bad. I really miss my friend and my school. And I feel so bored, dad. ” Keluh bocah itu dengan wajah yang menggemaskan.

Jongwoon terkekeh geli melihat tingkah putranya itu. “Jadi, dimana Halmeonimu?”

“Pergi keluar sebentar, katanya nenek sangat menginginkan samgyeopsal.” Jawab bocah itu sambil kembali memfokuskan pandangannya pada layar pspnya.

Jongwoon hanya membulatkan mulutnya sambil menganggukkan kepalanya paham. Sedetik kemudian, pria itu sudah melangkahkan kakinya menuju sudut ruangan, lalu mendudukkan dirinya disana sambil membaca koran hari itu.

“Dad,” Panggil bocah itu sambil kembali mengalihkan perhatiannya dari pspnya.

“Hm?” Jawab Jongwoon tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya.

“Aku merindukan seseorang.”

“Nugu? Hyoeun?”

“Anio.”

“Eomma?” Tanya Jongwoon sambil mengangkat kepalanya sekilas.

Taewoon nampak memikirkan ucapan ayahnya sejenak. “Hm, aku merindukan eomma. Tapi, saat ini aku sangat merindukan seseorang yang nyata, Daddy.”

“Lalu siapa orang itu?”

“Taeyeon Sonsaeng.”

Kini pria itu benar-benar mengangkat kepalanya, menatap putranya itu dengan tatapan kosong. Seketika ucapan putranya itu membuatnya membatu dan menyadarkannya akan sesuatu.

“Kau merindukannya meskipun ia yang menyebabkanmu seperti ini?”. Tanya Jongwoon dengan raut wajah yang nampak tak peduli.

“Daddy menyalahkan Taeyeon Sonsaeng?”

“Bukannya dia memang bersalah?”

“Daddy…” Lirih Taewoon. “Mianhae…”

Jongwoon meletakkan korannya lalu beranjak mendekati putranya itu. “Mengapa Taewoonie meminta maaf? Bukannya kau tak bersalah?”

Mata bocah itu kini nampak berkaca-kaca. Perlahan wajah imut bocah itu sudah bersemu merah, menandakan air mata akan silih berganti turun dari matanya. “Aku mengikuti Taeyeon sonsaengnim diam-diam. Bahkan dia tidak tahu aku mengikutinya, daddy. Seharusnya daddy berterima kasih pada Taeyeon sonsaengnim karena ia membawaku ke rumah sakit.” Ucap bocah itu terisak.

Jongwoon terbelalak. Mulutnya ternganga dan matanya menyiratkan ketidak percayaan akan ucapan anaknya itu. Baru saja beberapa hari yang lalu ia memaki-maki gadis itu seolah-olah gadis itu bersalah penuh terhadap kecelakaan putranya, dan kini pengakuan putranya itu sukses membuatnya ingin memutar waktu, kembali ke hari itu, dan mengucapkan rasa terimakasihnya. Tak hanya itu, jika saja ia lebih bisa mengendalikan dirinya kala itu, setidaknya kemarahannya pada gadis itu tidak akan menjadi-jadi seperti saat ini.

“Dad… It’s not Taeyeon Sonsaeng fault.” Ucap bocah itu lagi sambil terisak. Kini kedua tangannya mencangkup dan ia letakkan di depan dadanya, memohon maaf pada daddynya itu.

“Sudahlah, nanti akkan daddy bicarakan dengan Taeyeon sonsaeng. Berhentilah menangis, ne?” Titah Jongwoon pada Taewoon sembari mengelus lembut rambut putranya itu.

*****

Tiffany melangkahkan kakinya menyeruak di antara manusia yang sibuk berlalu lalang di koridor rumah sakit. Semalaman ia menangis, menangisi kisah cintanya dan masa depan kehidupannya yang kini menghantui benaknya  bak bayang-bayang  yang tak jelas kebenarannya. Ia sudah lelah dengan kehidupannya, ia lelah dengan cintanya yang tak kunjung terbalaskan. Ia juga lelah dengan keadaannya. Ia tak seharusnya terbaring lemah di atas ranjang sementara diluar sana banyak anak anak kecil  yang membutuhkannya.

Kini pandangannya menghujam nanar pada salah satu pintu di koridor itu. Pintu ruang praktiknya sebagai seorang dokter anak sebelum ia menghabiskan waktunya terbaring di ranjang dingin rumah sakit. Ia bisa melihat dari celah pintu, seorang suster yang selama ini membantunya bekerja, kini membantu pekerjaan dokter lain yang menggantikannya.

“Aku ingin kembali bekerja seperti sebelumnya.” Ucapnya lirih.

Lama ia mematung menatap pintu ruang praktiknya, kini kakinya kembali melangkah kembali menelusuri koridor rumah sakit itu. Matanya menatap pasrah koridor yang memanjang di hadapannya sambil kembali meratapi nasibnya.

Cukup lama ia berjalan, kini pandangannya seolah terkunci pada satu sosok yang amat dikenalnya. Sosok itu berjalan dengan gontai memasuki sebuah pintu yang Tiffany ketahui sebagai ruang praktik spesialis interna.

“Jongwoon Oppa…” Ucapnya dengan berbagai pertanyaan yang menyelimuti pikirannya.

“Hyung, bagaimana tesnya?” Tanya pria itu sambil mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang berhadapan dengan kursi milik Dokter Park Jungsoo.

Jungsoo menghela nafas berat lalu meraih sebuah amplop yang ia letakkan di atas meja. “Bacalah, aku rasa kaupun mengerti akan hasilnya.” Ucap Jungsoo sambil menyodorkan Jongwoon amplop itu.

Mengingat cara pria itu menghela nafasnya serta raut wajahnya yang menunjukkan kepasrahan, ada perasaan buruk yang menghinggapi pikirannya. Namun Jongwoon berusaha mengusir jauh-jauh perasaan itu. Dengan getaran tak terhindarkan di tangannya, pria itu membuka amplop itu dan membaca isi kertas di dalam amplop tersebut. Matanya terus bergerak kesana kemari, membaca kata demi kata yang terlintas di matanya.

Tingkat kecocokan : 20,7%

Seketika Jongwoon membatu membaca kata bercetak tebal pada bagian bawah kertas itu. Ada rasa tak terima di hatinya. Tapi, apa dengan begitu, semuanya berubah?

“Hyung….”

“Jongwoon, sepertinya kita harus mencari ginjal lain yang mungkin cocok dengan ginjal nona Hwang.” Ucap Jungsoo bijak, sembari menepuk pelan bahu pria di hadapannya itu.

*****

Tiffany melangkah kembali ke kamarnya dengan keputus asaan yang menyeruak batinnya. Perlahan ia merasakan pandangannya nampak buram, air mata telah menggenang di pelupuk matanya dan memaksa dirinya untuk menumpahkannya saat itu juga.

“Tiffany-ssi.” Panggil seseorang padanya. Buru-buru ia mengusap matanya, memastikan matanya tidak nampak berkaca-kaca.

“T-Taeyeon-ssi…” Balas Tiffany sambil membalikkan badannya dan tersenyum tipis.

Taeyeon berjalan mendekati gadis itu dengan senyuman yang tersungging di bibirnya. Tepat ketika Taeyeon sudah berhadapan dengan gadis itu, senyuman dibibirnya seolah sirna, tergantikan dengan kekhawatiran yang datang begitu saja.

“Anda menangis? Apakah ada masalah?” Tanya Taeyeon.

Mulut Tiffany tak sanggup berucap. Detik itu juga, Tiffany berlari dan memeluk Taeyeon. Pertahanannya seketika runtuh, airmatanya turun begitu saja. Setiap butir air matanya seolah turun mewakili perasaan yang tak dapat ia bendung lagi.

“T-Taeyeon….”

“T-Tifany-ssi, kau bisa menceritakannya padaku….” Ucap Taeyeon sambil berusaha menenangkan tangisan Tiffany dengan menepuk pelan punggung gadis itu. Sementara itu, Tiffany menangis sejadinya. Meluapkan segala perasaanya kala itu.

*****

“Minumlah teh ini, Tiffany-ssi. Aku rasa perasaanmu akan terasa lebih tenang setelah meminum teh herbal ini.” Ucap Taeyeon sembari meletakkan secangkir teh herbal di atas meja di samping ranjang Tiffany.

Alih-alih mengatakan terimakasih ataupun berkomentar sesuatu mengenai teh itu, Tiffany menolehkan kepalanya menatap gadis itu. “Taeyeon-ssi..” Panggil Tiffany lirih pada gadis yang kini tengah duduk di kursi yang terletak di sisi ranjangnya.

“Ne, Tiffany-ssi, waeyo?”

“Apa menurutmu orang egois sepertiku masih memiliki kesempatan?”

“Kesempatan?”

“Tentu saja kesempatan untuk hidup, Taeyeon-ssi. Apakah aku masih memilikinya?” Tanya Tiffany lagi dengan suara yang tersendat dan bergetar.

“A-pa yang mem–“

“Aku ingin hidup tanpa terlalu banyak membebani orang-orang di sekitarku, Taeyeon-ssi.” Ucap Tiffany memotong ucapan Taeyeon.

“Maksud anda?”

“Tentu saja aku tak mau terus menerus membebani orang-orang di sekitarku. Khususnya…. Jongwoon Oppa.”

Taeyeon membuka mulutnya dengan takut. “Kim Jongwoon…?”

Tiffany mengangguk kecil. “Ne, Jongwoon Oppa. Melihatnya menangisi sesuatu yang seharusnya tak ia tangisi, terlebih hal itu menyangkut hidupku,membuatku sakit, Taeyeon-ssi.” Tambah Tiffany lagi.

“Hidup anda?”

“Hatiku tersentuh sekaligus sakit ketika melihatnya putus asa dan menangis karena tak bisa mendonorkan ginjalnya untukku.” Jelas Tiffany yang sukses membuat Taeyeon mengangkat kepalanya dan menatap gadis itu tak percaya.

