[11] Blind In Love

Poster bol 1

Title : Blind In Love (Chapter 11) || Author : Anissa A.C  || Rate : PG-16 || Length : Chapter || Genre : Romance, Family and Friendship || Cast’s : Kim Taeyeon [GG], Choi Sooyoung [GG],  Kim Jongwoon [SJ], Kim Hyoyeon [GG],  Tiffany Hwang [GG], Cho Kyuhyun [SJ] || Disclaimer : Terinspirasi dari berbagai lagu, novel, drama dan ff lain.

Tujuh tahun yang lalu.

Dentuman wedding march  yang merdu melayang di udara memenuhi relung hati setiap pendengarnya. Orang-orang di dalam gereja itu langsung berdiri, bersiap menyambut putri di hari itu.  Beberapa saat kemudian,  pintu gereja  itu akhirnya terbuka, semua mata tertuju pada seorang gadis yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu gereja itu. Setiap orang yang menatapnya tak akan mampu memalingkan pandangannya lagi. Gaunnya  yang sederhana namun menawan menjuntai dengan indahnya   diatas lantai. Dengan sebuah buket  mawar putih ditangannya, ia berjalan dengan anggun. Selembar kain putih tampak menutupi wajahnya yang cantik dan dari kejauhan hanya terlihat bibir mungilnya yang kini sedang tersenyum dengan manisnya. Beberapa orang yang mengisi ruangan itu mulai tersenyum dan berbisik-bisik kesana kemari. Dentuman-dentuman merdu piano itu terus mengiringi langkahnya menuju pria pilihannya. Hatinya begitu berdebar menghadapi moment seperti ini. Walaupun hari ini adalah hari yang lama ia tunggu tapi tetap saja rasa khawatir masih tetap menyelimuti hatinya. Ia mengalihkan pandangannya menuju sesosok wanita yang tengah berjalan disampingnya. Sahabatnya yang selalu bersamanya, Kim Hyoyeon. Wanita itu tersenyum dan mengangguk mantap. Ia membalas senyuman itu dan ikut mengangguk mantap. Beberapa detik kemudian, seorang pria berusia pertengahan lima puluhan menyodorkan lengannya padanya. Dan gadis itu pun menerimanya lalu melanjutkan langkahnya tanpa rasa takut.

Seorang pria dengan tuxedo hitam yang membalut tubuhnya berdiri dengan gagahnya di ujung altar itu. Matanya tak bisa lepas dari gadis yang kini berjalan ke arahnya. Gadis yang selama ini mengisi hatinya dan gadis yang menjadi tujuan hidupnya. Bibirnya melengkung ke atas, menunjukkan betapa bahagia dirinya kala itu. Dengan perlahan ia mengangkat tangannya hingga sebatas dada lalu samar-samar ia melambaikan tangannya pada gadis itu. Gadis itu tersenyum. Tersenyum geli karena tingkah laku konyolnya. Dan senyuman gadis itu membuat dirinya ingin cepat-cepat memiliki gadis itu.

Gadis itu kini telah berada di hadapannya. Ayahnya  yang sedari tadi mendampingi gadisnya itu berjalan menelusuri altar kini melepaskan pertautan lengannya dengan gadis itu. Tanpa rasa ragu, Kim Jongwoon mengulurkan kedua tangannya dan gadis itu pun menerimanya. Ia menggenggam kuat tangan wanita itu seakan mengisyaratkan bahwa ia tidak akan pernah melepasnya lagi. Semua orang dalam ruangan sederhana itu tersenyum bahagia dan terus menatap calon pengantin yang kini telah berada diatas altar itu.

Seorang pria tua memulai upacara pernikahan mereka dan membacakan beberapa hal. Kedua insan itu berusaha memfokuskan pikiran mereka pada setiap kata yang keluar dari mulut pria tua itu, namun sepertinya usaha mereka mubazir. Pikiran kedua orang itu terlalu sibuk melayang kesana kemari. Dan tak hanya itu, mereka juga terlalu sibuk mengendalikan perasaan yang ingin meledak di dada mereka.

“Kim Jongwoon, will you be a good husband for Mrs.Choi Sooyoung and always by her side in a good or bad condition, sick or health, poor or rich…” Pria tua itu mulai membacakan janji suci pernikahan. Tangan Jongwoon mengeratkan genggamannya pada tangan kurus Sooyoung, lalu menatap gadis itu sekilas.

Jongwoon menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. Kini ia pun menatap pria tua di hadapannya lekat-lekat. Yakin pada keputusannya, pria itu pun menjawab dengan mantap. “Yes, I will.”

Kini pria tua itu beralih menatap Sooyoung dan kembali membacakan janji suci pernikahan. “Choi Sooyoung, will you be a good wife for Mr.Kim Jongwoon and always by his side in a good or bad condition, sick or health, poor or rich…”

Tak jauh berbeda dengan Jongwoon, Sooyoung pun berusaha memantapkan hatinya dengan menghela nafas perlahan. “Yes, I will.” Ucap Sooyoung tak kalah mantap yang disambut dengan sorakan dan tepuk tangan yang meriah dari orang-orang yang menjadi saksi terikatnya mereka. Wanita itu lalu memasangkan sebuah cincin berkilau ke jari manis pria itu, begitu pula dengan Jongwoon yang memasangkan cincin itu di jari tangan Sooyoung.

“You may kiss Your Bride.” Ucapan pria tua itu menandakan kini Kim Jongwoon dan Choi Sooyoung sudah resmi memiliki ikatan sakral dibawah tali pernikahan. Dengan perasaan berdebar Jongwoon membuka kain tipis yang sedari tadi menutupi wajah cantik Sooyoung. Debaran di hatinya semakin tak beraturan, begitu juga dengan gadis itu yang mencoba menutupi perasaannya dengan menundukkan kepalanya. Dengan lembut Jongwoon mengangkat dagu gadis itu hingga matanya kini berhadapan dengan mata gadis itu. Debaran di hati mereka semakin kencang tatkala jarak diantara mereka semakin berkurang. Dan debaran itu menguap entah kemana ketika bibir keduanya saling bertemu. Jongwoon sedikit melumat bibir gadis itu mencoba memancarkan kebahagiaan yang ia rasakan, dan gadis itu hanya bisa membalasnya.

Cukup lama mereka berciuman hingga dengan nafas yang tidak teratur akhirnya mereka melepas ciuman itu karena kebutuhan oksigen yang mendesak dada mereka masing-masing. Jongwoon dan Sooyoung kembali melempar senyuman terbaiknya. Jongwoon menggenggam tangan Sooyoung erat dan berbalik menatap beberapa orang yang tersenyum bahagia menyaksikan pernikahan mereka.

Kini pesta pernikahan itu beralih pada sebuah pesta kebun yang diadakan di taman belakang Gereja. Semua orang di kebun itu sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Pasangan pengantin yang sedang berbahagia kini sedang sibuk bersalaman menerima ucapan selamat dan berfoto bersama para tamu yang menyelamati mereka. Beberapa pasangan-pasangan lain yang ada di pesta itu memilih untuk berdansa dengan pasangan mereka, mengikuti alunan musik yang menambah kesan meriah pesta itu. Tak hanya itu, beberapa orang juga nampak sibuk mengobrol satu sama lain atau menikmati kudapan yang tersedia. Secara keseluruhan, hampir semua orang di pesta itu nampak bahagia dan menikmati pesta siang itu. Kecuali seorang pria yang kini tengah berdiri di dekat stand minuman sambil menatap miris pasangan pengantin itu.

Cho Kyuhyun. Sedari tadi ia berusaha meyakinkan dirinya jika ia akan baik-baik saja di acara pesta itu. Ia juga berusaha meyakini hatinya jika dirinya akan ikut merasa bahagia jika gadis yang dicintainya itu memancarkan senyuman kebahagiannya. Tapi sepertinya semua itu hanya wujud kemunafikannya. Nyatanya hatinya tak bisa menerima kenyataan jika gadis itu bahagia dengan orang lain, bukan dirinya. Dan yang ia tahu, kini hatinya merasa sakit dengan apa yang dilihatnya.

“Selamat atas pernikahan kalian. Semoga kalian bahagia dan cepat dikaruniai momongan.” Ucapan selamat itu mengalir begitu saja dari mulutnya. Benar-benar  tak sejalan dengan isi hatinya. Ia mencoba tersenyum meskipun pada kenyataanya ia terluka.

“Kyuhyun-ah! Kau benar-benar sahabat terbaikku. Kau juga harus segera menyusul kami, ne?” Dengan perasaan yang berbanding seratus delapan puluh derajat dengan pria itu, Sooyoung menanggapi ucapan sosok yang selalu dianggapnya sahabat terbaik. Wanita itu benar-benar bahagia. Terlihat dari sinar matanya dan caranya tersenyum. Dan melihat kebahagiaan wanita itu, hati Kyuhyun serasa semakin tersayat.

“Tentu saja. Aku tak mungkin membiarkan diriku menghabiskan hidup sebagai perjaka lapuk.” Gurau pria itu.

“Kyuhyunie, aku dengar kau akan berangkat ke Inggris besok pagi, apakah itu benar?”

Kyuhyun mencoba menarik kedua sudut bibirnya terangkat ke atas lalu mengangguk pelan. “Ne, aku harus memenuhi janjiku pada kakek untuk memperdalam ilmu bisnisku sehingga aku akan lebih siap melanjutkan bisnis  keluargaku.”

“Mendadak sekali. Bahkan aku saja tak akan tahu jika Hyoyeon tak mengatakannya padaku. Kalau begitu fighting. Ingat jaga kesehatanmu, ne?”

“Ne, dokter Choi.” Ujar Kyuhyun mengiyakan perkataan sahabatnya itu.

Kini mata Kyuhyun beralih menatap Jongwoon yang berdiri di sebelah Sooyoung. Ia pun mengulurkan tangannya dan Jongwoon pun menerima tangan pria itu. Kedua pria itu saling bersalaman dan tersenyum, meskipun pada kenyataannya keduanya sama-sama tahu jika itu adalah senyuman palsu mereka.

Tak mau semakin menambah luka di hatinya, Kyuhyun pun memutuskan untuk pamit. Dengan gusar ia melangkahkan kakinya meninggalkan ruang pesta itu sambil tersenyum miris. Cukup jauh ia melangkah menjauhi kemeriahan pesta itu, tiba-tiba langkahnya terhenti begitu telinganya menangkap suara yang cukup aneh dan asing untuknya. Merasa penasaran dengan suara itu, Kyuhyun pun mencoba mencari asal suara itu.

Suara itu adalah suara isakan seorang gadis yang kini tengah duduk di bangku yang terletak di bawah pohon sembari menundukkan kepalanya. Dilihat dari pakaiannya, Kyuhyun yakin gadis itu adalah satu dari tamu yang menghadiri resepsi pernikahan itu. Dan Kyuhyun bisa melihat dengan jelas punggung gadis itu bergetar. Meskipun gadis itu menundukkan kepalanya, Kyuhyun bisa melihat dengan jelas air mata yang berlomba turun dari mata gadis itu melalui tampak samping gadis itu.

Di tengah isakannya, tiba-tiba gadis itu melihat sebuah saputangan menghalangi pandangannya pada rerumputan di bawahnya. Tanpa mengangkat kepalanya, gadis itu menerima saputangan itu lalu berusaha menghapus air matanya meskipun pada akhirnya butiran-butiran air mata baru akan kembali membasahi pipinya.

“Sudahlah, jangan menangis. Meskipun aku tidak tahu apa yang membuatmu menangis, setidaknya dari cara airmatamu mengalir tanpa henti aku yakin kau menangis karena kau terluka. Tenang saja, kau bukan satu-satunya orang yang merasa terluka saat ini.”

Suara bass rendah itu menasehatinya. Gadis itu bisa menangkap nada tersakiti pada setiap kata yang keluar dari mulut pria itu. Ada perasaan senasib yang membuncah di dadanya mendengar ucapan pria itu. Dan entah mengapa, ucapan pria itu memaksa air matanya untuk berhenti turun begitu saja.

“Jika kau memang sudah memutuskan untuk datang kesini, setidaknya kau harus siap menghadapinya dengan tersenyum meskipun, senyuman itu adalah senyuman palsu. Jangan bertingkah pengecut dengan bersembunyi disini dan meluapkan perasaanmu begitu saja. Kau tahu, tersenyum itu adalah satu cara untuk belajar tegar.”

Nasehat Kyuhyun berhasil membuat punggung gadis itu berhenti bergetar, menandakan gadis itu telah berhenti menangis.

“Wanita itu sangat jelek ketika menangis. Tapi aku sendiri tak mengerti mengapa para wanita suka sekali menangis untuk mengambil hati seorang pria.”

Itulah kalimat terakhir yang terlontar dari pria itu sebelum ia merasakan kaki-kaki pria itu melangkah menjauh meninggalkannya. Gadis itu masih terdiam disana, memandangi saputangan bermotif kotak-kotak berwarna biru gelap di tangannya. Dengan ragu, gadis itu mengangkat kepalanya, dan menatap punggung pria itu yang berada sudah sangat jauh dari dirinya.

Hingga akhirnya punggung pria itu menghilang karena berbelok menuju parkiran. Kini gadis itu benar-benar merasa berhutang terima kasih pada pria itu dan memutuskan untuk mengejar pria itu dengan ingatan samar-samar mengenai pria itu. Namun ketika dirinya baru akan berbelok menuju parkiran, sebuah suara yang sangat familiar memanggilnya. Memaksanya untuk berhenti berlari dan memutar badannya menghadap orang itu.