“Meskipun aku tahu betul ia tak pernah memposisikan diriku sebagai wanita yang dicintainya, aku sadar dia memegang ucapannya. Ia benar-benar menyanyangiku bak seorang adik kandungnya sendiri, mencurahkan segala perhatian dan kasih sayangnya. Bahkan ia rela berkorban untukku. Tapi entah mengapa, sepertinya aku memang terlalu sering menyalahartikan kasih sayangnya dan justru menginginkan sesuatu yang berlebihan.”

Taeyeon masih terdiam. Sama sekali tak menanggapi ucapan gadis itu dan sibuk bergulat dengan pemikirannya.

“Satu-satunya hal yang kuinginkan saat ini adalah bisa menjalani kehidupanku dengan normal tanpa harus membebani Jongwoon Oppa lagi. Tapi jika kehadiranku justru akan mempersulit keadaan orang-orang di sekitarku, terlebih keegoisanku yang tak dapat kukendalikan lagi bukankah lebih baik aku pergi saja?”

Percakapannya dengan Tiffany beberapa saat yang lalu benar-benar sukses membuat pikiran Taeyeon yang tengah menelusuri koridor rumah sakit itu kalut setengah mati. Ada perasaan cemburu yang terselip di benaknya ketika kata demi kata yang dilontarkan Tiffany kembali berputar di otaknya. Namun pikiran itu segera ia tepis jauh-jauh ketika otaknya mengingat bagaimana hubungannya dengan pria itu dan bagaimana malangnya nasib Tiffany saat ini.

‘Apakah di saat-saat seperti ini aku masih berhak cemburu pada gadis itu. Hey, Tiffany Hwang adalah sahabatnya sejak kecil, jauh sebelum kau datang ke kehidupan mereka. Sedangkan kau? Kau hanya seorang gadis yang membawa kehancuran untuk hidup pria itu, Taeyeon-ssi.’

Langkah Taeyeon terhenti di depan sebuah ruangan yang bertuliskan ‘Laboraturium’. Ia menatap refleksi dirinya pada sebuah pintu kaca yang menjadi akses untuk masuk ke dalam ruangan itu. Lama ia mematung memandangi bayangan dirinya, tangannya terangkat lalu ia letakkan di dekat matanya. Mata yang menurut Taeyeon tak seharusnya menjadi miliknya.

‘Setelah istrinya mendonorkan mata ini, sekarang ia mendonorkan ginjal? Rupanya ia tak jauh berbeda dengan Sooyoung Eonni meskipun, sepertinya Tuhan tak mengijinkannya.’ Batinnya sembari tersenyum miris.

Taeyeon hanya bisa menghela nafas berat dan berharap airmatanya tak tumpah saat ini juga. Kini pikiraanya kembali berkelana pada masalahnya dengan pria itu. Jika saja ia tahu kehidupannya akan berakhir seperti ini, seharusnya sejak awal dia tidak berurusan dengan Choi Sooyoung. Tapi, bukankah tak ada artinya menyesali masa lalu, jika memperbaiki masa depan jauh bernilai dan berguna?

“Apa mungkin aku bisa melakukan ini?” Ucap gadis itu pelan. “Mungkin dengan begini, aku bisa menebus kesalahanku pada pria itu….”

“Taeyeon-ah.”

Taeyeon menolehkan kepalanya dan mendapati Cho Kyuhyun tengah berdiri di dekatnya dengan sebuket bunga baby’s breath di tangannya. Wajah Kyuhyun menujukkan kekagetan meskipun rasa bersalahnya terhadap Taeyeon masih tak terhapuskan pada wajah pria itu. Dan Taeyeon yang menyadari itu sebisa mungkin tersenyum, tak ingin merusak suasana hari itu.

“Oppa, apa yang kau lakukan disini?” Ujar gadis itu berbasa-basi sambil tersenyum simpul.

“Ah, Eomma memintaku untuk menjenguk putri kolega bisnis mereka yang dirawat di rumah sakit ini. Kau sendiri?”

Taeyeon tersenyum jahil. “Wah, aku yakin wanita itu bukan wanita biasa ya.”

Alis Kyuhyun terangkat heran. “Bukan wanita biasa?”

“Oppa sendiri tadi mengatakan putri kolega bisnis orang tuamu, bukan? Dan aku rasa dia bukan wanita sembarangan jika kau membawakan buket baby’s breath seindah itu.”

Kyuhyun memandang sejenak buket di tangannya lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Jujur saja, aku tak yakin artinya seistimewa itu. Aku hanya meminta florist untuk memberikanku buket bunga yang indah, dan ia memberiku ini.”

Gadis itu tertawa renyah melihat tingkah laku pria yang sudah dianggapnya Oppa selama beberapa tahun belakangan ini. “Baiklah kalau begitu. Aku tak akan menahanmu lebih lama lagi Oppa. Aku pulang dulu, ne?”

Baru saja gadis itu akan berlalu meninggalkan Kyuhyun, langkah gadis itu tertahan bersamaan dengan tangan Kyuhyun yang menahan pergelangan tangannya. Taeyeon menolehkan kepalanya dan mengerutkan keningnya  bingung melihat raut wajah Kyuhyun yang tiba-tiba saja nampak serius. “Wae Oppa?”

“T-Taeyeon-ah… Kau tidak marah padaku?” Tanya Kyuhyun dengan suara yang tersendat dan bergetar.

Gadis itu tersenyum tipis. “Janganlah menyalahkan dirimu, Oppa. Bagaimanapun juga, masalah ini lambat laun pasti terkuak dan aku memang tak bisa menghindarinya. Lagipula, kau sama sekali tidak ada andil dalam masalah ini, Oppa.”

“T-Tapi—”

Tanpa sempat melanjutkan ucapannya, Kyuhyun merasakan sesuatu melingkar di tubuhnya. Gadis itu melingkarkan kedua lengannya di tubuhnya dan memeluknya sejenak.

“Kau tetap merupakan salah satu sahabat terbaikku Kyuhyun Oppa, percayalah.” Gumam Taeyeon.

Taeyeon melepaskan pelukannya lalu tersenyum manis pada pria itu. Jika saja Kyuhyun boleh jujur, perasaan tak rela kini benar-benar memenuhi hati serta pikirannya. Ia benar-benar tak rela gadis itu melepaskan pelukannya begitu saja.

Taeyeon berbalik dan langsung membeku di tempat ketika melihat siapa yang berdiri tak jauh dari mereka.

Kim Jongwoon.

Dan pria itu sama sekali tidak tersenyum ketika ia menatap Taeyeon dengan tajam dan kening yang berkerut.

*****

Melihat Kim Taeyeon yang memeluk Cho Kyuhyun membuat darah Kim Jongwoon mendidih dan ia diserang desakan hebat untuk menyakiti laki-laki itu secara fisik. Ia sadar, ia tak seharusnya memiliki perasaan seperti ini. Bukankah ia yang menganggap gadis itu pembawa sial bagi keluarganya dan meminta gadis itu untuk menjauhi keluarganya? Tapi, mengapa hanya dengan melihat gadis itu memeluk pria lain otaknya mendadak kacau seperti ini?

Namun ketika gadis itu berbalik dan jelas-jelas terkejut melihat Jongwoon berdiri disana, ia melihat kilatan perasaan bersalah di mata Taeyeon. Dan itu membuat Jongwoon merasa sedikit lebih baik. Hanya sedikit.

Taeyeon menggigit bibir bawahnya. Namun sedetik kemudian, gadis itu mati-matian berusaha menutupi perasaannya dan mencoba berlalu dari hadapan Jongwoon tanpa sedikitpun niat untuk mengubris keberadaan pria itu. Meninggalkan pria itu mematung di tempatnya dan  memandangi punggung Taeyeon yang semakin menjauh darinya dengan perasaan yang tak karuan.

*****

Tiffany menatap kosong ke bawah. Dari atap rumah sakit tempatnya berada sekarang, ia bisa melihat hiru pikuk kota Seoul yang tak pernah usai. Mobil-mobil berlalu lalang dan lampu-lampu yang menerangi gedung-gedung pencakar langit menambah semarak suasana malam itu.

Tiffany menghela nafas berat. Ia hanya perlu membiarkan dirinya terjatuh.  Ia  tahu betul pasti sakit rasanya ketika tubuhnya menghantam jalanan aspal di bawah sana. Namun ia lebih yakin jika rasa sakit itu akan hilang begitu saja bersamaan dengan beban dan rasa sakit yang kian menusuk di dadanya

Satu langkah dan satu dorongan saja, dengan begitu ia tak lagi merasakan sakit ini. Ia tak lagi membebani orang-orang yang sangat ia cintai. Dan tentu saja, ia tak perlu lagi repot-repot melawan keegoisan hatinya yang selama ini menyiksanya dalam wujud kemunafikan semata.

Tiffany masih tak bergeming. Terpaku ditempat. Ia mencengkeram kuat-kuat pagar pembatas di hadapannya sembari menghirup nafas dalam-dalam. Perlahan ia merentangkan tangannya, mencondongkan badannya lalu memejamkan matanya dan mengangkat satu kakinya. Dan saat itu juga ia hanya bisa berpasrah.

Tiba-tiba ada yang mencengkeram lengannya dan menariknya dengan kasar menjauhi pagar pembatas. Tiffany terperanjat dan nyaris kehilangan keseimbangan. Ia memutar kepala dengan cepat dan langsung berhadapan dengan sosok yang menatapnya dengan kening berkerut tidak senang.

“K-kau?” Gumamnya dengan suara seperti tercekik.  Matanya terbelalak kaget. Ia sama sekali tidak berharap dan tak terpikir sama sekali di otaknya akan bertemu dengan sosok itu di saat seperti ini.

“Apa yang kau lakukan, bodoh?!” Tanya pria itu keras. Ia mencengkeram kuat lengan Tiffany.

Tiffany memandang sosok itu dengan tatapan nanar. Ia mencoba untuk menghempaskan cengkeraman pria itu di tangannya meskipun ia yakin itu sama sekali tidak ada gunanya. “Sejak kapan kau suka mencampuri urusan orang lain, Cho Kyuhyun-ssi? Terlebih itu adalah masalahku?!” Tanya gadis itu balik dengan tak kalah keras.

“Apa kau sudah gila? Sejak kapan kau menjadi gadis yang begitu bodoh seperti ini hanya karena masalah yang harus kau hadapi.” Tanya Kyuhyun masih dengan membentak.

Kini mata Tiffany nampak memerah dan berkaca-kaca. “Apa yang kau mengerti Kyuhyun-ssi? Kau hanya manusia arogan yang tiba-tiba datang dalam kehidupanku, Cho Kyuhyun. Apa kau datang untuk menjadi pahlawan demi citra baik yang selama ini kau selalu jaga di hadapan semua orang, terlebih kedua orang tuaku? Hah?!”

Melihat air mata yang kini berkumpul di pelupuk mata gadis itu, Kyuhyun melepaskan cengkeramannya pada lengan Tiffany. Gadis itu jatuh terduduk di hadapannya dan menunduk. Cukup lama terjadi keheningan, namun dengan segera Kyuhyun menyadari tiba-tiba punggung gadis itu bergetar. Dan saat itu juga, tangisan Tiffany meledak.

Kyuhyun berjongkok di hadapan gadis itu. “Uljima.” Ucapnya lirih sambil mengusap butiran-butiran air mata yang membasahi pipi Tiffany dengan ibu jarinya. Dan entah mendapat dorongan darimana, tiba-tiba saja pria itu sudah merengkuh tubuh tak berdaya Tiffany ke dalam pelukannya. Mencoba memberikan kehangatan dan ketenangan yang mungkin sangat dibutuhkan gadis itu saat ini juga.

Sudah cukup lama Cho Kyuhyun hanya duduk tanpa melakukan apapun di sofa yang terletak di sudut ruangan itu. Sedari tadi ia hanya melipat tangannya di dada sementara matanya sesekali akan melirik punggung sosok yang sedang berbaring di ranjang tak jauh dari tempatnya duduk. Sosok yang ia yakini tidak sedang tertidur namun memunggunginya sejak satu jam yang lalu.

“Sampai kapan kau akan diam disana, Tuan Cho?” Tanya Tiffany tanpa sedikitpun merubah posisinya.

“Entahlah, mungkin kita bisa tunggu sampai seseorang datang. Prince Charming-mu mungkin? Yang jelas aku tak mungkin membiarkan gadis depresi ini sendiri disini. Terlalu berbahaya.” Ucapnya dengan sedikit sindiran.

“Cih, bukankah tadi sudah kubilang, jika kau berlaga peduli padaku hanya demi citra baikmu itu, aku benar-benar tak butuh, Tuan Cho.”

Kyuhyun tersenyum pahit. Sedetik kemudian, ia beranjak dari duduknya lalu melangkah mendekati ranjang Tiffany dan duduk pada sebuah kursi yang terletak di sisi ranjang itu. Kyuhyun dapat melihat dengan jelas kekagetan gadis yang sedari tadi membelakanginya itu melihat dirinya kini tengah duduk di hadapan gadis itu.

“Bagaimana jika sekarang aku benar-benar peduli padamu?”

“Omong kosong!”

“Terserahmu. Aku hanya mencoba menjadi teman yang baik. Aku lelah kita berdua selalu berdebat di bawah hubungan baik kedua orang tua kita. Dan aku rasa mencoba menjalin suatu pertemanan bukanlah ide yang buruk.”

Tiffany berdecak kesal lalu memejamkan matanya. “Sudahlah. Lebih baik kau pergi saja sekarang. Aku muak.”

“Baiklah, seperti yang aku bilang tadi, aku tak mau berdebat denganmu lagi. Aku akan pergi, tapi jangan coba-coba untuk melakukan tindakan bodoh seperti tadi.” Ucap Kyuhyun sambil beranjak dari duduknya lalu melangkah menuju pintu ruang perawatan Tiffany.

Tepat di ambang pintu, tiba-tiba Kyuhyun menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. “Ah dan satu lagi, kau bisa menghubungiku jika kau membutuhkan teman, Tiffany-ssi.” Ucapnya lalu membuka pintu di hadapannya dan keluar dari ruangan itu.

*****

Hyoyeon memandang pintu di hadapannya dengan perasaan takut. Berulang kali ia mencoba mengatur nafas serta detak jantungnya, tapi sepertinya hasilnya tidak terlalu berarti. Dengan mengumpulkan sisa keberaniannya, tangannya terangkat menekan bel apartment itu. Selang beberapa detik, pintu dihadapannya terbuka, menampakkan sosok yang kini menatapnya tajam dengan mata hitamnya.

“J-Jongwoon Oppa….” Sapanya sambil tersenyum kaku.

Pria itu tidak membalas dan berjalan masuk ke dalam apartmentnya. Dan tanpa dikomandoi sang pemilik rumah, Hyoyeon mengekori Oppanya itu masuk ke dalam rumah.

“Jongwoon Oppa.” Panggilnya lagi ketika pria itu sudah mendudukan dirinya di sofa dan membaca korannya. Mengacuhkan Hyoyeon yang jelas-jelas berada disana.

“Aku tahu kau pasti marah padaku setelah mendengar spekulasi Kyuhyun. Tapi kau harus mendengarkan penjelasanku juga Oppa. Semua ini hanya salah paham.”

Jongwoon mengangkat wajahnya lalu menatap Hyoyeon dengan tatapan yang sukses membuat Hyoyeon bergidik ngeri. “Setelah tujuh tahun kau menyembunyikan semuanya, kini kau berniat memberikan sejuta pembelaan untuk melindungi gadis itu. Bukankah sebagai sahabat Sooyoung kau seharusnya berada di pihaknya. Merasakan penderitaan serta pengorbanannya. Tapi mengapa kau justru membela seorang gadis yang jelas-jelas membuatmu kehilangan sahabatmu sendiri? Terlebih dia benar-benar mengambil keuntungan disini?”

“Disinilah letak kesalahannya Oppa, kau tak mengerti betul bagaimana kejadiannya. Jadi aku mohon dengarkan penjelasanku dulu.” Ucap Hyoyeon berusaha meyakinkan Oppanya itu.

Jongwoon melempar korannya dengan kasar lalu kembali menatap adik angkatnya itu. “Penjelasan? Penjelasan apa lagi? Kau akan mati-matian menjelaskan jika gadis itu tak bersalah sementara sudah ada bukti yang jelas jika gadis itu yang menyebabkan aku dan Sooyoung mengalami kecelakaan. Dan setelah itu, dengan tanpa rasa bersalahnya ia menikmati mata wanita yang kucintai. Apa lagi yang akan kau jelaskan, Kim Hyoyeon?!” Ujar pria itu dengan emosi yang memuncak.

“J-Jong—”

“Dan kau,” Ucap Jongwoon sambil memposisikan telunjuknya di hadapan Hyoyeon. Ia benar-benar tak memberikan kesempatan adiknya itu untuk berbicara. “Aku benar-benar kecewa padamu, Hyoyeon-ah.” Ucapnya lalu berlalu meninggalkan Hyoyeon mematung sendirian di ruangan itu.

*****

“Sampai kapan nyawamu akan berkeliaran meninggalkan ragamu seperti saat ini, Taeyeon-ah.” Bisik Victoria pada Taeyeon yang baru saja memasuki ruang auditorium.

“Dan sampai kapan kau akan mengatakan aku badan tanpa nyawa, Victoria-ya?” Balas Taeyeon sambil menududukkan dirinya di kursi kosong di sebelah kursi Victoria dengan eskpresi malas.

“Sepertinya akhir-akhir ini kau galau karena seorang pria Taeyeon-ah. Apakah aku benar?”

Taeyeon menolehkan kepalanya pada Victoria lalu memberikannya tatapan tajam.

“Pandangan matamu sunggguh mengerikan. Aku hanya bertanya. Judes sekali.”

Tanpa ingin mengubris ucapan Victoria, Taeyeon memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dari Victoria dan mencoba mencari objek untuk diamati.

“Aku yakin kau benar-benar mencintai pria itu Taeyeon-ah. Kalau tidak, kau tak mungkin sekacau ini. Dulu saja ketika kau diputuskan oleh kekasihmu Changmin itu, kau tidak galau berkepanjangan seperti ini.” Bisik Victoria kembali di telinganya. Taeyeon kembali menatap tajam wanita itu. Rasanya ia ingin sekali membentak wanita di hadapannya ini dan memintanya untuk tidak mengoceh yang tidak-tidak. Tapi detik itu juga, Taeyeon merasakan ponsel di saku roknya bergetar. Taeyeon serasa diselamatkan dari ocehan Victoria yang berpotensi besar membuatnya membentak wanita itu. Dan tak mau kehilangan kesempatan, ia memutuskan untuk meminta izin keluar dari ruang auditorioum itu.

Sebuah senyuman terukir di bibir Taeyeon ketika membaca nama penelepen di layar ponselnya. Tak mau berlama-lama, ia segera menggeser slide ponselnya dan menempelkan ponselnya ke telinga.

“Eomma!” Serunya, menyapa sang eomma yang tengah meneleponnya.

“Taeyeonie, bagaimana kabarmu?”

“Tentu saja baik-baik saja, eomma sendiri?”

“Eomma tentu sangat baik, terlebih setelah Oppamu mengirimkan Eomma berita itu yang sangat membuat Eomma bahagia, Taeyeonie.”

Taeyeon nampak bingung memikirkan ucapan Eommanya. “Berita? Ada berita apa mengenai Youngwoon Oppa? Dia sama sekali tidak mengabariku.”

“Ah mungkin kau tidak membuka emailmu. Oppamu itu akan segera menikah, dan ia mengirimi undangannya melalui email. Itulah mengapa kau harus rajin mengecek emailmu, Taeyeonie.”

Taeyeon nampak terdiam sesaat memikirkan ucapan eommanya. Namun beberapa detik kemudian ia membulatkan mulutnya tak percaya. “Youngwoon Oppa? Menikah?!”