“Stephanie, kau akan kemana?” Ucap sang pemilik suara yang tak lain dan tak bukan adalah eommanya.

“Aku…”

“Apa kau sudah menyelamati Jongwoon? Lebih baik aku menyelamati mereka sekarang lalu kita pulang.”

Mendengar ucapan sang Eomma yang lebih terdengar seperti perintah itu, membuat Tiffany menghela napas kecewa. Sekilas ia memutar tubuhnya, menatap jalan menuju parkiran yang kosong lalu menghela napas lagi. Bibirnya menyunggingkan senyuman kecil meskipun masih didominasi perasaan kecewa.

“Bahkan aku belum melihat wajahnya dan mengucapkan terimakasih.” Sesalnya sebelum akhirnya melangkah menuju sang Eomma.

*****

Seharusnya gadis itu tak murung seperti saat ini. Hari ini ia resmi menamatkan sekolah menengah atasnya dan seharusnya ia senang dan berbangga saat itu. Terlebih, hari itu ia dinobatkan sebagai siswa teladan sekaligus berprestasi. Bukankah itu artinya ia tak memiliki alasan untuk bersedih seperti saat ini?

Dengan wajah kusutnya, gadis itu tetap asyik pada kesibukannya. Memasukkan satu demi satu pakaiannya pada sebuah koper berukuran sedang, meskipun otaknya tidak sepenuhnya tertuju pada pakaian-pakaian itu. Beberapa saat kemudian, ia dapat mendengar pintu kamarnya terbuka dan menyadari seseorang kini tengah masuk ke dalam kamarnya.

“Apakah menyenangkan menjadi lulusan SMA?” Tanya seseorang yang baru saja memasuki kamar gadis itu.

“Bukankah kau sendiri sudah pernah merasakannya jauh lebih dulu  sebelumku?” Jawab gadis itu datar.

“Taeyeon-ah, aku tahu kau masih marah dan tertekan dengan keadaan ini tapi aku mohon—”

“Bahkan aku sama sekali tak memiliki alasan untuk marah. Ini sudah menjadi keputusan mereka untuk berpisah  Youngwoon Oppa, dan sekarang aku sudah bisa menerimanya.” Potong gadis itu sarkatis.

Pria bernama Youngwoon itu menghela nafas panjang, menyerah. Ia hanya bisa menatap adiknya yang keras kepala itu sambil tersenyum pahit. Namun saat itu juga, mata pria itu menangkap sesuatu di atas meja belajar gadis itu. Sebuah map yang bertuliskan nama sekolah Taeyeon, sebuah medali emas, dan sebuket bunga.

‘Bahkan semua itu belum cukup untuk mengalihkan hatinya barang sejenak dari situasi ini.’

“Jadi kau akan tetap pergi Taeyeonie?” Tanyanya sambil menatap koper Taeyeon yang sudah hampir penuh dengan pakaian-pakaian gadis itu.

“Mungkin dengan pergi aku akan merasa lebih baik. Lagipula untuk apa aku disini? Kau diputuskan untuk ikut Appa dan Kibum ikut bersama Eomma, dan aku? Bahkan nasibku tak di tentukan disini.”

“Kim Taeyeon!” Ucap Youngwoon geram. “Aku juga merasa sedih dengan situasi ini, dan berhentilah bersikap seolah-olah kau satu-satunya pihak yang menderita disini.”

Taeyeon mengalihkan pandangannya dari baju-baju itu pada kakaknya yang nampak kesal lalu menatap pria itu dengan tatapan tak peduli.

“Tidakkah miris, kita bertiga lahir atas dasar perjodohan dan perjanjian, tanpa ada rasa cinta. Dan akhirnya keluarga kita harus berakhir seperti ini.” Kini gadis itu tak bisa lagi membendung perasaan sakit yang mendera hatinya. Matanya nampak berkaca-kaca, namun ia tetap bersikeras untuk tidak membiarkan cairan bening itu membasahi pipinya. Dan saat itu juga Youngwoon mendekati adiknya itu lalu merengkuh tubuh mungil adiknya itu.

*****

Taeyeon mengayuh sepedanya dengan terburu-buru. Ia tengah berpacu dengan waktu. Sesekali ia akan mengangkat tangan kirinya sampai batas dada lalu melirik sekilas pada arlojinya. Dan ekspresi cemas di wajahnya kian menjadi-jadi ketika ia menyadari ia nyaris terlambat.

Setibanya di tempat tujuan, gadis itu langsung melesat masuk dan menghadap seorang pria berusia lima puluhan yang sedang asyik mengutak-atik kalkulator dan kertas-kertas nota di hadapannya. Ada perasaan takut di benak gadis itu ketika ia harus berhadapan dengan pria yang terkenal tegas itu. Namun mau bagaimana lagi, ini resiko yang harus ia ambil karena ia terlambat datang hari itu.

“Josonghamnida Sajangnim. Tadi saya ada jam tambahan materi di kampus hingga saya datang terlambat.” Hanya itu yang bisa gadis itu katakan. Sambil menundukkan kepalanya takut, ia hanya bisa berharap setidaknya pria tua di hadapannya ini akan memaafkannya untuk kesekian kali.

Pria tua itu mengangkat kepalanya lalu menatap Taeyeon dengan tatapan yang dapat dikategorikan mengerikan. Sedetik kemudian pria itu menggelengkan kepalanya dan mendecakkan lidahnya dengan kesal.

“Empat bulan kau bekerja disini, dan kau sudah berkali-kali datang terlambat,  Kim Taeyeon. Kau selalu menggunakan alasan yang sama. Kalau memang waktumu tak mengijinkanmu untuk bekerja, mengapa kau percaya diri sekali menawarkan dirimu untuk bekerja di restoranku. Jangan mentang-mentang kau adalah teman putriku, Joohyun, kau merasa diperlakukan istimewa disini.” Ucap pria itu dengan nada geram yang menyertai setiap katanya.

“Sekali lagi saya ucapkan maaf Seo Sajangnim. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Tanpa mengangkat wajahnya, gadis itu kembali meminta maaf hanya saja kali ini disertai dengan membungkukkan badan berkali-kali.

Pria yang dipanggil Seo Sajangnim itu menghela nafas kesal. “Taeyeon-ssi.”

“W-wae Tuan?” Jawab Taeyeon tergagap.

“Aku rasa aku bukanlah orang yang kekurangan tenaga di restoranku ini.”

Ucapan pria itu membuat Taeyeon dihinggapi perasaan yang tak enak. Dengan ragu ia mengangkat wajahnya dan menatap sajangnimnya itu.

“Maksud anda sajangnim?”

Pria itu membuka laci mejanya lalu mengambil sebuah amplop berwarna coklat lalu meyodorkannya pada Taeyeon.

“Terimalah.”

“A-apa i-ni?”

Pria itu kembali menghela nafas panjang. “Maafkan aku Taeyeon-ssi, tapi sepertinya ini adalah gaji terakhirmu.”

Taeyeon menghentikan sepedanya di sebuah taman yang tak jauh dari kamar sewaannya. Dengan langkah gontai, gadis itu berjalan menuju sebuah bangku yang terletak di bawah sebuah pohon besar di sisi taman itu. Bangku yang menjadi tempat favoritnya selama empat bulan terakhir dan bangku yang menjadi tempat ia meluapkan segala keluh kesahnya selama empat bulan ini.

Sambil mendudukkan dirinya di bangku itu, Taeyeon menengadahkan kepalanya menatap langit biru hari itu. Setidaknya langit biru Seoul menjadi saksi bisu empat bulan kehidupannya selama di Seoul dan empat bulan dirinya meninggalkan busan untuk membuka lembaran baru kehidupannya di Seoul. Sejak perceraian kedua orang tuanya, ia memang sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah impiannya. Dan berkat kerajinannya ia berhasil memperoleh beasiswa di Dongguk University pada jurusan Seni Theater.

Berada jauh dari keluarganya terlebih setelah perceraian kedua orang tuanya, tak lekas membuat Taeyeon memberi jarak diantara dirinya dengan ayah, ibu serta kedua saudara laki-lakinya. Ia tetap rajin berkomunikasi dengan ayah dan kakak laki-lakinya yang kini menetap di Jepang maupun Ibu dan adik laki-lakinya yang masih menetap di Busan. Tapi bukan berarti ia membiarkan dirinya masih tergantung kepada ayah dan ibunya. Ia sudah bertekad untuk menjadi anak yang mandiri dan tak bergantung pada orang tuanya. Namun sayang, segala sesuatu tidaklah semudah yang orang-orang pikirkan dan rencanakan. Tapi gadis itu tetap bertekad untuk sebisa mungkin tak membiarkan air mata turun membasahi pipinya sesulit apapun keadaan yang harus ia hadapi.

Lama ia melamun, dering ponselnya seolah menariknya dari dunia lamunannya. Dengan malas ia meraih ponselnya itu. Dan tanpa membaca nama penelepon yang tertera, Taeyeon langsung membuka flap ponselnya laluu mendekatkannya ke telinga.

“T-Taeyeon-ah.”

Suara isakan penuh penyesalan itu langsung menyapa telinga Taeyeon begitu ponselnya menempel di telinganya. Bahkan sang penelepon seolah tidak memberikannya izin untuk sekedar mengatakan ‘Yeobseyo’. Dan satu hal yang Taeyeon sadari, suara itu tidak asing, dan bahkan sangat familiar untuknya.

“Hyun.. Ada apa?” Tanya Taeyeon sambil berusaha mengatur suaranya agar terdengar tenang dan baik-baik saja.

“M-Mianhaee.. Aku sudah dengar dari Appa.. ” Sang penelepon yang  bernama Seo Joohyun itu kembali terisak.

“Sudahlah Hyun, ini bukan salahmu. Aku memang sudah keterlaluan dan wajar saja jika ayahmu sudah melewati batas kesabarannya menghadapi kebiasaanku ini.”

“Tidak. Jika saja aku tidak memaksamu untuk menemaniku menemui Yonghwa Oppa, kau pasti tidak akan terlambat dan tidak akan berakhir seperti ini.”

Taeyeon hanya bisa menghela napas pasrah mendengar setiap kata yang diucapkan gadis itu. Meskipun ia sedang tidak berhadapan dengan teman satu kampusnya itu, ia yakin sekali saat ini Seohyun tengah berbicara dengan butiran air mata yang silih berganti membasahi pipinya. Dan kali ini Taeyeon tidak dapat menahan gejolak yang ada di dalam hatinya. Air mata mulai mengantri di kelopak matanya. Hidungnya mulai memerah. Dan beberapa saat kemudian Taeyeon sudah terlarut dalam tangisnya.

“T-Taeng..”

“Hyun, aku sedang tidak enak badan. Besok kita bertemu di kampus, ne?”

Buru-buru gadis itu memutuskan sambungan sebelum tangisannya semakin menjadi-jadi. Dan benar saja, ketika sambungan telepon terputus, gadis itu langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mengingkari janjinya sendiri. Menangis.

*****

“Kandunganmu kini sudah berusia empat bulan Sooyoung-ah dan kau harus menjaga kandunganmu itu baik-baik.” Ucap seorang dokter kandungan muda kepada seorang wanita yang tengah duduk di hadapannya sambil menyimak dengan seksama ucapan dokter itu.

“Ah, tak terasa sudah empat bulan ya Yunho sunbae. Aku yakin ketika Jongwoon Oppa tiba, ia sangat terkejut sekaligus bahagia mengetahui usia kandunganku yang sudah menginjak empat bulan.” Ucap wanita itu dengan wajah riang dan bahagianya.

Dokter bernama Yunho itu menaikkan sebelah alisnya sambil menatap wanita itu dengan tatapan tak mengerti. “Kau belum memberi tahu Kim Jongwoon, Sooyoung-ah?”

Sooyoung menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul. “Tentu saja belum, ia kan masih di Jepang selama tiga bulan terakhir. Tentu saja aku akan memberi tahunya secara langsung ketika ia sudah pulang. Hitung-hitung hadiah sambutan.”

“Ah benar juga, aku dengar ia dikirim ke Jepang oleh pihak rumah sakit untuk study banding. Ucap pria itu sambil mengangguk paham. “Tapi malang sekali nasib pengantin baru yang satu ini ya.”

“Ne, karena dia akan mengambil spesialis kandungan, pihak rumah sakit mengirimnya ke sana. Lagipula, aku tidak terlalu mempermasalahkannya.”

“Wah, berarti jika Kim Jongwoon menjadi dokter kandungan, aku harus siap-siap membagi pasienku dengannya.” Gurau Yunho sambil melipat tangan di depan dada dan memasang ekspresi pura-pura kesal. Sooyoung yang duduk dihadapannya hanya bisa terkekeh geli melihat tingkah sunbaenya itu.

“Sunbae ini berlebihan sekali. Kalau begitu aku permisi dulu, aku juga memiliki pasien yang harus kutangani. Titip salam untuk Ara Eonni ya sunbae.” Wanita itu kembali tersenyum sambil beranjak dari duduknya.

“Baiklah, tapi ingat kau tak boleh kelelahan dan harus selalu berhati-hati dengan kandunganmu.”