“Hey, gendang telinga eommamu ini bisa saja pecah karena suaramu Taeyeonie. Lebih baik kau buka dulu emailmu. Mungkin nanti Appa dan Oppamu akan mengirimi kita tiket untuk ke Jepang seminggu sebelum pernikahan Oppamu. Jadi Eomma hanya ingin mengingatkan jaga kondisimu, ne?”

“Kapan Youngwoon Oppa menikah?”

“Empat minggu lagi.”

“Astaga, mendadak sekali.”

“Kau berkata seperti itu seolah-olah Oppamu menikah karena ‘kecelakaan’ saja. Undangan pernikahannya sudah ia kirim sejak dua minggu yang lalu, Taeyeonie.”

“Huh, baiklah. Mungkin aku akan pulang ke Busan dulu beberapa hari sebelum hari keberangkatan kita ke Jepang.”

“Baiklah, Eomma tunggu ne. Eomma tutup telepon, Anyeong.”

“Ne, Anyeong.”

*****

Taeyeon menatap Dokter Park Jungsoo yang kini duduk di hadapannya. Pria itu sedang membaca hasil tes ginjalnya dengan wajah yang serius. Dan itu sukses membuat jantung Taeyeon berdegup semakin cepat karena rasa penasarannya yang kian menjadi-jadi.

“Boleh aku tahu, apa hubunganmu dengan Dokter Hwang, Nona Kim?”

“Ah itu, aku temannya.”

Dokter itu menganggukan kepalanya paham lalu tersenyum tipis. “Kau tahu, biasanya orang yang berpotensi besar memiliki tingkat kecocokan yang tinggi adalah orang yang masih memiliki ikatan keluarga. Meskipun, tak menutupi kemungkinan untuk orang selain keluarga.”

“Lalu bagaimana hasil tes saya?” Tanya Taeyeon tak sabar.

“Kau memiliki tingkat kecocokan diatas tujuh puluh lima persen, dan kau bisa mendonorkan ginjalmu untuk Nona Hwang.”

Saat itu juga, rasa penasarannya tergantikan oleh perasaan yang tak jelas. Ada perasaan lega di dadanya, namun entah mengapa tiba-tiba keraguan menyeruak batinnya.

“Jadi, apa anda berniat untuk mendonorkan ginjal anda, Nona?”

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menjadi penyebab utama keraguannya saat ini. Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang kini tengah berputar-putar di otaknya.

“Apakah selain saya, ada yang memiliki tingkat kecocokan yang tinggi juga dengan ginjal Tiffany-ssi?”

“Sejauh ini hanya ada tiga orang yang ginjalnya cocok dengan ginjal Nona Hwang. Tuan dan Nona Hwang, lalu anda Nona Kim. Tapi baik Tuan dan Nona Hwang tidak diperkenankan untuk mendonorkan ginjalnya dikarenakan faktor usia mereka. Khususnya Tuan Hwang, ia memiliki riwayat masalah pada ginjalnya.”

Taeyeon menganggukan kepalanya berat. Kini perasaan ragu benar-benar menyelimutinya.

“Apa boleh saya tidak menjawabnya sekarang dan memikirkan keputusan yang akan saya ambil?”

“Tentu saja boleh. Tidak ada tuntutan untuk itu. Justru hal-hal seperti ini harus dipikirkan secara matang-matang Nona, karena resiko yang mungkin datang tidaklah ringan.”

“Hm, baiklah. Aku akan memikirkannya matang-matang sambil melihat perkembangannya. Mungkin aku akan mengabari anda nanti Dokter Park.”

Taeyeon menutup ruang praktik Jungsoo lalu dengan segera berjalan menuju kursi tunggu yang terletak tak jauh dari ruang praktik itu. Tanpa pikir panjang ia menjatuhkan dirinya terduduk di atas salah satu kursi sembari menghela nafas gusar. Kini pikirannya benar-benar kalut. Dan ia sadar,  ternyata mengambil keputusan untuk hal-hal seperti ini tidaklah mudah.

Lama ia bergelut dengan pemikirannya, tiba-tiba telinganya menangkap suara derap langkah yang terdengar memburu. Derap langkah itu terdengar semakin jelas ketika kepalanya spontan menoleh, dan mendapati Kim Jongwoon tengah berlari dengan kekalutan teramat sangat yang menghiasi wajahnya.

Jongwoon terus berlari tanpa memperhatikan sekitarnya. Bahkan Taeyeon yang tengah terduduk sendiri disana sepertinya tidak sempat ditangkap oleh mata pria itu. Hingga akhirnya pria itu masuk ke dalam ruang praktik Jungsoo tanpa mengetuk apalagi sekedar mengatakan permisi. Dan saat itu juga Taeyeon bertanya-tanya, apakah terjadi sesuatu pada Tiffany?

“H-Hyung! S-Steph… Kau harus memeriksanya sekarang!” Teriak Jongwoon pada Jungsoo dengan nafasnya yang memburu. Bahkan teriakan pria itu bisa ditangkap dengan sangat jelas oleh Taeyeon yang berada di luar ruang praktik Jungsoo.

“Jongwoon-ah, tenangkan dirimu dulu dan jelaskan apa yang terjadi.”

“Kau masih bisa memintaku tenang dan menjelaskan semuanya sementara begitu banyak hal buruk yang mungkin terjadi pada gadis itu jika kita menyia-nyiakan satu detik saja. Apa kau gila, Hyung?!” Bentak Jongwoon pada Jungsoo.

“Ara, Ara!” Ucap Jungsoo dengan kesal sembari berteriak. Meskipun teriakannya tak sekeras teriakan Jongwoon. Dan saat itu juga Taeyeon melihat kedua pria itu berlari keluar dari ruangan itu. Meninggalkannya sendiri disana dengan sejuta pikiran yang mengusiknya.

‘Apa yang terjadi pada Tiffany-ssi?’

Baru saja Taeyeon hendak beranjak mengikuti kedua pria itu menuju ruang perawatan Tiffany, ia mendengar ponselnya berdering dan bergetar. Ada keinginan untuk mengabaikan panggilan itu, namun hal itu ia urungkan ketika matanya membaca nama penelepon di layar ponselnya.

****

Taeyeon mengaduk-aduk teh dihadapannya sambil sesekali mencuri pandang pada Nyonya Oh yang duduk di sebelahnya dan sepasang wanita dan pria yang duduk di hadapannya. Melihat Nyonya Oh yang tersenyum dengan penuh percaya diri dan sepasang orang yang tersenyum puas di hadapannya membuat Taeyeon semakin bertanya-tanya, apa alasan dirinya ikut duduk di meja ini?

“Ekhem,” Seorang pria yang duduk dihadapannya berusaha mengumpulkan perhatian ketiga manusia di meja itu. “Sudah lama sekali aku menunggu saat -saat ini. Mungkin sebelum aku membuka pembicaraan ini, Nona Kim harus mengetahuiku dulu. Aku Shino Fujisawa dan ini istriku Norika Fujisawa, kami dari Fujisawa Musical Company.” Ucap pria itu dengan bahasa Korea yang terdengar cukup aneh di telinga Taeyeon.

“A-Annyeong Haseyo, choneun Kim Taeyeon Imnida.” Balas Taeyeon sambil sedikit membungkukkan badannya.

“Tentu saja kami tahu itu Nona Taeyeon. Dan karena itulah alasan mengapa kami ingin bertemu dengan anda saat ini.” Ucap wanita bernama Norika Fujisawa itu yang membuat Taeyeon bergantian menatap wanita itu dan Nyonya Oh dengan tatapan bingung.

“Sebenarnya kami sempat menonton pertunjukan musikal anda untuk beberapa kali, dan harus kami akui kami sangat terpukau dengan penampilan anda, Nona Kim.”

“Ah, Kamsahanida.” Ucap Taeyeon lagi sambil membungkukkan badannya dan tersenyum kikuk.

“Dan oleh karena itu, kami ingin mengajak anda bergabung dengan grup musikal kami. Meskipun kami berpusat di Jepang, biasanya kami juga menampilkan pertunjukkan musikal dengan bahasa Korea, mengingat banyak penonton Korea yang menikmati penampilan musikal kami. Untuk itu, kami memberikan penawaran ini pada anda, Nona Taeyeon.”

Taeyeon bergeming. Mulutnya membulat ternganga dan matanya menatap kosong ke depan dengan ketidak percayaan yang begitu terpancar dari matanya. Bahkan ia ingin sekali seseorang menampar pipinya sekarang juga agar dirinya terbangun dari mimpi konyolnya itu. Fujisawa Musical Group? Siapa yang tak tahu grup musikal itu. Grup Musikal dengan ratusan pementasannya yang memukau dan mengundang siapa saja untuk jauh-jauh datang hanya untuk menyaksikan penampilan grup musikal kenamaan negri sakura itu. Dan sekarang, dengan bodohnya seseorang datang padanya, menawarkan dirinya untuk bergabung. Mimpi macam apa ini?

“Err, Tuan Fujisawa, apa anda tidak salah orang? Begitu banyak pemain musikal di atas panggung hari itu. Aku yakin anda benar-benar salah alamat.” Ujar Taeyeon sembari tertawa renyah.

“Taeyeon-ah, aku yakin sekali Tuan dan Nyonya Fujisawa tidak salah orang. Aku ingat sekali mereka hari itu menunjukmu sambil berkata, wanita pemeran Odette itu, akting, tarian serta suaranya sangat menakjubkan. Kami menyukainya. Benar kan Tuan dan Nyonya?” Tanya Nyonya Oh dan dibalas senyuman serta anggukan oleh pasangan Fujisawa itu.

“Sebenarnya, terlalu sulit untukku menerima semua ini. Bahkan aku sendiri belum sepenuhnya mempercayai semua ini.” Ujar Taeyeon jujur.

Nyonya Fujisawa tersenyum. Begitupun dengan Tuan Fujisawa. “Kami sama sekali tidak bercanda, Taeyeon-ssi. Kami tidak memaksamu untuk menjawab sekarang. Kau bisa memikirkannya dulu baik-baik. Kami akan menunggu keputusan terbaik darimu.”

Taeyeon menganggukkan kepalanya kecil lalu menatap Nyonya Oh yang duduk di sebelahnya, seolah meminta persetujuan. Dan wanita itu tersenyum meyakinkan.

*****

Langit sudah mulai gelap, sebenarnya sudah saatnya sang raja siang itu kembali ke peraduannya. Taman Yeouido yang tadinya ramai dipadati manusia, kini berangsur-angsur berkurang seiring dengan jatuhnya gerimis yang lama-kelamaan berubah wujud menjadi hujan lebat. Namun sesosok gadis yang sedari tadi berjalan tanpa arah di taman itu bersikukuh diam di tempatnya tanpa berniat menyingkir dari tempat itu, apalagi berteduh dari serangan hujan.

Langit mendung di hadapan Taeyeon seolah menggambarkan perasaannya saat ini. Hujan yang semakin deras, seolah datang berusaha membawa pergi  kekalutan yang sejak lama  Taeyeon simpan didalam hati dan pikirannya. Taeyeon menengadahkan kepalanya, menyambut butiran air hujan yang semakin deras. Berharap titik-titik hujan itu akan menjernihkan hati dan pikirannya. Ya, yang saat ini ia perlukan adalah pikiran dan hati yang jernih agar ia bisa membuat keputusan. Keputusan yang menyangkut hidupnya dan orang-orang di sekitarnya.

*****

Jongwoon berlari sekuat tenaga, tak peduli dengan beberapa orang yang tak sengaja di tabraknya. Ia terus berlari dengan senyuman yang merekah di wajahnya seriring dengan secercah harapan yang kini benar-benar mengisi pikirannya. Kini otaknya hanya tertuju pada satu sosok yakni sahabatnya, Tiffany.

Kedua kaki pria itu berhenti tepat di depan pintu perawatan sahabatnya itu. Tanpa berbasa-basi, ia membuka pintu itu hingga tiga pasang mata di dalam ruangan itu menatapnya heran. Jongwoon berusaha mengatur nafasnya yang masih terengah-engah, namun sedetik kemudian senyuman itu kembali merekah di bibirnya.

“Oppa, waegurae?” Tanya Tiffany heran sambil berusaha mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersandar.

Jongwoon tak menjawab. Pria itu justru berjalan mendekati ranjang Tiffany tanpa memperdulikan Appa dan Eomma Tiffany yang juga menatapnya heran.  Ketika posisi Jongwoon kini sudah tepat berdiri di hadapan Tiffany, gadis itu menatap Jongwoon lekat-lekat. Mencoba menerka-nerka arti senyuman pria itu. Sedetik kemudian, Jongwoon memberanikan dirinya memeluk Tiffany. Tiffany berhasil dikejutkan dengan tindakan spontan sahabatnya itu.

“Oppa….” Tiffany nyaris tak bisa berucap. Mulutnya terlalu berat untuk sekedar bertanya apa yang terjadi pada pria itu. Namun tak bisa ia pungkiri, ia tidak bisa menolak pelukan pria itu. Dekapan hangat pria itu adalah salah satu hal yang sudah diimpikannya sejak lama.

“Steph, akhirnya….” Ucap Jongwoon dengan nafas yang masih terengah.

“Akhirnya? Akhirnya apa Oppa?”

Jongwoon semakin mengeratkan pelukannya. Mencoba membagi rasa bahagianya akan secercah harapan yang baru saja ia dapatkan. “Akhirnya, kita mendapat ginjal yang cocok untukmu.”

Tiffany menengadahkan kepalanya menatap langit bertaburan bintang malam itu. Kini ia tengah duduk manis di bangku yang terletak di atap rumah sakit menikmati pemandangan malam kota Seoul.  Senyuman malu tersungging di bibirnya tatkala otaknya melayang pada satu kejadian yang mungkin tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.

“Apakah bintang-bintang dilangit begitu indahnya hingga kau tersenyum semanis itu?”

Tiffany mengalihkan pandangannya dan mendapati Jongwoon kini berjalan ke arahnya dengan dua gelas kertas di tangannya.

“Pesananmu, teh hangat.” Ucap Jongwoon seraya menyodorkan salah satu gelas pada Tiffany dan duduk di samping sahabatnya itu.

“Tidak.” Jawabnya seraya menggelengkan kepala dan menerima gelas pemberian Jongwoon. “Aku hanya tak habis pikir, aku nyaris melakukan hal bodoh di tempat ini.”

Tiffany menggenggam gelas kertas itu dengan kedua tangannya. Membiarkan kehangatan menjalar pada tubuhnya yang sedari tadi di terpa angin malam yang begitu menusuk.

“Bagaimana perasaanmu, Steph?” Ujar Jongwoon membuka pembicaraan.

“Entahlah, aku bahagia, aku bersyukur, namun di sisi lain aku tidak bisa mempercayainya dan takut….”

“Takut?”

“Operasi yang akan kujalani bukanlah operasi yang mudah Oppa. Aku benar-benar menggantungkan harapanku pada kemungkinan lima puluh persen dari keberhasilan operasi itu.”

“Kau hanya perlu percaya, Steph. Kau bisa menjalaninya.”

Tiffany mengangguk-anggukan kepalanya paham lalu menyesap tehnya dengan perlahan.

“Steph, ada yang ingin aku katakan padamu.”

Tiffany kembali menolehkan kepalanya kepada Jongwoon dan tersenyum. “Katakan saja Oppa.”

“Maaf.”

Kening Tiffany sedikit berkerut. Mengapa pria ini justru meminta maaf padahal ia baru saja memberikan kabar baik padanya?

“Maaf untuk apa Oppa?”

Jongwoon menyesap kopinya lalu menghela nafas panjang. “Sepertinya aku tidak bisa menemanimu di hari operasimu. Kepala bagian kandungan mengirimku ke Jerman untuk mengikuti diskusi dokter kandungan disana. Ia juga memintaku untuk bertemu dengan salah seorang kerabatnya dan menawariku untuk memperdalam ilmu kandunganku disana.”

Senyuman di wajah Tiffany sirna seketika tergantikan dengan kekecewaan. “Apa kau akan menetap di sana?”

“Mungkin aku akan menetap dua minggu dulu disana. Tapi setelah itu aku akan pulang dan mempersiapkan diriku kembali ke sana untuk memperdalam ilmuku. Kau tidak marah kan?”

Tiffany menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil. “Aku sama sekali tidak masalah. Lalu, bagaimana dengan Taeyeon? Apa kau sudah memberitahunya?”

Pria itu terperanjat, dan menatap Tiffany heran. Tak tahu harus menjawab apa.

“Rupanya benar, kau sedang memiliki masalah dengannya.” Ujar Tiffany seolah paham arti raut wajah pria di sampingnya itu.

“Kau tahu Oppa, terkadang aku merasa iri dengan Taeyeon-ssi. Aku dikelilingi orang-orang yang begitu mencintainya dan juga kacau karenanya. Aku berharap suatu hari nanti ada seseorang yang mencintaiku dan kacau tanpaku.”

Jongwoon masih terdiam. Mencerna kata demi kata yang diucapkan Tiffany.

“Aku tak tahu apa masalahmu dengan Taeyeon, tapi aku sarankan jangan menghindari masalahmu itu dan justru membiarkannya berlarut-larut. Bukankah lebih baik mencari jalan keluarnya?”

*****

Sedari tadi tangan Tiffany tak henti-hentinya meggeser jari-jarinya di atas layar sentuh ponselnya. Ia bingung dan juga bosan. Beberapa jam lagi ia akan menjalani operasi namun kini ia benar-benar membutuhkan seseorang untuk berada di sampingnya untuk sekedar menyemangatinya.

Sembari menghela nafas gusar Tiffany menjauhkan ponselnya dari telinganya lalu menatapnya kecewa.

“Temanmu itu tidak mengangkatnya?” Tanya Eommanya yang sedari tadi memperhatikan gerak geriknnya dan dibalas gelengan kepala oleh Tiffany.

“Tumben sekali kau terpaku pada satu orang temanmu itu, biasanya kau hanya terpaku pada Jongwoon, Fany-ah.”

“Ck, bagaimana aku bisa terpaku pada Jongwoon Oppa jika dari jauh-jauh hari dirinya seolah-olah melarangku untuk mengharapkan kedatangannya di hari operasiku ini.”

“Tapi bukankah kau memiliki banyak teman?”

“Tapi tidak semua mengerti diriku, Eomma!” Balas Tiffany dengan kesal.

“Ck, baiklah. Lakukan semaumu gadis keras kepala. Eomma akan menunggu di luar. Hubungi Eomma jika kau memerlukan sesuatu.”

Tak mau memperpanjang perdebatan diantara dirinya dan sang putri, Nyonya Hwang memilih untuk keluar meninggalkan Tiffany dengan sejuta kegusaran dan kegugupan yang berputar di otaknya.

“Aissh, Jinjja.” Tiffany mengacak kepalanya dengan kesal. Tak hanya itu,  ia juga kembali menggeser jari-jarinya di atas touch screen dengan sembarang hingga tanpa sengaja jarinya berhenti pada sebuah nama yang membuatnya bingung beberapa hari belakangan.

Kau bisa menghubungiku jika kau membutuhkan teman, Tiffany-ssi.

Entah bagaimana, ucapan pria itu kini terngiang di benak Tiffany. Memang sangat sulit mempercayai kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut seorang Cho Kyuhyun. Tapi ia pun juga yakin telinganya masih sangat baik dan ia tak salah dengar saat itu.

‘Haruskah?’

Dengan ragu tangan gadis itu menekan sesuatu di atas touch screen ponselnya. Dan satu detik kemudian jemari gadis itu sudah menari dengan lincah seperti mengetikkan sesuatu.

Apa ucapanmu mengenai teman itu masih berlaku, Cho Kyuhyun-ssi?