“Tentu saja, Sunbae.” Ucap Sooyoung sambil melambaikan tangannya  sebelum menghilang di balik pintu ruang praktik Yunho.

*****

“Dokter, anda tidak pulang?”

Sooyoung yang sedari tadi fokus membaca rekaman medis salah seorang pasiennya sedikit tersentak dan menolehkan kepalanya pada asal suara. Seorang gadis yang berperawakan tak kalah tinggi dengan Sooyoung kini tengah berdiri di dekatnya sambil membawa secangkir teh hangat.

“Sulli-ah, belum pulang?” Ujar Sooyoung balik bertanya sambil tersenyum hangat.

“Tentu saja saya akan pulang setelah ini. Anda sendiri?” Gadis bernama Sulli yang notabene adalah salah seorang perawat yang bekerja bersama Sooyoung itu meletakkan cangkir teh yang ia bawa di atas meja Sooyoung. Sejurus kemudian, Sooyoung menutup berkas rekaman medis yang ia baca lalu mengangkat cangkir teh di hadapannya dan meniupinya secara perlahan untuk sekedar mengusir hawa panas dari teh itu.

“Tentu saja aku akan pulang. Aku hanya malas saja menghabiskan waktuku sendiri di rumah.”Jelasnya lalu menyesap tehnya dengan perlahan.

“Tapi anda seharusnya beristirahat bukan? Ingat kandungan anda Dokter.”

“Tentu saja aku tidak lupa. Hey, mana mungkin aku melupakan anakku sendiri?” Sooyoung terkekeh geli menanggapi ucapan Sulli. Sementara gadis itu hanya menggaruk-garukkan tengkuknya yang tak gatal.

“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu Dokter. Sampai jumpa besok.” Gadis itu membungkukkan badannya sekilas lalu meninggalkan Sooyoung sendiri di ruang praktiknya. Cukup lama ia masih terdiam di ruangan itu sendiri hingga di otaknya terbesit satu ide untuk sekedar membunuh rasa bosan dan kesepiannya kala itu.

Diraihnya ponsel yang ia letakkan di atas meja dan  menekan beberapa kombinasi nomor. Dengan penuh harap, Sooyoung menempelkan ponselnya di telinga dan mendengarkan dering monotone yang membuatnya tak sabar.

“Yeobseyo.” Sapa seorang pria di seberang sana setelah beberapa detik. Ekspresi wajah Sooyoung spontan berubah semakin cerah tatkala suara pria itu menyapa indra pendengarannya.

“Jongwoon Oppa!!!” Seru gadis itu dengan nada manja sementara Jongwoon di seberang sana hanya terkekeh geli membayangkan ekspresi istrinya saat ini.

“Sepertinya kau sangat merindukanku. Kau belum tidur Yeobo?”

Sooyoung terdiam. Ia nampak memikirkan jawaban yang akan ia berikan pada pria itu

“Yeobo, kau masih disana?”.

“Ah ne, aku masih disini. Merindukanmu? Kau ini terlalu percaya diri. Aku hanya ingin mengingatkan jangan lupa membawakanku oleh – oleh dari Jepang. Aku baru saja selesai mandi, dan akan tidur sekarang.” Ucap gadis itu bohong. Wanita itu bukan dengan maksud tertentu membohongi pria itu. Hanya saja, ia tak mau suaminya itu mengkhawatirkan dirinya saat ini.

“Sepertinya kau lebih antusias dengan oleh-oleh ketimbang dengan diriku. Oh ya mungkin minggu depan aku sudah bisa pulang, jadi tunggu aku ne?”

“Tentu saja aku menunggumu dan oleh-oleh darimu. Kau kira selama ini aku tidak pernah menunggumu dan melupakanmu begitu saja? Aku sangat merindukanmu Oppa” Ujar wanita itu mencoba bergurau.

“Jinja? Aku juga sangat merindukanmu. Aku benar-benar tak sabar ingin segera pulang. Oh ya berhubung ini sudah malam, lebih baik kau tidur, Good Night.”

“Good Night too, Oppa. Saranghae.”

“Nado Saranghae Young.”

*****

Dengan hati-hati, Sooyoung mengemudikan mobilnya. Berkendara di malam hari seperti saat ini memang betul-betul memerlukan konsentrasi ekstra, dan prinsip itu yang dipegang oleh Sooyoung. Dua puluh menit berlalu, dan tinggal sepuluh menit lagi ia akan tiba di rumahnya. Setidaknya saat ini otaknya sudah di penuhi bayangan akan hal-hal yang akan ia lakukan setibanya di rumah. Berendam air hangat, menikmati secangkir camomile tea dan mendengarkan alunan musik klasik sebelum tidur diatas ranjang kesayangannya.

Namun semua bayangan menyenangkan itu harus Sooyung buang jauh-jauh bersamaan dengan mobilnya yang mendadak berhenti dan entah mengapa tak mau menyala lagi. Wanita itu mencoba untuk menstarter mobilnya berkali-kali, namun hasilnya nihil.

“Kenapa bisa seperti ini.” Ucap wanita itu kesal sambil memukul kemudi di hadapannya. Merasa putus asa dengan usahanya yang tak memberikan hasil, Sooyoung memutuskan untuk turun dari mobilnya dan berdiri di trotoar, berharap ada taksi yang akan melintas di hadapannya.

“Pukul sebelas malam.” Ucap Sooyoung sambil melirik arloji yang melingkar di tangannya. “Apa masih ada taksi yang datang jam segini?”

Cukup lama wanita itu berdiri sambil menunggu. Kini perasaan takut mulai menyelimuti hatinya. Bagaimana tidak takut? Kini ia tengah berdiri di depan pertokoan yang sudah tutup. Suasana di sekitar pertokoan itu sangatlah sepi kecuali satu bangunan yang nampak masih ramai dengan pencahayaan yang remang-remang. Dan bisa Sooyoung yakini, bangunan itu adalah kedai minum atau semacamnya.

Kini harapan gadis itu hanya satu orang, yaitu sahabat sekaligus adik iparnya Kim Hyoyeon. Tanpa berpikir panjang, Sooyoung buru-buru merogoh tasnya dan mencoba mencari ponselnya. Namun sayang, belum sempat ia mendapatkan ponselnya, ia merasakan  sebuah tangan dengan kasar menyeretnya hingga tas yang melingkar di tangannya jatuh beserta isinya yang tumpah di terotoar.

“Ya! Lepaskan!” Berontak Sooyoung sambil berusaha melepaskan pegangan pria itu di tangannya. Namun sayang, sepertinya tenaga pria itu memang lebih besar darinya, sehingga cengkeraman pria itu ditangannya tak bisa dihempaskan oleh Sooyoung. Bahkan kini tangan pria itu membekap mulutnya agar ia tidak bisa berteriak.

Sooyoung hanya melihat pria itu samar-samar karena otaknya terlalu sibuk memberontak dan memikirkan cara untuk melepaskan diri dari pria itu, terlebih hari itu sudah malam, sehingga cukup sulit untuk memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Yang bisa Sooyoung simpulkan hanya pria itu berbadan cukup besar, sehingga tenaganya tentu lebih besar dari Sooyoung.

Tanpa ampun dan tanpa memperdulikan Sooyoung yang berusaha memberontak sambil menendang-nendang sekitarnya, pria itu menyeret Sooyoung ke dalam sebuah gang kecil tak jauh dari pertokoan-pertokoan itu. Dengan sekali hentakan pria itu melemparkan Sooyoung dengan kasar hingga menubruk dinding. Soooyoung menangis kesakitan merasakan sakit disikunya yang terbentur dinding dan mengeluarkan darah.

“Siapa kau sebenarnya? Apa maumu?!” Teriak Sooyoung mulai terisak.

Pria itu tak menjawab. Dengan terhuyung-huyung, pria itu mendekati Sooyoung dan menarik dagu Sooyoung dengan kasar agar menghadapnya. Satu hal yang Sooyoung yakini adalah pria di hadapannya sedang keadaan mabuk saat ini. Terlihat dari jalannya yang terhuyung-huyung dan nafasnya yang berbau alkohol ketika menarik dagu Sooyoung. Tidak hanya itu,  mata merah yang sedang menatap Sooyoung dengan tatapan mengerikan itu juga menyimpulkan demikian.

“Ssst, diamlah. Aku akan mengajakmu bersenang-senang malam ini.”

“S-siapa kau? Apa Maumu!” Jerit  Sooyoung sambil berusaha melawan rasa takutnya. Pria itu semakin mendekatkan dirinya pada Sooyoung. Dan saat itu juga, Sooyoung hanya bisa memejamkan matanya pasrah sambil berharap ada malaikat yang akan menolongnya.

*****

Taeyeon memakirkan sepedanya sembarang dan melangkahkan kakinya gontai menelusuri jalanan malam itu. Sedari tadi yang ia lakukan hanya mengayuh sepedanya tanpa tujuan. Bahkan, ia sendiri tak sadar kakinya telah mengayuh hingga membawanya pada jalanan yang terletak diantara kedua pertokoan yang saling berhadapan. Jalanan itu nampak gelap, tak heran karena saat itu jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan toko-toko di kompleks itu sudah tutup. Udara malam itu benar-benar dingin. Menusuk hingga tulang dan hatinya yang sedang kalut saat ini.

Tak jauh dari tempatnya berada, samar-samar ia melihat seorang wanita yang tengah berdiri di trotoar tak jauh dari sebuah mobil yang menepi di pinggir jalan. Wanita itu nampak gusar dan sibuk merogoh tasnya. Taeyeon berspekulasi jika mobil yang tengah di kendarai wanita itu mogok dan kini wanita itu sedang berusaha mencari pertolongan. Awalnya, Taeyeon ingin bersikap acuh dengan situasi yang dihadapi wanita itu. Namun hatinya mendadak dihinggapi perasaan tak enak ketika ia melihat seorang pria bertubuh cukup besar dengan botol bir di tangan kanannya berjalan menuju tempat wanita itu berdiri. Pria itu berjalan terhuyung-huyung dan Taeyeon yakin pria itu sedang dalam keadaan mabuk.

Taeyeon masih berdiri di tempatnya. Memperhatikan pria mabuk itu dan wanita gusar yang tengah berdiri di trotoar. Dan perasaan buruk di hatinya kian menjadi-jadi ketika ia menyaksikan pria mabuk itu menarik tangan wanita itu. Tak hanya itu pria itu juga membekap mulut wanita itu dan menarik tangan sang wanita dengan kasar menuju sebuah gang sempit, tak jauh dari tempat wanita itu berdiri. Tanpa memperdulikan wanita itu yang sedang meronta-ronta dan berusaha memberontak.

“Apa yang akan dilakukan pria itu.” Ucap Taeyeon panik. Dengan ragu, ia mengendap-endap mengikuti keduanya menuju gang itu. Dengan dipenuhi rasa takut, ia bersembunyi di balik tiang lampu diujung gang itu, memperhatikan keduanya. Ia bisa melihat dengan jelas, pria itu mendekati wanita itu lalu menarik dagunya.

“Siapa kau sebenarnya? Apa maumu?” Teriak wanita itu mulai terisak.

“Ssst, diamlah. Aku akan mengajakmu bersenang-senang malam ini.” Ucap pria itu tak peduli.

“S-siapa kau? Apa Maumu!” Jerit  wanita itu.  Pria itu semakin mendekatkan dirinya pada wanita itu. Dan saat itu juga, wanita itu hanya bisa memejamkan matanya pasrah.

Perlahan tangan pria itu menyentuh wajah wanita itu lalu menyentuh bagian leher dan berakhir dengan kembali menarik dagu wanita itu dengan kasar. Tanpa pria itu sadari, wanita itu mengangkat kaki kirinya dengan perlahan lalu menggerakkannya hingga menendang lutut pria itu.

“Arrrghh!!” Jerit pria itu kesakitan sambil memegangi lututnya sementara wanita itu berusaha untuk melarikan diri.  Namun sayang, belum jauh wanita itu melangkah, pria itu sudah menahan pergelangan wanita itu dan menariknya sehingga tubuh wanita itu terhempas mengghantam dinding. Wanita itu nampak jatuh terduduk sambil memegangi perutnya namun pria itu tetap tak peduli dan kini  kembali mendekati wanita itu. Taeyeon tak bisa berdiam diri lagi, kini ia melesat keluar dari persembunyiannya, berlari lalu mencoba mendorong tubuh pria itu hingga tubuh pria itu terdorong jatuh kebelakang.

“Apa maumu bocah?!” Teriak pria mabuk itu dengan emosi yang memuncak.

Dengan tatapan penuh kemarahan, pria itu beranjak dan mendekati kedua wanita itu lalu menarik tubuh Taeyeon dan menghempaskannya ke dinding, sama seperti yang ia lakukan kepada Sooyoung sebelumnya.

“Arggh!” Jerit Taeyeon sambil menahan sakit pada sikunya yang menghantam dinding. Ia memegangi sikunya dan mencoba menahan darah yang mengalir dari sikunya itu. Tanpa memperdulikan keberadaan Taeyeon, pria itu kembali mendekati Sooyoung yang masih terduduk menahan sakit di perutnya. Dengan emosi yang kian tersulutkan, kini pria itu siap melayangkan botol biar yang sedari tadi di genggam sebelah tangannya pada Sooyoung. Tanpa berpikir panjang, Taeyeon berlari mendekati Sooyoung dan berdiri di depan wanita itu. Terakhir yang Taeyeon ingat hanya botol bir yang melayang diatas kepalanya sebelum rasa sakit yang tak tertangguhkan tiba-tiba menghantam kepalanya dan bau anyir darah yang menyeruak hidungnya. Kepalanya terasa berputar. Keadaan sekitarnya berjelaga menjadi siluet yang semakin lama berubah menjadi gelap.