*****

Kurang lebih sudah satu jam Cho Kyuhyun menduduki kursi di sisi ranjang Tiffany. Dan sudah satu jam pula pria itu duduk manis di kursinya tanpa membuka mulutnya sedikitpun. Dengan ragu mata pria itu melirik gadis di sampingnya. Sama halnya dengan dirinya, gadis itu juga masih menutup mulutnya rapat-rapat. Namun yang bisa Kyuhyun yakini adalah gadis di sampingnya itu tengah menahan rasa cemasnya sebisa mungkin, terlihat dari wajahnya yang memucat dan memancarkan kecemasan yang teramat sangat dan kedua tangannya yang saling meremas satu sama lain. Tak hanya itu, bahkan sedari tadi ia tak henti-hentinya melirik jam yang menempel di dinding.

“Kau takut, Tiffany-ssi?”

Gadis itu mendongak, masih berusaha menutupi kecemasannya. “Apa alasan bodoh yang mendasariku untuk merasa cemas?”

“Aku rasa itu wajar. Bahkan operasi amandel saja bisa membuatmu cemas setengah mati.”

Mendengar ucapan Kyuhyun, gadis itu seolah mendapat dorongan untuk tidak menutupi perasaanya lagi. Detik itu juga, mata gadis itu memerah dan berkaca-kaca. Tangan gadis itu juga bergetar hebat.

“A-Aku… T-Takut….” Entah disadari atau tidak, tangan Tiffany telah menggengam tangan Kyuhyun dan meremasnya cukup kuat. Kyuhyun sendiri cukup kaget dengan tingkah gadis itu, tapi ia tidak menolak dan membiarkan gadis itu melampiaskan kegugupannya pada tangannya.

“A-apa me-menurutmu aku akan t-tetap h-hi—”

“Ssssstt..” Ucapan Tiffany terputus begitu saja bersamaan dengan telunjuk Kyuhyun yang tiba-tiba saja sudah berada di bibirnya.

“Kau hanya perlu percaya, kau bisa melewatinya. Dan setelah itu semuanya akan baik-baik saja, Tiffany-ssi.”

“T-Tapi…”

“Segala sesuatu terjadi karena ada alasan yang mendasarinya. Jika dengan percaya tidak cukup  membuatmu yakin, aku rasa kau memiliki banyak alasan mengapa kau harus bertahan Tiffany-ssi.”

Derit pintu terbuka mengalihkan perhatian keduanya begitu saja. Appa dan Eomma Tiffany masuk ke dalam dengan beberapa orang suster yang mengekori keduanya. Dan saat itu juga Tiffany sadar, ia harus menghadapinya sekarang juga.

“Nona Hwang, kami akan membawa anda ke ruang operasi sekarang juga.”

Tiffany menolehkan kepalanya pada Kyuhyun lalu menatap pria itu seolah meminta persetujuan. Pria itu menghela nafas panjang lalu menganggukkan kepalanya kecil. Begitu mendapat dukungan dari pria itu, Tiffany menolehkan kepalanya kepada salah seorang suster lalu menganggukan kepalanya.

Dengan bantuan suster-suster itu, kini Tiffany telah berbaring pasrah di atas ranjang dan membiarkan suster-suster itu mendorong ranjangnya menuju ruang operasi. Tak hanya suster-suster itu, Appa dan Eomma Tiffany serta Kyuhyun ikut mendorong ranjang gadis itu.

“Tiffany-ssi…” Panggil Kyuhyun setengah berbisik, namun berhasil membuat Tiffany yang sedari tadi menutup matanya takut kini menatapnya sendu.

“Aku akan mendoakanmu, kau juga berdoalah…”

Tiffany menganggukan kepalanya lalu tersenyum kecil. Dan saat itu juga, langkah Kyuhyun dan kedua orang tua Tiffany terhenti. Ranjang Tiffany telah masuk ke dalam ruang operasi dan pintu operasi itu tertutup.

*****

“Hm? Aku baru saja pulang kemarin malam… Tentu saja aku akan mengunjungimu, tapi sekarang aku masih menjemput Taewoon… Kalau begitu kita bertemu besok di rumah sakit, nae?… Ne, aku tutup telepon.”

Jongwoon melepaskan headset wirelessnya lalu meletakannya di atas dashboard. Ketika hampir mencapai tempat yang di tujunya, ia mengurangi kecepatan mobilnya sambil matanya bergerak kesana kemari mencoba menangkap sosok yang dirindukannya saat ini.

“Hm, dimana anak itu.” Ujarnya sambil tetap memperhatikan dengan seksama keramaian di hadapannya. Keramaian di hadapannya itu bukanlah sesuatu yang mengherankan bagi Jongwoonmengingat saat ini sudah menunjukkan jam pulang sekolah murid-murid, tak terkecuali murid-murid sekolah Taejo. Lama ia mencari, tiba-tiba senyuman merekah di bibirnya ketika matanya menemukan sosok yang dicarinya. Jongwoon pun langsung membuka kaca mobilnya dan melambaikan tangannya, hingga sosok itu menyadari kedatangannya.

“Daddy, kapan daddy datang?” Tanya sosok itu ketika masuk ke dalam mobil. Sosok itu tak lain tak bukan adalah Kim Taewoon.

“Baru saja. Kau baru saja pulang sekolah kan?”

“Ne.” Jawab bocah itu sambil menganggukkan kepalanya tak bersemangat.

“Ada apa? Kau lapar? Tidak bersemangat sekali anak daddy.” Tanya Jongwoon lagi dengan raut wajah yang heran tapi tetap tersenyum pada putranya itu.

“D-daddy….”

“Wae?” Jawab Jongwoon sambil melirikkan matanya sekilas. Tapi entah mengapa bocah itu justru terdiam tak menjawab lagi.

“Tak mau bercerita pada daddy?” Tanya Jongwoon lagi.

“Bukan begitu daddy.” Jawab bocah itu seraya menggelengkan kepalanya.

“Lalu?”

“Taeyeon sonsaengnim sudah berhenti mengajar di Taejo.”

CKIIIIIT

Jongwoon mengerem mobilnya secara mendadak ketika ucapan putranya itu berhasil menembus indra pendengarannya. Saat itu juga Jongwoon merasakan pikirannya kosong. Diantara berbagai perasaannya bercampur di benaknya, sepertinya rasa tidak percayalah yang paling mendominasi.

“Daddy, gwenchana?” Tanya Taewoon khawatir.

“Siapa yang mengatakannya?”

“T-tadi, Victoria sonsaengnim mengatakannya sambil membawa guru baru pada jam pelajaran kesenian, daddy.”

Dengan berbagai pemikiran yang berkecamuk di benaknya Jongwoon berlari menaiki tangga menuju flat Taeyeon. Tak peduli dengan tatapan aneh yang di berikan orang-orang, yang ia hanya pikirkan adalah gadis itu, Kim Taeyeon.

Tepat di depan pintu flat Taeyeon, Jongwoon berhenti lalu melangkah dengan ragu mendekati pintu itu. Sejenak ia menatap pintu di hadapannya nanar dengan berbagai firasat buruk yang berkeliaran di benaknya. Jongwoon menghela nafas panjang, berusaha mengatur jantungnya yang berlomba dan berusaha menghilangkan berbagai firasat buruk di benaknya. Dan dengan ragu, tangan pria itu terangkat dan menekan bel flat itu.

Satu menit. Tidak ada tanda-tanda pintu di hadapannya akan dibuka. Tidak ada suara gadis itu dari dalam flat. Dan itu membuatnya tak tenang hingga kembali menekal bel di hadapannya.

Pintu di hadapannya masih bergeming. Tidak ada sosok yang membukakannya pintu sambil tersenyum menyambutnya.

“Tuan.” Suara itu berhasil membuat Jongwoon yang baru saja akan menekan kembali bel di hadapannya menolehkan kepalanya dan menahan sejenak tangannya untuk menekan bel tersebut. Tak jauh dari tempatnya berada, Jongwoon bisa melihat sosok wanuta paruh baya tengah berdiri di hadapannya.

“Harus saya katakan, sampai kapanpun anda menekal bel flat Nona Kim, tidak ada yang akan membukakan anda pintu dari dalam. Nona Kim sudah meninggalkan flat ini sejak beberapa hari yang lalu. Ia tidak mengatakan akan pergi kemana. Yang saya ingat samar-samar adalah nona Kim dapat memberitahu saya jika dia akan pindah ke luar negeri. Dan entah pendengaran saya benar atau tidak, ia dapat mengatakan tentang pernikahan. Saya sendiri tak jelas mengingat siapa yang di maksudnya akan menikah saat itu.”

Berhentilah membawa kesialan untuk kami. Jauhilah keluargaku, Kim Taeyeon….

Kata-katanya hari itu pada Taeyeon terngiang di otaknya. Ya, ia yang mengatakannya dan dirinyalah yang meminta gadis itu untuk pergi. Bukankah ini yang ia nginkan? Tapi mengapa otaknya justru tidak bisa menerima semua ucapan yang dilontarkan wanita paruhh baya itu?

Kali ini kekacauan Jongwoon memuncak. Ia tak bisa menahan diri serta membohongi dirinya sendiri lagi. Ia merindukan gadis itu. Ia membutuhkan gadis itu. Dan ia tak bisa mempercayai jika gadis itu sudah meninggalkannya tanpa memberi tahunya dan tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk menahan kepergian gadis itu. Kini Jongwoon hanya bisa menatap kosong sekelilingnya. Tubuhnya seolah kehilangan keseimbangan hingga ia jatuh terduduk di lantai flat itu. Dan detik itu juga, ia tak peduli dengan statusnya sebagai seorang lelaki. Air mata kini mengalir dari pelupuk matanya, mewakili setiap perasaannya pada gadis itu.

*****

Sore itu, Jungsoo baru saja selesai memeriksa pasien terakhirnya. Ia pun menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya sambil melonggarkan dasinya. Baru saja ia hendak memejamkan matanya sejenak, derit pintu terbuka seolah menahannya. Membuatnya mengurungkan niat untuk sejenak beristirahat. Beberapa detik kemudian seorang gadis memasuki ruangannya lalu menutup pintu ruangan itu dengan perlahan. Kedatangan gadis itu sama sekali tidak membuatnya heran, justru kedatangan gadis itu seolah sudah biasa untuk dirinya beberapa hari ini.