*****

Berkas cahaya menembus jendela dan masuk kedalam retina mata Sooyoung yang baru saja terbuka. Ia mengerjapkan kedua kelopak matanya, masih menyesuaikan diri untuk bisa menerima cahaya yang datang begitu saja menghambur matanya. Ia memegang keningnya, terasa pusing disana. Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, Sooyoung berusaha mengingat kejadian apa saja yang terjadi padanya.

Ketika rasa penasarannya memuncak, matanya justru menatap sekelilingnya dengan seksama. Satu hal yang ia sadari, kini ia tengah berada di suatu kamar bernuansa putih dan gading yang ia yakini sebagai kamar perawatan rumah sakit. Belum sempat kepalanya memroses hal-hal yang baru saja terjadi, terdengar derit pintu terbuka pada ujung ruangan. Sooyoung pun berusaha bangun dari tidurnya dan bermaksud untuk duduk.

“Argh.” Sooyoung menjerit kecil saat ia merasakan sakit pada bagian perutnya.

“Young!” Hyoyeon yang baru saja memasuki kamar Sooyoung langsung berlari kecil menghampiri wanita itu dan membantunya untuk duduk.

“Kau tak apa?” Tanya Hyoyeon dengan raut wajah yang panik, sementara Sooyoung hanya menganggukkan kepalanya kecil dan menghela nafas panjang.

“Kau tahu, beruntung semalam ada satpam yang sedang berpatroli di sekitar tempat kau di temukan, sehingga kau tidak terlambat ditangani.”

Sooyoung tidak terlalu menyimak ucapan Hyoyeon yang kini berada di sampingnya. Tiba-tiba kini otaknya tertuju pada satu hal. Spontan ia memegangi bagian perutnya dengan perasaan takut.

“Tenang saja, janinmu selamat. Kau sungguh beruntung Young, sepertinya Tuhan memberikan keajaiban untukmu. Dokter mengatakan janinmu memang mengalami guncangan, tapi janinmu tetap selamat.” Ujar Hyoyeon seolah menjawab rasa takut yang mulai mendera hati Sooyoung.

“J-jadi..”

“Hey, bahkan kau menyembunyikan kehamilanmu ini. Hebat sekali kau menyimpan semuanya sendiri. Bahkan sahabatmu saja tak kau beritahu.” Hyoyeon kembali berceloteh panjang lebar sembari memasang ekspresi kesal yang dibuat-buat dan terkesan berlebihan.

Sooyoung tersenyum tipis menanggapi ucapan Hyoyeon. “Ya, Kim Hyoyeon. Urusi saja putrimu itu dulu. Daripada kau sibuk mengurusi aku disini, sepertinya Hyoeun yang baru berusia dua bulan itu lebih memerlukan perhatianmu.”

“Kau harus bersyukur Sooyoung-ah, Appa dan Eomma masih di Amerika untuk beberapa bulan ke depan sehingga tak ada yang mengomelimu karena kau telah menyembunyikan kehamilanmu dan malah terkena insiden seperti ini.”

“Ne. aku tahu itu. Tapi tentu saja aku akan menceritakan semuanya ke pada mereka, setelah aku menceritakan pada Jongwoon Oppa tentunya.”

“Sooyoung-ah…” Panggil Hyoyeon  tiba-tiba dengan wajah yang berubah menjadi serius.

“Wae, Hyo-ah?”

“Siapa gadis itu?”

“Gadis?” Ulang Sooyoung sambil mengerutkan keningnya tak mengerti.

“Gadis yang ditemukan bersamamu di lokasi insiden itu.”

Sooyoung mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam. Samar-samar ia mengingat ada seorang gadis yang mencoba membantunya dan yang terakhir ia ingat ada suara pecahan kaca dan jeritan kecil dari gadis itu sebelum ia tak sadarkan diri dan berakhir di kamar ini.

Sooyoung mendegut ludah, merasakan ada yang tak beres kala itu. “Hyo-ah, apa yang terjadi pada gadis itu?” Kini wajah Sooyoung dipenuhi guratan khawatir.

“Kau harus melihatnya sendiri Young.”

Dengan bantuan Hyoyeon, kaki-kaki kecil wanita itu kini melangkah menuju ruangan itu. Ruangan yang menjadi tempat perawatan Kim Taeyeon. Hyoyeon membuka pintu di hadapannya sementara Sooyoung mengatur degup jantungnya melalui setiap hembusan nafasnya. Ketika pintu dihadapannya terbuka, satu hal yang Sooyoung bisa lihat adalah seorang gadis yang tengah berdiri membelakanginya menghadap jendela yang tengah terbuka. Cahaya matahari membaur menyinari dirinya. Rambut panjangnya melambai-lambai tertiup oleh angin.

Sooyoung menolehkan kepalanya kepada Hyoyeon dan Hyoyeon menganggukkan kepalanya seolah berkata ‘tidak apa’. Dengan bermodalkan kepercayaan yang diberi Hyoyeon, Sooyoung melangkahkan kakinya perlahan mendekati gadis itu. Belum sampai ia pada gadis itu, gadis itu menolehkan kepalanya.

“Siapa itu?” Tanya gadis itu sambil membalikkan badannya. Sepertinya gadis itu bisa mendengar derap langkah Sooyoung yang tengah berjalan mendekatinya. Gadis itu nampak cukup mengenaskan. Perban tebal membalut kepala hingga matanya.  Tak hanya itu, wajah sampai tangannya juga terdapat beberapa goresan benda tajam. Meskipun setengah dari wajah gadis itu tertutup oleh perban, Sooyoung sangat yakin gadis itu nampak gusar dan sedikit ketakutan.

“Kau sudah bangun rupanya”. Ucap Sooyoung berbasa-basi, namun tak menghapus ketakutan di wajah gadis itu.

“Kau tidak perlu takut padaku. Aku Sooyoung. Choi Sooyoung. Dan aku tidak memiliki maksud buruk kepadamu.” Ujar Sooyoung mencoba meyakini.

Kini raut wajah gadis itu berubah datar. Ia kembali menghadap keluar, menikmati angin yang menerpa tubuhnya. Dari cara gadis itu terdiam, Sooyoung yakin gadis itu nampak putus asa, putus asa dengan keadaannya saat ini. Ingin rasanya Sooyoung berterimakasih dan meminta maaf, namun mulutnya terlalu kelu untuk sekedar berkata. Dan ia hanya bisa membiarkan dirinya terdiam dan terhanyut bersama desiran angin yang ikut menerpa tubuhnya.

Tak lama  kemudian seorang dokter bersama seorang perawat memasuki ruangan itu. Keduanya sekilas tersenyum kepada Sooyoung dan Sooyung hanya membalas dengan senyuman serta anggukan kecil. Lalu pandangan keduanya teralihkan pada gadis itu. Gadis yang tengah menghadap jendela. Kim Taeyeon.

“Nona Kim Taeyeon, apa anda sudah merasa lebih baik saat ini?” Tanya sang dokter pada Taeyeon.

‘Ah, jadi namanya Kim Taeyeon.’ Gumam Sooyoung di dalam hatinya.

Taeyeon memutar badannya sembilan puluh derajat dan kembali menunjukkan raut wajah bingungnya.

“Taeyeon-ssi, itu adalah suara dokter yang menanganimu.” Jelas Sooyoung menjawab kebingungan Taeyeon.

Gadis itu tersenyum tipis meskipun senyumannya adalah senyuman pahit. “Tentu saja aku baik-baik saja.” Ucap gadis itu sambil menganggukkan kepalanya pelan.

“Lalu bagaimana dengan kepala anda? Apakah masih terasa sakit atau berat mungkin?”

Gadis itu kembali tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Dokter.” Panggil Taeyeon pelan.

“Ne, Nona Kim?”

“Apa yang terjadi pada mataku? Mengapa kau juga membalut mataku dengan perban? Apakah aku…. Buta?”

Dokter itu menarik nafas berat dan mengeluarkannya secara perlahan. Dari raut wajahnya, Sooyoung yakin dokter itu sudah menduga akan mendapat pertanyaan itu dari Taeyeon. Tak hanya Taeyeon yang nampak penasaran menantikan jawaban dari dokter itu, namun juga Sooyoung.

“Meskipun saya tak tahu pasti bagaimana insiden kemarin malam terjadi, yang saya tahu satpam yang membawa anda kesini mengatakan bahwa kemungkinan besar anda mendapat pukulan dengan botol bir di kepala anda.  Saat satpam itu menemukan anda dengan Dokter Choi, anda tengah dalam keadaan tak sadarkan diri dengan kepala yang berlumuran darah. Tak hanya itu, satpam itu juga menemukan butiran-butiran pecahan kaca di lokasi insiden itu. Begitu juga kami yang menemukan butiran-butiran pecahan kaca di rambut anda dan luka-luka goresan di tangan dan wajah anda.”

“Lalu intinya apa yang terjadi pada matanya, dokter.” Ucap Sooyoung yang justru nampak lebih tak sabar dibandingkan Taeyeon.

“Kami menemukan ada butiran pecahan kaca yang menggores dan merobek kornea mata Nona Kim, sehingga menyebabkan mata nona Kim—”

“Cukup!” Ucap Taeyeon memotong ucapan dokter itu. “Aku sudah mengerti sekarang. Jadi, kapan kau akan melepas perban yang membalut mataku ini, dokter?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Taeyeon sontak membuat orang-orang di ruangan itu menatapnya tak percaya.

“Kami akan membukanya ketika anda siap dengan konsekuensi yang anda akan hadapi.”

“Kalau begitu buka sekarang saja.”

“Apa anda yakin? Sebaiknya anda menunggu diri anda siap nona Kim.”

“Tidak. Justru aku akan merasa sakit dan merasa tak berdaya jika kau semakin menundanya. Lebih baik aku menghadapinya dari sekarang, sehingga rasa sakit dan sedih yang kurasakan akan lebih sedikit.”

Dokter itu menganggukkan kepalanya paham sementara Sooyoung yang dari tadi menyaksikan sekaligus mendengarkan percakapan mereka hanya berusaha mengontrol perasaanya takut dan bersalahnya sebisa mungkin.

“Baiklah kalau begitu keinginan anda.”

Begitu dokter itu mengiyakan permintaan Taeyeon, suster yang sedari tadi mengekor bersama dokter itu menuntun Taeyeon untuk duduk di sisi tempat tidur. Dokter itu membuka lapisan perban yang membalut mata Taeyeon hingga tersisa kapas yang menempel di masing-masing mata Taeyeon.

Sooyoung menelan ludah memperhatikan apa yang sedang terjadi di hadapannya. Dokter menatapnya lama lalu menyuruh suster untuk mendekatinya. “Apa anda benar-benar siap dan yakin? Saya akan membuka kapasnya sekarang. Jangan dipaksakan jika mata masih berat untuk dibuka. Pelan saja dan tutup kembali jika anda merasa perih saat cahaya memasuki mata anda.” Titah dokter. Taeyeon mengangguk.

Dengan perlahan dokter itu melepas kapas pada kedua mata Taeyeon. Sesuai dengan penjelasan dokter, Taeyeon membuka matanya dengan perlahan dan mengerjapkan matanya berkali-kali. Pelan ia membuka matanya lalu berkedip mencoba menghilangkan nyeri di matanya.

“Nona Kim?”

Gadis itu tak menjawab. Gadis itu lalu tersenyum pahit bersamaan dengan butiran air mata yang mengalir dari kedua matanya.

“Bukankah sudah saya bilang, saya sudah siap menghadapinya dokter?” Lirih Taeyeon.

Berbeda dengan Taeyeon yang berusaha nampak tegar dan menerima keadaannya, Sooyoung yang sedari tadi menyaksikan dari sudut ruangan hanya bisa menangis sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sooyoung hanya berbaring di kasurnya dengan berbagai macam pikiran yang berseliweran di otaknya. Hatinya merasa tidak tenang. Dan rasa bersalah benar-benar memenuhi hati dan pikirannya saat itu.

Kaki-kaki mungil Sooyoung kini kembali melangkah ke ruangan itu. Kamar Kim Taeyeon. Sambil berdiri di dekat pintu, mata wanita itu menatap Taeyeon dengan tatapan iba. Gadis itu tengah berbaring di ranjangnya. Ia tidak tertidur melainkan menatap kosong ke langit-langit kamar,   meskipun Sooyoung tahu tak ada yang muncul di mata gadis itu saat ini. Kemudian gadis itu mengangkat kedua tangannya dan mencoba meraba-raba udara. Dan melihatnya, membuat hati Sooyoung semakin merasa bersalah.

“Taeyeon-ssi.” Panggil Sooyoung pelan.

Taeyeon mencoba mencari asal suara dan menolehkan kepalanya pada Sooyoung yang tengah berdiri di depan pintu meskipun ia tak bisa melihat wanita itu.

“Apakah anda wanita yang dipanggil dokter Choi itu?”

Sooyoung tersenyum kecil. “Ne, itu aku.” Jawabnya sambil berjalan mendekati ranjang Taeyeon.

“Apa anda tidak tidur? Sepertinya saat ini sudah malam. Udaranya terasa begitu dingin. Apakah tebakanku benar?”

“Ne, tebakanmu benar, ini sudah malam. Kau sendiri mengapa tak tidur?”

“Entahlah, tapi ini pertama kalinya aku akan tidur dengan keadaan mataku yang baru. Aku takut saja, aku belum terbiasa dengan keadaanku dan malah akan merasa kaget keesokan harinya.”

“Apakah orangtuamu sudah tahu keadaanmu?”

Gadis itu tersenyum. Tersenyum miris. “Sepertinya mereka tidak perlu tahu untuk saat ini. Aku belum siap memberi tahu mereka.”

“Taeyeon-ssi.” Panggil Sooyoung lagi.

“Hm, Dokter Choi?”

Sooyoung meraih tangan gadis itu. “Taeyeon-ssi, t-terima kasih dan m-maaf…”

“Terimakasih? Maaf?” Ulang Taeyeon tak mengerti.

“Kalau tidak ada kau, aku tak tahu bagaimana nasibku dan calon anakku saat ini. Dan maaf, karenaku kau harus mempertaruhkan nyawamu hingga berakhir  seperti ini.” Sooyoung tak dapat menahan perasaannya lagi. Ia meluapkan hal yang sedari tadi menganjal hatinya. Dan isakan pelan yang menyedihkan itu keluar dari mulut wanita itu.

“Dokter Choi, sudahlah. Aku baik-baik saja. Sungguh. Aku yakin semuanya akan berjalan baik-baik saja dan tak seburuk yang kita bayangkan.”

Sooyoung mengeratkan genggaman tangannya pada Taeyeon. “Taeyeon-ssi, aku berjanji padamu, aku akan menebus kebaikanmu ini. Kau bisa pegang janjiku.”

*****

Mobil itu menepi di depan sebuah bangunan yang menyediakan kamar sewaan untuk perempuan, khususnya mahasiswi. Bangunan itu nampak sederhana namun tak menutupi kesan hangat yang terpancar dari bangunan itu. Sooyoung yang baru saja mematikan mesin kendaraannya bergegas turun lalu berlari kecil dan membukakan Taeyeon pintu. Sooyoung membantu gadis itu membuka tongkatnya dan menuntun gadis itu untuk turun.

“Kau benar tinggal disini kan. Di bangunan bercat putih ini??”

“Ne anda benar. Aku tinggal disini.”

Sooyoung mengangguk paham. “Sepertinya ini kamar sewaan untuk murid dan mahasiswi, kau tinggal sendiri di Seoul rupanya.”

“Ne, aku memang tinggal sendiri disini.”

“Jadi kamarmu terletak di lantai berapa? Aku lihat bangunan ini memiliki empat lantai.” Tanya Sooyoung sambil menatap tingkatan-tingkatan dari bangunan itu.

“Aku tinggal di lantai dasar, kamarku terletak di ujung.”

“Oh baiklah, kalau begitu aku akan mengantarmu.” Baru saja Sooyoung akan meraih tangan gadis itu untuk menuntunnya menuju kamarnya gadis itu sudah menarik tangannya terlebih dahulu.

“Cukup beritahu aku harus menghadap kemana dan berapa langkah aku harus berjalan. Aku tidak mungkin terus bergantung pada anda kan.” Pinta gadis itu lembut.

Sooyoung hanya bisa mengiyakan permintaan gadis itu. Kini matanya tertuju pada sebuah pintu kamar yang terletak di ujung sana. “Apa kamarmu yang bernomor sembilan itu?”

Gadis itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Jadi berapa langkah aku harus berjalan?”

“Menghadaplah ke kanan dan berjalanlah lima belas langkah.” Ujar Sooyoung mengira-ngira.

Dengan berhati-hati Taeyeon melangkahkan kakinya sesuai dengan petunjuk Sooyoung. Tak lupa ia mengarahkan tongkatnya untuk menuntunnya. Sooyoung yang mengekor di belakangnya hanya bisa menatap gadis itu iba.

‘Bahkan mata gadis itu terlalu indah untuk dikatakan buta.’

Kini keduanya telah berada di dalam kamar Taeyeon. Sedari tadi Taeyeon sibuk berkeliling dengan tongkatnya, berusaha membiasakan diri dengan keadaan barunya sekarang. Sementara Sooyoung, ia hanya berdiri di depan pintu sambil tetap memperhatikan gadis itu.

Selesai dengan kegiatan berkelilingnya, Taeyeon memutuskan untuk mendudukkan dirinya di tepi ranjangnya. Seulas senyuman tersungging di bibirnya. “Aku rasa semuanya memang tak seburuk yang kita bayangkan, dokter.”

Sooyoung berjalan mendekati Taeyeon dan ikut duduk di samping gadis itu.

“Aku akan sering-sering mengunjungimu. Bagaimanapun juga kau adalah bagian dari tanggung jawabku sejak hari itu.” Ujar Sooyoung kembali menekankan ucapannya.

“Dokter Choi, bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Tanyakanlah.”

“Beberapa hari yang lalu, kau bilang  bahwa kau sedang mengandung, berapa usia kandunganmu saat ini?”

“Empat bulan. Dan setidaknya kau telah membukakan kesempatan bagi janinku ini untuk memasuki bulan-bulan berikutnya.”

“Anda dan suami anda pasti bahagia sekali.”

“Suamiku belum tahu. Aku akan memberitahunya jika ia sudah pulang dari tugasnya di Jepang.”

“Tapi nanti jika ia sudah mengetahuinya, ia pasti akan sangat bahagia.” Ujarnya sambil tersenyum, mencoba ikut merasakan kebahagiaan wanita itu.

“Taeyeon-ssi.”

“Hmm?”

“Aku berjanji akan menjaga janinku ini dengan sebaik mungkin. Ketika ia lahir nanti, aku akan selalu mengingatkannya jika dibalik kelahirannya ada seorang gadis yang rela mengorbankan nyawanya demi ibunya dan dirinya. Dan aku juga berjanji akan menemukan donor mata untukmu Taeyeon-ah, sehingga suatu hari nanti kau bisa melihat anak yang kau selamatkan hari itu.”

Sudut bibir gadis itu terangkat menandakan gadis itu kembali tersenyum. “Anda terlalu banyak berjanji kepadaku. Anda tidak perlu merepotkan diri anda hanya karena merasa bersalah padaku dokter Choi. Tapi jika memang anda berpikir demikian, aku juga berharap bisa melihat anak anda suatu hari nanti.”

*****

Sooyong membuka pintu rumahnya dan mendapati rumahnya yang gelap gulita. Usai mengganti sepatunya dengan sandal rumah, dengan berhati-hati Sooyoung menelusuri rumahnya dan meraba-raba dindingnya untuk mencari saklar lampu. Ketika tangannya hampr meraih saklar lampu yang menjadi tujuannya, tiba-tiba ia merasakan sepasang tangan kekar melingkar di perutnya. Ia juga bisa merasakan ada sesuatu yang kini bertengger di pundaknya dan merasakan deru nafas seseorang di tengkuknya. Kala itu otaknya sempat berpikir yang tidak-tidak terlebih ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma akan hal yang ia hadapi beberapa waktu silam. Namun semua prasangka buruk itu mendadak sirna ketika ia bisa mengendus aroma tubuh orang itu. Aroma tubuh yang sangat familiar untuknya.

“Kau berhutang banyak padaku Sooyoung-ah.”

“Jongwoon Oppa, kapan kau pulang?” Sooyoung mencoba menahan perasaannya saat itu. Perasaan rindu yang selama ini ia pendam seolah-olah ingin meledak begitu saja dari dadanya begitu ia merasakan hangatnya pelukan pria itu.

“Apakah itu penting? Yang saat ini mengisi otakku hanyalah menumpahkan rasa rinduku padamu dan meminta pengakuanmu.”

“Pengakuan?”

“Ya pengakuan. Kenapa kau tak menceritakannya padaku? Kalau saja kau memberitahukannya aku rela mencium kaki kepala bagian kandungan rumah sakit agar ia mengijinkanku pulang dan menjadi seorang pria yang selalu ada untuk istri dan calon anaknya.”

“Oppa…” Gadis itu bermaksud melepaskan pelukan Jongwoon di perutnya dan memberikan penjelasan pada pria itu. Tapi tubuh Jongwoon tetap menahannya membiarkan mereka tetap pada posisi seperti itu.

“Aku akan mendengarkan penjelasanmu. Tapi aku mohon biarkan tetap seperti ini.”

“D-dari mana Oppa mengetahuinya?”

“Hyoyeon. Dia menceritakan semuanya padaku.”

Tenggorokan Sooyoung tercekat ketika mendengar jawaban Jongwoon. Jantungnya berpacu lebih cepat, takut jika sahabatnya itu menceritakan seluruh kejadian itu pada Jongwoon.

“A-apa s-saja yang Hyoyeon ceritakan padamu?” Tanya Sooyoung dengan suara yang bergetar.

“Dia mengatakan kalau kau tengah mengandung dan kau mengalami insiden kecil yang menyebabkan kau mengalami benturan pada rahimmu. Tapi untung janinmu baik-baik saja.”

‘Terimakasih Hyoyeon, kau benar-benar penata skenario yang handal.’ Ucap Sooyoung lega di dalam hatinya

“Kau tahu Yeobo, bagaimana perasaanku ketika mengetahui kau hamil dan baru saja mengalami insiden yang nyaris membahayakan kau dan calon anak kita? Aku benar-benar kacau saat itu. Pikiranku tidak tenang. Namun di sisi lain aku juga merasa kecewa padamu, bagaimana bisa kau menyembunyikannya selama empat bulan.”

Sooyoung bisa merasakan kekecewaan dan kegelisahan pria itu melalui suara bariton pria itu. “Jongwoon Oppa, sungguh aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.”

“Lalu?”

“Aku hanya ingin menjadikannya kejutan untukmu di hari kepulanganmu Oppa.” Jawab Sooyoung dengan guratan penyesalan di wajahnya.

Mendengar penjelasan istrinya, Jongwoon tersenyum tipis. Ada rasa haru yang mengobati segala perasaan kecewa dan gelisah terhadap istrinya itu. Kini ia melepaskan pelukannya pada Sooyoung dan membalikkan tubuh kurus istrinya itu.

“Sooyoung-ah.” Panggil Jongwoon. Meskipun mereka berdua masih terjebak dalam kegelapan, Jongwoon bisa melihat dengan jelas manik mata wanita yang sangat dicintainya itu.

“Aku mencintaimu.” Ucap Jongwoon lalu mendaratkan bibirnya pada bibir Sooyoung melumat kecil bibir istrinya itu. Sooyoung yang sempat terdiam karena sibuk mencerna perlakuan pria itu pun akhirnya membalas ciuman itu dan membiarkan diri mereka meluapkan rasa rindu yang selama ini mereka pendam melalui sebuah ciuman yang hangat dan penuh cinta di bawah terang bulan dan bintang.

*****

Langit sore mulai berganti seiring dengan luruhnya mentari. Semilir angin asyik menerbangkan helai-helai rambut sesosok wanita yang tengah duduk di bangku yang terletak di bawah pohon di taman rumah sakit. Wanita itu asyik dengan pena dan buku hariannya. Menumpahkan segala kegundahan dan keputus asaan yang menggerogoti hatinya saat ini.

Sepertinya Tuhan tak akan berhenti memberikan kita cobaan. Dan aku rasa ini semua adalah wujud nyata dari hukum karma.

Tulis gadis itu di dalam buku hariannya. Beberapa jam yang lalu kehidupan indah dan bahagia yang sudah ia rancang dan bayangkan selama ini harus ia lupakan dan kubur dalam-dalam. Ingin ia menangis sejadinya  dan menyalahkan keadaan, namun ia sadar inilah jalan hidup yang diberikan Tuhan untuknya dan ia tak memiliki pilihan lain.

Beberapa saat yang lalu.

Dokter Jung Yunho, dokter yang menangani Sooyoung selama enam bulan ini duduk di kursinya dengan raut wajah yang sama sekali tidak di harapkan Sooyoung. Rahang pria itu mengeras dan matanya menyaratkan ada sesuatu yang salah. Seperti biasa, Sooyoung yang baru saja menjalani berbagai macam pemeriksaan hanya mengikuti pria itu dan duduk di hadapannya. Namun dilihat dari raut wajah pria itu, Sooyoung mencoba memantapkan hatinya mendengar hal yang  tidak seperti biasanya keluar dari mulut pria itu.

“Sunbae, bagaimana hasil pemeriksaanku?” Gadis itu mencoa tersenyum hangat seperti biasa meskipun matanya memancarkan ketakutan yang amat sangat.

“Kandunganmu sudah menginjak bulan keenam.”

“Aku tahu itu. Lalu?”

“Apa maksud sunbae?”

Yunho menarik nafas panjang, menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa lalu mengeluarkannya secara perlahan. “Rahimmu. Aku menemukan sel tumor yang tumbuh di rahimmu. Menurut prakiraanku, sel tumor itu sudah cukup lama bersarang di rahimmu hanya saja selama ini selalu tertutup oleh janinmu sehingga tak terdeteksi. Tentu saja keberadaan tumor itu membahayakan dirimu dan calon anakmu. Namun disisi lain, usia kandunganmu sudah menginjak enam bulan, dan enam bulan bukanlah usia yang muda untuk sebuah kandungan. Kandunganmu juga dalam keadaan yang sangat sehat. Jadi aku tak bisa mengambil keputusan begitu saja, ini semua bergantung padamu, Young.”