“Masih tak menyerah?”

Gadis itu menggelengkan kepalanya lalu berjalan mendekati meja kerjanya. “Sunbae, setiap hari aku tidak tenang memikirkannya. Tak bisakah sunbae memberi tahuku? Aku berjanji akan menyimpannya sebagai rahasia. Cukup kau memberi tahuku nama dan nomor telepon pendonor itu. Dengan begitu aku bisa menghubunginya untuk sekedar berterimakasih dan aku pun akan tenang sunbae.”

“Bukankah aku sudah mengatakan pendonor itu yang meminta identitasnya di rahasiakan? Apa yang ingin kau ketahui lagi, Fany-ssi?” Jawab pria itu kesal.

“S-sunbae….”

“Tak bosankah kau setiap hari mendatangiku untuk mendapat jawaban yang sama?”

Tiffany terdiam. Kini ia memundurkan kaki kanannya dan beberapa detik kemudian ia sudah duduk bersimpuh di lantai. Jungsoo yang awalnya tidak peduli dengan gadis itu kini beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati gadis itu. Pria itu pun berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis itu.

“Apa yang membuatmu begitu ingin tahu, Tiffany-ssi?”

“Entahlah. Di hari aku membuka mataku setelah menjalani operasi itu, hati kecilku seolah berkata ginjal yang kini hidup di dalam tubuhku adalah ginjal seseorang yang tak asing untukku.”

Jungsoo menatap gadis itu heran dan menghela nafas panjang. “Aku tidak bisa memberitahumu banyak, Tiffany-ssi, aku akan memberi tahu nama pendonormu saja.”

Kini Tiffany mendongakkan kepalanya dan menatap sunbaenya itu, kini jantungnya berdetak lebih cepat dan rasa cemas kini benar-benar menggerayanginya.  “S-siapa orang itu?”

“Namanya…. Kim Taeyeon.”

DEG

Tiffany membelalakkan matanya. “T-Taeyeon?”

“Ne, Nona Kim Taeyeon yang mendonorkan ginjalnya padamu, Tiffany-ssi.”

Kini, jantung Tiffany yang sedari tadi berdetak cepat itu seolah berhenti berdetak begitu saja. Kedua tangannya kini mencengkeram kuat ujung roknya. Dengan sulit ia berusaha mendengut ludahnya. Mulutnya terasa kelu untuk kembali berucap. Dan saat itu juga, pandangannya mengabur.

“T-Tiffany-ssi…”

Tiffany memejamkan kedua matanya hingga air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya kini turun membasahi kedua pipinya. Otaknya masih terlalu sulit untuk menerima itu semua. Dan kini, yang bisa ia lakukan adalah menangis.

*****

Kepulan asap yang berasal dari dua cangkir teh hangat di meja itu melayang di udara, seolah meminta sang empunya untuk segera meminumnya. Sepasang sahabat itu duduk berhadapan. Sudah dua minggu berlalu namun keduanya sama sekali tak membuka suara untuk sekedar mengatakan rindu. Keduanya sama-sama sibuk terjebak dalam pemikiran masing-masing.

Jongwoon meraih cangkir tehnya lalu menyesapnya perlahan, berharap kehangatan akan menjalar di tubuhnya dan menjernihkan otaknya walau hanya sedikit.

“Jadi bagaimana keadaanmu sekarang, Steph?”

“Kau bisa lihat sendiri, aku tidak lagi terbaring tak berguna di atas ranjang dingin rumah sakit.”

Jongwoon meletakkan kembali cangkir tehnya lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Matanya kini menatap kosong keluar cafe tempatnya berada sekarang. Tiffany yang duduk dihadapannya hanya bisa menggigit bibirnya bingung.

“Kau tahu Oppa, di hari Operasiku, aku benar-benar membutuhkan seorang teman. Bahkan aku hampir gila karena tak ada seorang pun yang menyemangatiku.”

Jongwoon mengalihkan pandangannya pada Tiffany. “Mianhae..” Ucapnya lalu kembali menatap kosong keluar.

“Awalnya aku berharap Taeyeon bisa menemaniku. Aku mencoba menghubunginya, tapi ia tak bisa dihubungi. Bahkan sampai detik ini pun ia hilang bak ditelan bumi. “

Mendengar nama gadis yang dicintainya di sebut, Jongwoon benar-benar mengalihkan perhatiannya pada sahabatnya itu dan menatapnya lekat-lekat.

“Oppa, jawablah dengan jujur… Apa merenggangnya hubunganmu dengan Taeyeon… Apa itu semua karenaku?”

Jongwoon menaikkan sebelah alisnya dan menatap Tiffany dengan tatapan tajamnya.

“Apa itu semua benar, Jongwoon Oppa?”

“Kau bahkan sama sekali tidak terlibat dalam permasalahan kami, Steph. Bukankah kau sendiri dulu bilang, jika kau merasa aku hanya menjadikanmu pelarian atas masalahku dengan Taeyeon? Dan harus aku akui ucapanmu waktu itu tidak sepenuhnya salah.”

Tiffany terperangah. Ucapan pria itu sukses membuatnya mematung seketika. Secara tidak langsung pria itu mengakui dirinya hanya sebagai pelarian. Dan itu hatinya serasa dihujam oleh ribuan pisau tajam. Sambil berusaha menahan sakit di hatinya gadis itu mencoba tersenyum walapun hasilnya sangatlah kaku. “Mendengar jawabanmu, sepertinya hubungan kalian belum membaik. Jadi bisakah kau memberikanku alamatnya?”

“Aku rasa tidak ada gunanya aku memberikan alamatnya padamu, Steph.”

Kening Tiffany berkerut dan wajahnya nampak bingung. “W-wae?”

“Kau tidak akan menemukan Taeyeon di flatnya.”

“Ck, omong kosong apa yang sedang kau katakan Oppa. Mungkin ia memiliki alasan untuk tidak bertemu denganmu, tapi denganku ia tid-—”

“Dia sudah pergi, Steph.”

“Apa?!”

Jongwoon menatap sahabatnya dalam-dalam dengan matanya yang merah dan berkaca-kaca. “Bahkan aku sendiri tak tahu ia kemana. Flatnya kosong dan dia sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya di Taejo.”

Kini Tiffany seolah membeku di tempat. Pandangannya kosong dan mulutnya terasa kelu untuk sekedar berucap. Separuh nyawanya seolah pergi meninggalkan tubuhnya. Sebisa mungkin ia menahan gejolak di hatinya. Dan tanpa mendapat komando, air mata mulai mengalir dari kedua bola matanya. HIdungnya memerah. Terisak.

Melihat perubahan pada gadis itu Jongwoon seketika cemas. “S-Steph, waeyo?”

“Oppa… Bagaimana bisa.. Semua ini…” Ucap Tiffany terisak.

Masih dengan kecemasan pada sahabatnya ini Jongwoon kembali bertanya dengan tidak sabar. “Ada apa?”

Dengan suara yang bergetar gadis itu kembali mencoba berucap. “Park Jungsoo Sunbaenim…. T-Taeyeon…. Mendonorkan…. Untukku…”

Saat itu juga otak Jongwoon berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Tiffany. Meskipun kata-kata itu terucap dengan tak karuan, Jongwoon yakin sekali ia mengerti dengan ucapan sahabatnya itu.

“J-jadi, ia yang m-mendonorkan?” Tanya Jongwon lagi dengan butiran airmata yang kini silih berganti turun dengan perlahan dari kelopak matanya. Bahkan nyaris tak ada perbedaan antara keringat yang mengalir dari pelipisnya dengan air matanya.

Tiffany menganggukkan kepalanya dan isakannya kian menjadi-jadi. Dan saat itu juga, kedua sahabat itu menangis.

*****

Jongwoon membuka pintu kamarnya.  Ia menyalakan lampu, melepas blazer dan membuangnya di sembarang tempat sehingga menyisakan kemeja putih polos di tubuhnya. Malam itu ia sengaja pulang ke rumah orang tuanya sementara Taewoon sudah terlebih dahulu tiba di rumah itu karena pergi bersama Hyoyeon dan Hyoeun. Beruntung ketika pulang orangtuanya sedang tidak di rumah, sehingga ia tak perlu khawatir Appa ataupun Eommanya akan bertanya macam-macam jika melihatnya datang dengan wajah sembab dan mata semerah kulit wajahnya yang ikut memerah karena menangis.

Jongwoon menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menghela nafas berat. Kali ini ia benar-benar tidak bisa bermunafik ria dan meletakkan emosinya di atas segalanya. Ia benar-benar tidak bohong tentang merindukan gadis itu. Jika ia boleh jujur, ia selalu menyesali sikap serta ucapan tidak mengenakkannya pada gadis itu selama pikiran jernihnya dibutakan oleh emosi. Harus ia akui, meskipun emosi tengah menguasai dirinya kala itu, ia tidak pernah absen untuk sekedar membayangkan wajah dan senyuman gadis itu, dan itu benar-benar membuatnya gila.

Jongwoon mengacak rambutnya lalu menenggelamkan wajahnya pada bantal tidurnya. Sedetik kemudian pria itu memutar posisinya hingga kini ia memandang langit-langit kamarnya. “Aku yakin sekali ucapanku benar-benar sudah keterlaluan hingga ia melakukan semua ini. Kemana gadis itu pergi?”

“Saking kacaunya kau tak menyadariku datang, Kim Jongwoon-ssi.” Ucap seorang wanita di depan pintu kamarnya. Jongwoon yang terkejut dengan kehadiran sosok itu spontan merubah posisinya menjadi duduk.

“Hyoyeon-ah, kapan kau masuk ke dalam?”

“Tepat ketika kau mengatakan betapa keterlaluannya dirimu. Benar-benar timing yang tepat bukan?”

Jongwoon berdecak kesal. “Aku yakin kau sudah mengetahuinya.”

Hyoyeon tersenyum meremahkan lalu berjalan mendekati Oppanya itu. “Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu? Rupanya kau masih mengikuti perkembangan Taeyeon.”