“Jadi, pilihan apa yang akan kau berikan, Yunho Oppa?”

“Mengingat tumormu ini berada dalam taraf yang tak bisa disepelekan lagi, aku hanya bisa memberimu dua pilihan. Pertama, kau harus merelakan janinmu dan melakukan operasi pengangkatan rahim. Atau kedua, bisa saja kita menunda operasi itu dan mempertahankan janinmu. Tapi terlalu banyak resiko yang mungkin akan kau hadapi jika kau mengambil pilihan ini.”

Penjelasan pria itu bagaikan sebuah hantaman yang begitu menyakitkan untuk Sooyoung. Gadis itu mendadak mematung dan kini nyawa dan pikirannya seolah menguap jauh meninggalkan raganya. Yunho yang sudah menjadi sunbae Sooyoung untuk bertahun-tahun lamanya tentu merasa iba pada wanita yang sudah dianggap adiknya itu.

“Young…” Lirih Yunho mencoba mengumpulkan kembali kesadaran wanita itu. Dan benar saja, mata wanita itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya butiran air mata mengalir membasahi pipinya.

“Oppa…”

“Aku tak akan memaksamu untuk membuat keputusan sekarang, Young.”

Kini otak Sooyoung berkelana ke sana kemari, memutar rekaman kejadian yang terjadi beberapa bulan terakhir. Dari insiden malam itu, hari dimana Taeyeon di vonis mengalami kebutaan hingga senyuman bahagia Kim Jongwoon ketika mengetahui dirinya tengah mengandung buah cinta mereka. Terlalu egois jika ia harus mementingkan kepentingan pribadinya sementara di luar sana ada seorang gadis yang telah mengorbankan hidupnya untuk dia dan calon anaknya.  Tak hanya gadis itu, masih ada seorang pria yang sangat mencintai dan dicintainya.  Seorang pria yang menjadi alasan hidupnya dan seorang pria yang tak mungkin ia kecewakan begitu saja. Dan yang terpenting, sebagai seorang wanita tentu merupakan suatu kehormatan sekaligus kebanggaan jika ia bisa memberikan keturunan pada keluarganya, tak peduli jika nyawa adalah taruhannya.

“Aku sudah membuat keputusan, Oppa.” Ucap Sooyoung setelah berusaha memantapkan hatinya pada pilihan yang akan ia ambil.

“Jadi?”

Sooyoung menundukkan kepalanya. Ia takut tangisannya kian menjadi-jadi jika ia melihat tatapan iba sunbae-nya itu. “Sebelum aku mengatakan keputusanku ini, aku memiliki satu permohonan kepadamu dan aku mohon dengan sangat kau bersedia mengabulkannya, Yunho Oppa.”

Yunho menghela nafas pasrah. “Baiklah, apa itu?”

“Aku mohon….. J-jangan k-katakan soal p-penyakit ini p-pa-da J-Jongwoon Op-pah… .” Sooyoung mengutarakan permintaannya dengan terbata karena harus menahan tangisnya.

Yunho memejamnkan matanya, tak habis pikir dengan permintaan wanita di hadapannya itu. Ketika Yunho kembali membuka matanya ia bisa melihat dengan jelas seberapa pun besar usaha yang gadis itu lakukan untuk menahan ledakan tangisannya dan berusaha   nampak tegar, wajah merah dan suara parau itu tak bisa  berbohong akan yang ia rasakan saat ini.

“Lalu keputusanmu?”

“Aku akan mempertahankan calon anakku sebisa mungkin, Oppa.”

Dan dari situlah semuanya berakhir dan berawal. Akhir dari impiannya dan awal dari tekadnya.

‘Jongwoon Oppa, Taeyeon-ah, aku berjanji tidak akan mengecewakan kalian.’

*****

Sooyoung berdiri terpaku. Dipandangnya pintu kayu di hadapannya lurus-lurus, menanti seseorang dari dalam pintu itu membukanya. Di tengah hati dan pikirannya yang begitu kacau seperti saat ini, entah mengapa kamar sewaan itu menjadi tujuannya. Tentu saja pintu kamar sewaan dihadapannya itu adalah pintu kamar Kim Taeyeon.

Beberapa detik kemudian, pintu di hadapannya terbuka, menampakkan  sesosok gadis berperawakan tinggi yang sudah ia kenal selama dua bulan ini.

“Annyeong, dokter Choi.” Sapa gadis itu sambil membungkukkan badannya dan tersenyum ramah.

“Seohyun-ah, sudah berapa kali kubilang, berhenti memanggilku dokter Choi. Kau ini teman Taeyeon, berarti kau temanku juga, jadi panggil aku Sooyoung Eonni.” Protes Sooyoung pada gadis polos itu.

“Ah, n-ne, Sooyoung Eonni.” Ralat Seohyun sambil tersenyum kikuk lalu mempersilahkan wanita itu untuk masuk ke dalam. Memang selama dua bulan ini, Sooyoung kerap mengunjungi Taeyeon, oleh karena itu, tak heran jika Sooyoung menjadi akrab dengan Taeyeon dan tentu saja Seohyun, teman Taeyeon.

“Seohyun-ah, siapa yang datang?” Tanya Taeyeon yang tengah duduk di tepi ranjangnya menghadap pada sebuah televisi kecil yang tengah menayangkan drama.

“Ini aku, Taeyeon-ah.” Seru Sooyoung yang kontan membuat senyuman merekah di bibir gadis itu.

“Eonni!”

“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Sooyoung sambil mendudukkan dirinya di sebelah Taeyeon.

“Eonni bisa lihat sendiri, aku baik-baik saja.” Ucap Taeyeon sambil tersenyum memamerkan deretan giginya.

Mata Sooyoung melirik sekilas pada televisi yang terletak beberapa meter di hadapannya lalu memandang Taeyeon dengan heran. “Apa kau bisa menonton drama hanya dengan mendengarnya, Taeyeon-ah?”

“Hm, Seohyun membantuku menjelaskan kejadian di dalam cerita itu dan tentu saja memberi tahu baju yang mereka kenakan.”

“Tapi sepertinya aku tak bisa membantumu lagi Taeyeon-ah.” Sergah Seohyun yang baru saja kembali masuk ke dalam kamar Taeyeon. “Appa-ku menelepon, ia bilang aku harus pulang dan membantu persiapan kepindahan kami.”

“Kau akan pindah?” Tanya Sooyoung dengan wajah yang agak kaget dan bingung.

“Ne eonni, aku dan keluargaku akan pindah ke Ulsan bulan depan. Masa kontrak kedai mie-nya sudah habis dan ia akan membuka kedai baru di sana.”

“Lalu bagaimana dengan kuliahmu?”

“Ah aku belum mengatakannya, sebenarnya sebelum Taeyeon mengalami kecelakaan hingga menjadi seperti saat ini, aku dan Taeyeon sama-sama melamar untuk beasiswa di Jepang. Berhubung keadaan Taeyeon yang tak memungkinkan, pihak universitas memberikannya kepadaku. Jadi bersamaan dengan kepindahan keluargaku ke Ulsan aku juga akan pindah ke Jepang.”

Sooyoung mengangguk paham, namun tak bisa menghilangkan guratan rasa bersalahnya pada Taeyeon.

“Taeyeon, Sooyoung Eonni, aku pulang dulu. Anyeong.”

“Hati-hati, Seohyun-ah.” Ucap Taeyeon sambil tersenyum girang dan melambai-lambaikan tangannya. Sementara Sooyoung hanya tersenyum tipis memperhatikan kepergian gadis itu.

Sesaat baik Taeyeon maupun Sooyoung terdiam asyik dengan dunia mereka. Taeyeon masih asyik mendengarkan percakapan tokoh-tokoh dalam drama yang sedang ditayangkan di televisi sambil mencoba menerka-nerka apa yang terjadi di dalam drama itu. Sementara Sooyoung? Entahlah, sejak Seohyun pergi, wanita itu hanya terdiam. Sekilas matanya seperti nampak memandang ke arah televisi namun sesungguhnya pandangannya kosong kala itu. Ucapan Seohyun tadi sukses membuatnya kembali merasa bersalah telah merusak kehidupan gadis bernama Kim Taeyeon.

“Sooyoung Eonni.” Panggil Taeyeon yang seketika mengalihkan Sooyoung dari lamunannya.

“Hm?”

“Karakter bernama Chae-young, baju apa yang ia gunakan untuk pergi ke pesta?”

Sooyoung mengerutkan keningnya bingung dan mengalihkan pandangannya pada televisi di depannya. “Ah, maksudmu karakter di drama itu?” Tanya Sooyoung balik memastikan maksud Taeyeon dan dibalas dengan anggukan kecil oleh Taeyeon.

Sooyoung mencoba memperhatikan dengan seksama tokoh-tokoh di drama itu. Ia juga berusaha menerka-nerka wajah tokoh dalam drama itu beserta namanya.

“Hm, sepertinya gadis bernama Chae-young itu sedang mengenakan gaun soft pink selutut dan heels berwarna hitam.”

“Ah, gadis itu pasti cantik sekali.” Ucap Taeyeon dengan wajah berbinar sambil membayangkan karakter gadis di drama itu.

“Taeyeonie…”

“Ne, eonni.”

“Bagaimana rasanya? Pasti sangatlah sulit hidup dengan keadaanmu sekarang ini.”

“Aku baik-baik saja, eonni. Justru aku terlalu banyak merepotkan orang-orang di sekitarku, khususnya eonni dan Seohyun.” Jawab gadis itu tulus.

Sooyoung menatap gadis itu sedih, sungguh berbeda dengan Taeyeon yang saat ini tengah tersenyum lembut dan tulus.

“Maafkan aku, aku benar-benar merusak hidupmu Taeyeon-ah.”

Taeyeon mencoba meraba-raba sekitarnya dan meraih tangan Sooyoung. “Eonnie, aku sudah terlalu banyak menerima ucapan maaf dari eonnie, sudahlah.”

“Kalau saja kau tidak seperti sekarang ini, kau pasti sudah melanjutkan sekolahmu ke Jepang sekarang.” Sesal Hyoyeon kembali bersamaan dengan air mata yang kembali membasahi pipinya.

“Eonnie, sekali lagi kukatakan, sudahlah. Tak ada yang harus disalahkan dalam insiden malam itu, semuanya murni kecelakaan.”

Sooyoung menyeka air matanya lalu memegang tangan gadis itu erat. “Taeyeon-ah, aku masih akan tetap menepati janjiku padamu. Aku akan mencarikan donor mata untukmu agar kau bisa kembali menjalani kehidupanmu seperti semula. Aku janji.”

“Eonni, kalau memang begitu keinginanmu, berjanjilah juga kepadaku.”

“Apa itu?”

“Berjanjilah kau akan menjadi orang yang pertama  kulihat jika kau berhasil mendapatkan donor mata untukku.” Ucap Taeyeon sambil menyodorkan kelingkingnya ke hadapan Sooyoung.

Hati Sooyoung terenyuh mendengar permintaan gadis itu. Sebisa mungkin ia menutupi perasaannya, tak membiarkan air mata semakin deras mengucur dari matanya.

“Aku janji.” Ucap Sooyoung sambil menautkan kelingkingnya dengan kelingking Taeyeon.

‘Semoga saja Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menepati janjiku yang satu ini Taeyeon-ah.’

*****

Sooyoung memperhatikan Yunho yang sedang membaca rekaman medisnya sambil sesekali mencengkeram bagian perutnya, menahan rasa sakit yang sedari tadi menyerangnya. Yunho memperhatikan gelagat aneh dan wajah pucat gadis itu. Namun sebisa mungkin ia tak berkomentar macam-macam karena ia tahu gadis itu akan marah kepadanya jika sampai ia berkomentar satu kata saja pada gadis itu.

“Kandunganmu sudah berusia delapan bulan, dan mungkin bulan depan kau akan menjalani proses persalinan, jadi persiapkan dirimu.”

“Lalu bagaimana?”

“Bagaimana?”

“Bagaimana dengan tumor di rahimku ini?”

Yunho menghela nafas panjang. “Kau sendiri, apa yang kau rasakan?”

“S-sakit.” Ucap Sooyoung, masih sambil memegangi perutnya.

“Maaf, aku sudah mengatakkan sebelumnya kepadamu. Tapi mau bagaimana lagi, tak ada satupun orang yang bisa mengalahkan sifat keras kepalamu itu. Dan aku sebagai dokter,  tidak mungkin memberikanmu obat-obatan karena itu akan sangat membahayakan kandunganmu, Young.”

“Tentu saja aku tahu itu. Jadi bagaimana perkembangan tumor di rahimku?”

“Maaf, tapi aku harus mengatakannya kepadamu Young, tapi sel-sel tumor di rahimmu itu sudah berkembang menjadi sel-sel kanker.”

Sooyoung mengangkat kepalanya dan menatap Yunho tak percaya. “Jadi, apa artinya kemungkinanku untuk hidup….. Kecil?”

“Young, aku tak mengatakan seperti itu, hanya saja—”

“Sudahlah Oppa, tak usah menghiburku. Ini sudah pilihan hidupku.”

“Hyoyeon-ah, bisa aku minta tolong kepadamu?”