“Kemana Taeyeon pergi?” Tanyanya sembari menatap tajam Oppanya itu.

“Jujur saja, tak ada satupun orang yang ia kabari. Terakhir ia mengatakan akan mendonorkan sebelah ginjalnya untuk Tiffany dan setelah itu ponselnya tidak aktif sampai detik ini. Lagipula aku rasa itu tidak penting untukmu.”

“Kau bilang tidak penting?”

“Bukankah kau seharusnya senang gadis itu sudah megikuti keinginamu. Menjauhimu.”

“KIM HYOYEON!!” Bentak Jongwoon pada adiknya itu.

Tanpa rasa takut Hyoyeon balik membentak Oppanya itu. “Aku hanya mengutip apa yang kau katakan Kim Jongwoon. Bahkan kau mengatakan gadis itu hanya membawa sial bagi hidupmu dan hidup keluargamu!”

“Bukankah itu kenyataannya? Kalau bukan karenanya kecelakaan ini tak mungkin terjadi!”

Hyoyeon mendesis kesal sembari menahan air matanya. “Apa kau begitu bodohnya Kim Jongwoon? Saat kecelakaan itu terjadi, gadis itu dalan keadaan buta. Camkan itu, ia buta. Bagaimana ia bisa menghindari mobilmu jika apa yang ada di depannya saja tak bisa ia lihat? Kau taruh dimana Otakmu itu Kim Jongwoon.” Ucap gadis itu setengah berteriak. Meskipun nafasnya terdengar memburu, sama sekali trak terbesit niat di otaknya untuk berhenti menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada pria di hadapannya itu.

 “Dan satu hal yang harus kau ketahui, Taeyeon mendapat mata Sooyoung bukan karena keinginannya, namun keinginan Sooyoung sendiri. Kau tidak tahu kan betapa berjasanya Taeyeon atas hidup Sooyoung? Dan satu lagi, bagaimana bisa kau mengatakan Kim Taeyeon adalah gadis pembawa sial dalam hidupmu sementara kau begitu mencintainya dan nyaris menjadi gila karena gadis itu?!”

 Jongwoon bergeming. Ia tak berkutik sama sekali. Otaknya sebisa mungkin mencerna semua ucapan adiknya itu, dan saat itu juga ia menyadari kebodohan yang ia lakukan hanya membuang-buang waktu dan energinya saja.

“Ck, aku bahkan sama sekali tak mengerti, mengapa Taeyeon dan Sooyoung harus di kelilingi dua pria bodoh yang padahal begitu mencintai mereka. Tidakkah hidup mereka begitu malang?”

“Mengapa kau tak menjelaskannya kepadaku, Hyoyeon-ah?” Tanya Jongwoon dengan suara yang bergetar meskipun masih terkesan dingin.

“Bahkan kau tidak memberiku kesempatan berbicara.” Jawab Hyoyeon tak mau kalah.

Jongwoon kembali mendecak kesal lalu membanting salah satu bantalnya hingga terhempas ke lantai.

“Obsesi lamamu pada Sooyoung benar-benar sudah membutakanmu Oppa. Kau tahu meskipun Taeyeon pernah mengalami kebutaan karena Soooyoung, sama sekali ia tidak pernah menutup mata hatinya. Ia tetap melihat dengan mata hatinya. Ia tetap menjalani semuanya dengan tegar dan setulus hati. Ia bahkan tidak pernah menyimpan dendam pada Sooyoung. Tapi kau? Hanya dengan mendengar ucapan orang-orang kau dengan mudahnya percaya dan membiarkan mata hatimu itu tertutup.”

Jongwoon masih terdiam. Kini nafasnya terdengar memburu dan tangannya mencengkeram kuat bed cover-nya.

“Aku tak akan bicara lagi. Meskipun aku tak akan menjelaskannya lagi, aku akan memberimu sesuatu yang akan memperjelas semuanya Oppa.”

Jongwoon mengangkat wajahnya dan menatap tajam adiknya itu. “Sesuatu?”

Hyoyeon merogoh tasnya dan mengambil dua buah amplop yang sudah menguning karena dimakan usia. “Aku bahkan heran, Sooyoung masih sempat menulis surat untukku, Oppa dan Taeyeon di detik-detik terakhirnya. Maaf aku tak memberikan pada kalian sejak awal. Aku terlalu takut akan mengacaukan suasana dan berusaha mencari waktu yang tepat. Namun sepertinya sekarang aku menyesalinya karena kekacauan sepertinya memang tak terhindarkan.” Ucap gadis itu sambil menyodorkan kedua amplop yang masing – masing bertuliskan ‘Jongwoon Oppa’ dan ‘Taeyeonie’ kepada Jongwoon.

“Bacalah jika kau sudah merasa lebih baik Oppa. Aku pergi. Jaljayo.” Gadis itu melangkah keluar meninggalkan Jongwoon yang menatap nanar kedua amlop di tangannya.

Kini tangan Jongwoon terdorong untuk membuka kedua amplop itu dan mengeluarkan isi keduanya. Entah mengapa, hatinya justru terdorong untuk membaca terlebih dahulu surat untuk Taeyeon.

Taeyeonie,

Aku yakin sekali ketika kau terbangun dan kau bisa membaca surat ini. Maafkan aku karena mengingkari janjiku untuk menjadi orang pertama yang hadir ketika kau membuka matamu. Sungguh aku tidak bermaksud Taeyeonie.

Meskipun pertemuan kita terhitung cukup singkat. Kau tahu aku belajar begitu banyak hal darimu. Kau adalah gadis yang tegar dan sifatmu itu benar-benar membuatku kagum Taeyeon-ah.

Sejujurnya aku sadar betul, begitu banyak hal pada diriku yang harus medapat maaf dari dirimu. Maaf karena kecelakaan malam itu kau harus kehilangan penglihatanmu. Dan maaf juga karenaku kau nyaris menjadi korban kecelakaan untuk kedua kalinya. Aku mungkin tak bisa melakukan banyak untukmu. Dan saat ini juga, aku tahu ini adalah keputusan yang tepat.

Meskipun aku tak bisa bersamamu setelah aku pergi, tapi percayalah, percayalah aku selalu bersamamu  melalui mata yang aku titipkan padamu. Aku masih bisa menuntunmu menonton drama dan aku masih bisa menuntunmu berjalan melalui mata ini. Dan satu hal, seperti janjiku padamu, kau bisa melihat putraku. Putra yang kau lindungi hingga mengorbankan nyawa dan hidupmu. Aku hanya bisa berharap, meski ragaku tak di dunia, aku bisa melihat putraku tumbuh dewasa melalui mata ini.

Hanya itu yang bisa ku katakan. Jagalah dirimu baik-baik. Dan aku menyayagimu Taeyeonie.

 

Tersenyumlah,

Choi Sooyoung

Surat itu berhasil membuat Jongwoon tersenyuh. Begitu banyak hal yang terjadi di sisa-sisa kehidupan istrinya. Bagaimana bisa ia mengatakan dirinya sebagai orang yang mencintai istrinya jika begitu banyak hal tidak ia ketahui sama sekali?

Kini tangan Jongwoon bergetar. Jantungnya berpcau seiring dengan tangannya yang meraih dan membuka lipatan surat yang ditujukkan untuknya. Ia menatap surat itu sejenak, satu hal yang ia sadari surat itu benar-benar ditulis oleh Sooyoung. Ia sangat mengenali tulisan mendiang istrinya tersebut. Jongwoon menarik nafas dalam-dalam lalu mulai membaca surat itu.

Jongwoon Oppa,

Jujur aku tidak tahu, kapan Hyoyeon akan memberikan surat ini padamu. Satu hal yang kuyakini, ia akan memberikan surat ini di saat yang tepat.

Maaf aku tak bisa ada di sisimu ketika kau membuka matamu. Mungkin ketika kau mengetahui kebenarannya, kau akan menyalahkan kebodohanku karena menyembunyikan penyakitku darimu dan menyalahkan dirimu juga.  Tapi sungguh, aku hanya ingin menjadi seorang wanita yang berguna Oppa. Bagi wanita manapun, mengandung dan melahirkan seorang anak adalah suatu kebanggan terbesar di hidupnya.

Aku sungguh minta maaf padamu Jongwoon Oppa, begitu banyak hal yang kusembunyikan darimu di sisa hidupku. Aku berharap jika kau mengetahui kebenarannya, kau bisa memikirkannya baik-baik hingga tak terjadi kesalahpahaman.

Meskipun aku tak bisa melihatmu membuka mata dan merasakan tatapan hangatmu, aku bersyukur masih bisa merasakan pesonamu walaupun kau terbaring lemah di sampingku. Berjanjilah padaku kau akan tetap bertahan demi putra kita. Dan satu lagi, meskipun aku tak di sisimu, percayalah jika aku akan mencintaimu sampai kapanpun. Saranghae Oppa.

Jongwoon mengangkat kepalanya dari surat itu. Kini tanpa sadar ia meremas tangannya hingga surat itu menjadi kusut.

“Penyakit? Bahkan aku tak pernah tahu istriku memiliki penyakit yang disembunyikannya.” Ucap Jongwoon dengan suaranya yang bergetar dan sarat akan rasa sakit yang melekat pada setiap katanya. Dan detik itu juga, ia menangis. Menangisi kebodohannya dan menangisi keegoisannya.

TBC

Hai Reader!! Akhirnya post juga /tebar confetti/ maaf bangeeet part ini super lambat dan benar-benar krisis feels. Itu semua dikarenakan saya harus membagi waktu dan konsentrasi saya pada ulangan kenaikan kelas dan ff saya. Dan saya yakin part ini super kacau dan bikin bingung ya? Ff ini juga terkesan maksa dan setiap scenenya bener-bener singkat /sigh/ Haha saya minta maaf dan seperti biasa berharap reader masih mau baca dan memberikan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata saya cuma mau bilang saya masih masang komentar minimal 40 untuk ngetik part selanjutnya dan selamat membacaaaa!!! /bow/

 

Leave a comment