“Hm, bisa saja, apa itu?”

“Kemarin aku sudah berjanji kepada Taeyeon akan mengajaknya membeli isi dapur dan beberapa perlengkapan. Bisa kau menggantikanku? Aku baru saja selesai berkonsultasi dan akan menemui Jongwoon Oppa terlebih dahulu.”

“Baiklah, aku akan menjemputnya sore ini.”

“Kalau begitu, Gomawo Hyoyeonie. Anyeong.”

Sooyoung menutup flap ponselnya lalu dimasukkannya ke dalam tas. Sebelum ia keluar dari toliet tempatnya berada saat ini, tak lupa ia memeriksa penampilannya dan memoleskan bedak dan sedikit eye line di matanya. Setidaknya untuk menutupi matanya yang sembab dan wajahnya yang masih nampak merah saat itu.

*****

Jongwoon baru saja selesai memeriksa pasien terakhirnya siang itu dan bersiap untuk pulang. Ia melepaskan jas putihnya dan hendak menggantungnya di dalam lemari. Namun, ketika ia hendak berjalan menuju lemari yang terletak di sudut ruangan itu, jasnya tanpa sengaja menarik bingkai foto yang terletak di atas meja Jongwoon hingga menyebabkan foto itu terseret dan…

PRAAANG

Suara pecahan kaca dari bingkai foto itu seketika menarik perhatian Jongwoon hingga pria itu menoleh dan mendapati foto pernikahannya dengan Sooyoung tengah tergeletak dalam posisi menelungkup diatas lantai.

“Aissh, ceroboh sekali aku.” Ujar pria itu lalu berjongkok dan memunguti pecahan kaca dari bingkai itu.

“Oppa!!!” Seru Sooyoung yang rupanya sedari tadi masuk ke dalam ruang praktik Jongwoon dengan mengendap-endap.

Jongwoon yang baru saja memungut dan membuang pecahan-pecahan kaca bingkai foto seketika tersentak oleh seruan gadis itu. “Aigoo Yeobo, kau benar-benar mengagetkanku.”Ucap Jongwoon sambil mengelus dadanya.

“Apa yang sedang kau lakukan Oppa?” Tanya Sooyoung sambil menautkan lengannya pada lengan Jongwoon.

“Aku hanya merapikan pecahan-pecahan ini. Jasku tidak sengaja menyeret bingkai foto pernikahan kita hingga terjatuh.”

Sooyoung menatap foto pernikahannya dengan Jongwoon yang sudah Jongwoon sisihkan diatas meja. Ada sebuah perasaan aneh di hatinya ketika memandangi foto itu.

“Oppa, sepertinya kau harus menggantinya dengan foto lain. Foto ini tidak seindah dulu lagi.” Komentar Sooyoung setelah lama terpaku menatap foto di hadapannya.  Komentar wanita itu sukses membuat pria itu menatapnya sekaligus mengerutkan kening tak mengerti.

“Apa maksudmu, Young?”

“Ah, sudahlah. Oppa, apa kau mau menemaniku ke suatu tempat?”

“Kemana?”

“Aku ingin mengunjungi pemakaman ayah dan ibu.”

Jongwoon kembali menampakkan ekspresi bingung dan menaikkan sebelah alisnya. Di liriknya arloji yang melingkar di tangannya lalu kembali menatap istrinya dengan bingung. “Tapi ini sudah terlalu sore, apa tidak bisa besok saja?”

“Tidak, aku inginnya sekarang.” Ucap gadis itu mantap sambil menggelengkan kepalanya.

“Apa kau yakin tak mau besok saja? Kalau besok kita bisa lebih lama menghabiskan waktu dan kita juga bisa langsung berjalan-jalan.”

“Andwae, aku inginnya hari ini Oppa, jebaaaall!!! Rengek wanita itu sambil menggoyang-goyangkan tangan suaminya itu cukup keras.

“Arasso, arasso.”

*****

Hyoyeon menggiring Taeyeon berjalan menuju trotoar beberapa meter dari pusat perbelanjaan yang baru saja mereka kunjungi. Hari ini, sesuai permintaan Sooyoung, Hyoyeon menemani gadis itu membeli isi dapur.  Berkat bantuan Hyoyeon, kini gadis itu sudah menjinjing sekantung bahan-bahan makanan khususnya makanan-makanan instan, mengingat keterbatasan gadis itu dalam menggunakan dapur dengan keadaanya saat ini.

“Taeyeon-ssi, tunggulah disini sebentar. Aku akan mengambil mobil terlebih dahulu. Aku takut agak susah untukmu berjalan menuju parkiran, jadi kau diam disini, ne?”

“Ne, Eonni, aku akan menunggu disini.”

“Oh ya, jangan merubah posisi badanmu, karena dihadapanmu ini jalan raya, salah-salah sedikit kau malah menginjakkan kaki di jalanan dan terjadi hal yang tidak diinginkan.” Ujar Hyoyeon mengingatkan Taeyeon dan dibalas anggukan oleh gadis itu.

Sepeninggal Hyoyeon, tinggalah gadis itu sendiri. Meskipun ia tak bisa melihat keadaan sekitarnya, ia bisa merasakan keindahan musim gugur melalui hembusan angin yang menggelitik wajahnya. Ia memejamkan matanya, mencoba menikmati semilir angin dan suara dahan yang sedang beradu karena ditiup angin.

Lama ia berdiri di sana ia merasakan tubuhnya terdorong cukup kuat karena seseorang menabraknya. Orang itu lari begitu saja tanpa memperdulikan Taeyeon yang terhuyung-huyung hingga badannya sedikit berputar dan terjatuh di sisi jalan. Kantong belanjaan yang ia bawa ikut terjatuh dan menumpahkan isinya di sekitar tubuh Taeyeon. Tak hanya itu, tongkat yang sedari tadi ia pegang juga terjatuh hingga menggelinding cukup jauh darinya. Orang-orang di sekitarnya tak ada yang memperdulikannya. Meskipun beberapa dari mereka mengira-ngira Taeyeon dalam keadaan buta, tak ada satupun dari mereka yang turun tangan untuk membantu gadis itu. Orang-orang itu justru sibuk saling berbisik membicarakan gadis rapuh yang baru saja terjatuh itu.

Ia meraba-raba sekitarnya, mencoba menggapai tongkatnya yang ia sendiri tak tahu terjatuh dimana. Gadis itu mencoba berdiri meskipun ia merasakan sakit yang teramat sangat pada kakinya yang terluka karena terbentur di aspal.

“Argh.” Ringisnya kecil sambil berjalan dalam keadaan membungkuk mencoba mencari keberadaan tongkatnya.

“Tongkatku, dimana tongkatku.” Ucap gadis itu sambil terus berjalan dengan tergopoh-gopoh. Gadis itu terus berjalan tanpa mengetahui dirinya kini telah melangkah ke tengah jalan raya. Dengan keadaanya sekarang, ia hanya berpikir untuk menemukan tongkatnya. Otaknya tak sempat memikirkan keadaan sekitarnya apalagi menghindari apa yang akan terjadi di sekitarnya.

“NONA AWAS!!! Teriak orang-orang dari trotoar. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang dari sisi kiri Taeyeon. Meskipun tidak cepat, mobil itu terus melaju dan sepertinya juga tak menyadari keberadaan Taeyeon. Tepat beberapa meter dari tempat Taeyeon berdiri, mobil itu mendadak berputar sembilan puluh derajat menjauhi Taeyeon,  dan dalam keadaan tak stabil mobil itu masih terus melaju dan menabrak pohon disisi jalan menyebabkan bunyi tubrukan yang cukup keras.

*****

Jongwoon melirik Sooyoung yang sedang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Wanita itu tersenyum bahagia sambil mendekap sebuket mawar putih di dadanya. Sedari tadi Jongwoon berusaha mengingatkan dirinya untuk berkonsentrasi penuh pada jalanan di hadapannya. Tapi sepertinya senyuman wanita itu terlalu indah untuk sekedar dilewatkan, hingga memaksa Jongwoon untuk membagi konsentrasinya antara jalanan dan gadis itu.

“Mengapa kau selalu membawa mawar putih setiap mengunjungi pusara Appa dan Eomma? Bukannya umumnya orang-orang membawa lily putih?” Tanya Jongwoon heran.

“Tidak ada alasan yang spesifik. Aku suka aja dengan mawar putih. Bagiku bunga mawar putih memiliki arti cinta yang suci bagi siapa saja yang kita berikan.”

“Alasan yang bisa diterima.” Ucap Jongwoon lalu memamerkan senyum terbaiknya kepada istrinya itu. Sesaat kemudian mata pria itu fokus menatap langit melalui kaca mobil dihadapannya. “Apa Tak apa jika kita sampai di pemakaman ketika langit sudah berwarna jingga? Lihat saja, saat ini matahari sudah mulai tenggelam.”

“Tak masalah. Yang penting rasa rinduku terobati.” Ucap Sooyoung sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.

Di tengah berusaha memfokuskan mata dan pikirannya pada jalanan yang ada di hadapannya, mata sipit Jongwoon tanpa sengaja melirik ke samping, tepatnya jemari Sooyoung yang tengah mengelus-elus buket mawar putih tersebut. Ada satu hal yang cukup janggal pada jemari wanita itu.

“Yeobo, mana cincinmu?”

Sooyoung mengernyit tak mengerti. “Aku selalu—”

“Bukan cincin pernikahan, tapi cincin nenek.” Ucap Jongwoon memotong ucapan Sooyoung. Detik itu juga, Sooyoung menyadari cincin itu tak lagi melingkar ditangannya.

“Tadi pagi masih ada Oppa, mungkin terjatuh….” Ucap Sooyoung  panik. “Apa mungkin terjatuh di mobil? Bukannya tadi siang aku sempat membawa mobilmu pergi.”

“Coba kau lihat dulu Yeobo.” Sesuai titah Jongwoon, Sooyoung mulai mengedarkan matanya ke segala penjuru dalam mobil itu. Dan pandangannya terkunci seketika ketika ia menangkap sebuah benda berkilauan di dekat kaki Jongwoon.

“Oppa, aku menemukannya. Sepertinya tadi terjatuh ketika aku mengemudikan mobilmu. Cincin itu berada di dekat kakimu.” Lega Sooyoung begitu memastikan keberadaan cincin itu.  Sooyoung mencoba untuk membungkukkan badannya dan meraih cincin yang berada di kaki Jongwoon, namun dengan keadaan hamil tua seperti saat ini, benar-benar tak memungkinkan bagi Sooyoung untuk meraih cincin itu.

“Biar aku saja, Yeobo.” Ucap Jongwoon mencegah Sooyoung. Pria itu melepaskan sebelah tangannya yang sedari tadi memegang kemudi dan mengulurkannya ke bawah. Sambil tetap memperhatikan jalan, tangan pria itu terus meraba-raba sekitar kakinya untuk meraih cincin itu.

“Oppa, sudahlah nanti saja.” Ujar Sooyoung dengan wajah yang cukup panik mengingat saat ini Jongwoon tengah mengemudikan mobil.

“Tidak apa, sedikit lagi.” Ujar Jongwoon sedikit keras kepala. Dengan sedikit nekat, Jongwoon mengalihkan matanya beberapa detik dan memastikan letak cincin itu.

“Dapat!! Yeobo, sedikit lagi aku akan —”

“OPPA AWAS!!!”

Jeritan Sooyoung spontan membuat Jongwoon langsung mengembalikan posisi tubuhnya dan menyadari keadaan di depannya. Ia mencoba mengontrol kemudinya, namun entah mengapa otaknya mendadak kosong saat itu. Dan tanpa sempat Jongwoon sadari, Sooyoung sudah lebih dulu mencondongkan badannya ke arah kemudi dan membanting kemudi itu. Otak pria itu benar-benar tak sempat merekam dengan jelas detik detik itu. Dan yang terakhir terlintas di depan matanya hanyalah sebuah batang pohon besar yang nampak semakin dekat dan tiba-tiba semua menjadi gelap bersamaan dengan bunyi sekaligus guncangan dari mobilnya itu.

*****

Perlahan Sooyoung membuka matanya. Mendapati pandangannya berkabut. Kepalanya berdenyut hebat. Dikerjap-kerjapkan matanya agar bisa melihat dengan jelas sembari meringis menahan sakit di kepalanya.

Tatapan nanar dengan derai air mata itu adalah hal yang ia lihat pagi itu. Tatapan mata sahabatnya, Kim Hyoyeon.

“Dasar wanita jahat. Kalau kecelakaan ini tidak terjadi aku tidak akan mengetahui kondisimu saat ini dan aku akan menyesali sisa hidupku dan merasa sangat bodoh serta merasa bukanlah sahabat yang baik untukmu, Young-ah.”

Dengan kesadaran yang belum terkumpulkan sepenuhnya, Sooyoung mencoba memijat pelipisnya, berharap rasa sakit di kepalanya akan berkurang walau hanya sedikit. Wanita itu sama sekali tak mengubris omelan Hyoyeon dan terkesan menganggap keberadaan sahabatnya itu sebagai angin lalu.

“Choi Sooyoung! Apa kau tak mendengarkanku?” Desis Hyoyeon kesal dengan tingkah sahabat sekaligus adik iparnya ini.

Masih tak mengubris ucapan Hyoyeon, Sooyoung mencoba bangun dari tidurnya namun sayang belum empat puluh lima derajat wanita itu mengangkat punggungnya, ia bisa merasakan sakit yang teramat sangat pada bagian perutnya.

“Argh.” Ringisnya sembari mencengkeram bagian perutnya. Hyoyeon yang sedari tadi berdiri di sisi ranjang wanita itu, membantu Sooyoung untuk bangun dan menyandarkan punggungnya.

“Kau baru saja menjalani operasi caesar, tak heran jika sakit merasa sakit dan kaku pada bagian perutmu. Terlebih….”

“Dimana anakku?” Tanya Sooyoung dengan sorot mata yang sukses membuat Hyoyeon berhenti berbicara.

“Anakmu masih harus mendapat perawatan di inkubator. Bagaimanapun juga usia kandunganmu baru berusia delapan bulan. Akibat kecelakaan kemarin, kau mengalami pendarahan hebat sehingga dokter harus mengambil jalan operasi.”

Perlaha ingatan mengenai kecelakaan itu berpuntar di  benaknya. Membuat otaknya tertuju pada sosok suaminya kala itu.  “J-Jongwoon O-ppa?”

Baru saja Hyoyeon hendak membuka mulutnya, Dokter Jung Yunho memasuki ruang perawatan Sooyoung. Mengalihkan perhatian kedua wanita itu padanya.

“Nona Kim Hyoyeon, bisa saya berbicara dengan anda selaku keluarga dari Sooyoung?”

Hyoyeon melirik pada Sooyoung seolah meminta persetujuan dari wanita itu dan Sooyoung menganggukan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis.

Hyoyeon berjalan keluar mengikuti Yunho. Sooyoung dapat melihat samar-samar dari ranjangnya melalui kaca yang terdapat di pintu ruang perawatannya. Ia bisa melihat, Yunho tengah berbicara dengan raut wajah yang sangat serius lalu beberapa saat kemudian ia melihat Hyoyeon menangis histeris.  Dan saat itu juga, Choi Sooyoung tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.

Hyoyeon mendorong kursi roda yang diduduki oleh Sooyoung menuju ruang perawatan Jongwoon, tak peduli walau saat itu masih terlalu pagi dan berpotensi membangunkan pasien-pasien lain yang mungkin tengah terlelap. Hyoyeon memutar kenop pintu kayu dihadapannya itu lantas kembali mendorong kursi roda Sooyoung mendekat pada sosok yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang.

Kini Sooyoung duduk mematung di kursi di sisi ranjang suaminya itu. Kondisi Jongwoon saat itu bisa terbilang mengenaskan. Pria itu tertidur dalam sakit dan alat-alat medis yang menggerayangi tubuhnya. Gips membalut tangan kiri pria itu, tangan yang selalu merengkuh Sooyoung ke dalam pelukan hangat pria itu. Mata Sooyoung mengamati kardiograf yang menunjukkan denyut jantung Jongwoon dan Sooyoung tahu pria yang sangat dicintainya itu masih hidup.

“Jongwoon Oppa..” Lirih Sooyoung lalu menghela nafas berat. “Semua orang di dunia ini tahu pada cerita dongeng, wanitalah yang terbaring lemah dan menantikan kehadiran pria tampan yang akan hadir ketika ia membuka matanya. Berhentilah membuat dirimu nampak seperti seorang Juliet. Bangunlah sebelum aku membuat kekacauan untuk memaksamu membuka mata.”

Pria itu tak menunjukkan reaksi apapun. Mata pria itu tetap terpejam damai.

“Jongwoon Oppa, a-aku takut… A-aku takut.” Ucap Sooyoung terisak sambil menggenggam tangan pria itu.

“Bangunlah, jangan menambah rasa bersalah di hidupku ini Oppa! Bangunlah! Bukalah matamu. Setidaknya izinkan aku melihat tatapan hangat matamu itu untuk terakhir kali, aku mohon Jongwoon Oppa…”

Sooyoung menangis sejadinya. Ia terus mengguncang-guncangkan tubuh tak berdaya pria itu namun pria itu tetap tak membuka matanya dan tak memberi reaksi apapun untuk Sooyoung.

Tangan Sooyoung mengelus wajah pria itu,  menatap setiap titik di wajah pria itu tanpa melewatkan satu titik pun. Perlahan ia mendekatkan bibirnya pada telinga pria itu.

“Jongwoon Oppa, maafkan aku. Aku benar-benar tak berniat membuatmu seperti ini.  Aku…. Aku tahu, memang sungguh sulit berjuang melawan rasa sakit yang menggerayangi tubuhmu, tapi aku mohon tetaplah disini, karena masih ada anak kita yang membutuhkanmu.”

Air mata Sooyoung kembali mengancam untuk turun. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali berbisik pada pria itu. “Sepertinya aku akan merasa lebih  tenang setelah ini. Dan sepertinya, satu-satunya hal yang akan kusesali hanyalah tak bisa bersamamu ketika kau membuka mata hitammu dan merasakan kembali pandangan hangat yang selalu kau berikan padaku. Tapi tetaplah mempercayaiku Oppa, percayalah jika sesungguhnya aku masih ingin merasakan hangatnya pelukmu, menatap mata gelapmu, menatap senyumanmu yang selalu memberi kehangatan padaku, dan tentunya pecayalah jika aku…. Aku  akan selalu mencintaimu….”

“Aku mencintaimu Kim Jongwoon.” Bisik Sooyoung sekali lagi seolah-olah ingin meyakinkan Jongwoon.

Dan saat itu juga, mata Kim Jongwoon yang tengah terpejam erat meneteskan butiran-butiran bening itu dari matanya. Pria itu menangis. Sooyoung mencoba menyeka air mata yang mengalir dari mata pria itu. Ia tak sadar jika saat itu masih ada satu orang yang menangis sejadinya. Kim Hyoyeon. Sedari tadi Hyoyeon yang mendengarkan ucapan Sooyoung dari balik pintu juga tak bisa menahan tangisnya. Ia menangis tak kalah hebat dan sebisa mungkin menutup mulutnya, takut Sooyoung akan mendengarkan isakannya.

*****

“Aegi-ya… Ini Eomma. Bagaimana kabarmu? Eomma sudah berjuang menjagamu, berjanjilah kau akan tumbuh menjadi anak yang hebat dan membanggakan Appa dan Eomma-mu, ne? Kau juga harus tahu, dibalik kelahiranmu ini, ada seorang wanita hebat yang hadir di kehidupan kita sehingga kau bisa melihat dunia seperti saat ini. Kim Taeyeon, bukankah namanya sangat indah?”

Sooyoung terus berbicara pada putranya yang tengah terlelap dengan wajah tak berdosa di dalam inkubator. Ia tak memperdulikan tatapan aneh yang diberikan suster-suster di ruang bayi itu. Namun ucapan wanita itu harus terhenti ketika seorang suster menepuk pundaknya.

“Dokter Choi, apa anda sudah menentukan nama untuk putra anda?”

Nama. Sooyoung benar-benar tak ingat jika putranya itu belum memiliki nama. Bagaimana ia bisa mengajak putranya itu berbicara bahkan nama saja belum ia berikan?

Sooyoung kembali menatap inkubator di hadapannya, kini sebuah senyuman kembali tersungging di bibirnya tatkala pikirannya tertuju pada dua sosok yang menjadi alasan dirinya untuk mempertahankan bayi laki-laki itu.

‘Kim Jongwoon dan Kim Taeyeon… ‘

“Kim Taewoon. Namanya, Kim Taewoon.”

“Baiklah, saya akan menuliskannya pada data bayi anda.” Ucap suster itu ramah dan berniat pergi.

“Suster,” Panggil Sooyoung yang sukses menahan suster yang baru saja hendak melangkah meninggalkannya malah menoleh kembali kepadanya.

“Ne, dokter Choi?”

“Bisa aku minta tolong padamu?”

“Apa itu nyonya?”

“Bisakah aku meminta tiga lembar kertas, dua buah amplop berwarna putih dan satu buah amplol berwarna kuning?”

Suster itu nampak bingung dengan permintaan Sooyoung namun ia menganggukkan kepalanya dengan ragu. “Baiklah, akan saya carikan. Apa ada lagi nyonya?”

Saat itu juga, Sooyoung bisa merasakan kembali serangan pada perutnya. Ia kembali mencengkeram perutnya, sebisa mungkin meredam rasa sakit itu.

“Ah, d-dan satu l-lagi..”

Sooyoung menarik nafas sedalam mungkin, berharap setidaknya rasa sakit di perutnya akan berkurang sedikit. “Antarkan aku… Mendaftarkan diriku sebagai donor mata.”

*****

Kini Hyoyeon tak bisa menangis lagi, seolah-olah stok air matanya sudah kering dan minta diisi. Ia hanya menatap nanar sosok di hadapannya. Sosok yang terbujur dengan kaku namun tetap menyunggingakn senyuman hangatnya.  Beberapa saat kemudian beberapa orang suster masuk ke dalam ruangan itu. Dan mulai mengambil alih sosok di hadapannya itu.

“Apa saya bisa membawa Nyonya Choi Sooyoung sekarang?” Tanya salah seorang suster pada Hyoyeon.

Hyoyeon mencoba menganggukkan kepalanya meskipun entah mengapa sendi yang menghubungkan leher dengan kepalanya terasa begitu berat. Matanya tak bisa lepas dari sosok Sooyoung  hingga selembar kain putih kini menutup sekujur tubuh tubuh wanita itu.

“Nyonya Kim.” Panggil seorang suster lagi, namun bukan suster yang beberapa saat lalu bertanya padanya.

“Ne?”

“Nyonya Sooyoung menitipkan saya ini, ia meminta saya untuk memberikannya pada anda ketika ia… Pergi.”

Hyoyeon menatap pemberian suster itu, dua buah amplop berwarna putih yang masing masing bertuliskan ‘Kin Jongwoon’ dan ‘Kim Taeyeon’, satu buah amplop berwarna coklat dengan logo rumah sakit yang tertera diatasnya dan satu buah amplop berwarna kuning yang bertuliskan namanya.

“Kamsahanida.” Ucap Hyoyeon sambil mengangkat kepalanya dan tersenyum pada suster itu.

Kini tinggallah Hyoyeon sendiri di ruang itu. Ia mengambil amplop berwarna kuning yang memang ditujukan kepadanya. Dengan degupan jantung yang begitu cepat dan nafasnya yang serasa tertahan di tenggorokkan, tangan bergetar Hyoyeon membuka amplop itu. Dengan mendorong segala perasaan tegarnya ke permukaan, wanita itu membuka lipatan surat itu dan membacanya.

Hyoyeon-ah….

Bagaimana kabarmu saat ini? Aku ingin kau tetap menjadi Hyoyeon yang banyak bicara dan selalu membuatku kesal. Aku tahu saat ini kau tengah menangis, dan aku mohon detik ini juga, hapus air matamu itu. Kau sangat jelek dan tak cocok menangis.

Kau tahu mengapa aku memberimu surat dengan amplop berwarna kuning? Karena kuning merupakan warna yang melambangkan persahabatan. Dan tentu saja karena kau sahabatku.

Tak terasa ya,  dua gadis cilik yang memiliki latar belakang yang sejenis dan sama-sama kesepian itu kini sudah bersahabat begitu lama. Aku ingat betul,  hari itu kau dan aku sama-sama gadis kecil yatim piatu yang asing dengan lingkungan baru kita. Aku baru saja pindah bersama nenekku dan kau pindah karena diadopsi orang tua Jongwoon Oppa. Dan aku benar-benar mensyukuri hari itu, hari dimana kau mengajakku bermain hingga kita bersahabat sampai akhir hidupku.

Aku tahu selama hidupku, aku terlalu banyak merepotimu. Dan meskipun aku sudah tak bersamamu mungkin aku masih akan merepotimu. Namun aku pastikan, permintaanku kali ini adalah permintaan terakhirku padamu.

Aku mohon, ketika Jongwoon Oppa terbangun, jangan katakan soal penyakitku itu setidaknya sampai kau menemukan saat yang tepat untuk mengatakannya. Lebih baik ia menyalahkan dirinya dan menganggapku pergi karena kecelakaan itu untuk sementara waktu daripada ia harus menyalahkan kelahiran Taewoon. Tak hanya pada Jongwoon Oppa, namun juga pada Abeoji dan Eomoni. Aku mohon. Aku tahu kau bisa melakukannya.

Aku juga memintamu satu hal, bantulah Taeyeon untuk menjadi ahli waris mataku ini. Aku sudah mendaftarkan diriku sebagai pendonor  dan Taeyeon sebagai ahli warisnya. Jadi aku mohon bantuanu untuk memprosesnya pendonoran mata itu. Mungkin dengan begini aku akan menebus kesalahanku padanya dan mungkin pula dengan menitipkan mataku pada gadis itu,  Tuhan akan memberikan kesempatan padaku untuk selalu menikmati keberadaan Taewoon dan Jongwoon Oppa di sekitarku meskipun ragaku tak bisa bersama mereka.

Mungkin permintaanku itu akan sangat menyulitkanmu, tapi aku mohon untuk terakhir kalinya, kabulkanlah permintaanku itu. Dan akhir kata, aku hanya ingin mengatakan padamu, aku menyayangimu Kim Hyoyeon. Aku akan tetap menjadi sahabatmu meskipun dari dunia yang berbeda.

Dengan penuh kasih sayang,

Choi Sooyoung.

TBC

Leave a comment